Senin, 29 Februari 2016

Sekatenan, Dulu dan Sekarang




Sejarah, merupakan satu  kata yang menjadi momok bagi saya dulu sekitar 10 tahun yang lalu ketika saya masih berada di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Bagaimana tidak? Kala itu, saya berjuang dengan sepenuh tenaga dan pikiran untuk menghafal berbagai detail tentang peristiwa masa lampau, nama-nama tokoh dan tahun peristiwa tertentu terjadi di masa lalu. Sebagai orang introvert yang sangat tidak menyukai detail, saya sangat terganggu dengan keinginan guru sejarah saya waktu itu. Ya. Saya mengalami kesulitan belajar sejarah saat itu.
Maka, lambat laun saya mulai menghindari bidang ilmu itu. Beberapa tahun setelahnya saya pergi dari bahasan tentang sejarah. Mencoba menutup mata dan telinga, serta pikiran tentang segala hal berbau sejarah. Karena bagi saya, ilmu itu sangat mengekang jiwa karena telah terjadi di masa lampau, ketika bahkan saya belum lahir dan tidak menjadi bagian di dalamnya, sehingga saya merasa diberi beban untuk memanggulnya. Pergilah diri saya dari ilmu sejarah. Hingga suatu hari.
Saya diberi tugas untuk mempelajari tentang semangat nasionalisme untuk Indonesia pada suatu seminar menulis. Saya terpaksa saat itu menyisakan sedikit ruang membaca saya untuk cerita tentang peristiwa masa lalu di Indonesia, terutama ketika zaman perjuangan para pahlawan membela negeri indah gemah ripah loh jinawi ini. Namun kemudian, saya menemukan angin sejuk yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Entahlah, saya mulai mencintai sejarah. Entah darimana sejarah itu ditulis. Entah ada kepentingan apa dibalik penullisan sejarah tersebut. Entah sejarah yang ditulis itu merupakan suatu kebenaran atau gosip yang penuh bumbu penyedap. Namun demikian, setiap jengkal peristiwa yang saya baca saat itu seperti menyiratkan pesan yang mendalam. Meski tetap saja, sebagai seorang yang memiliki kecenderungan kepribadian introvert, saya mengalami kesulitan dalam menghafal detail setiap komponen yang terdapat dalam cerita masa lampau tersebut. Kecintaan saya terhadap sejarah adalah karena saya mendapatkan sedikit peringatan melalui apa yang saya baca. Saya seperti mendapatkan guru masa kini yang berasal dari masa lalu, serta menjadi saksi bisu tentang peristiwa masa lalu. Untuk kemudian saya petik esensi dari peristiwa yang sudah terjadi. Sehingga sebagai pribadi khususnya, saya berharap dapat meniru tokoh-tokoh perjuangan bangsa Indonesia di masa lalu untuk hal yang lebih baik di masa depan. Rasulullah SAW bersabda,
 “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi)
Berkaitan dengan hal di atas, para ahli telah membuat pengertian tentang sejarah. Salah satu pengertian yang terkenal ditulis oleh Roeslan Abdulgani. Menurutnya,
“ilmu sejarah adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan pada masa lampau beserta kejadian-kejadian dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitiannya tersebut, untuk selanjutnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses masa depan.”
Betapa panjang definisi ini jika saya harus menghafalnya. Maka, saya biasa menyingkatnya dengan ilmu tentang berbagai kajian peristiwa di masa lalu untuk kemudian dapat kita ambil pelajaran dan hikmahnya untuk kehidupan sekarang dan di masa yang akan datang.
Ketika saya diberi kesempatan oleh Allah Yang Maha Pemberi Takdir untuk tinggal sementara waktu di Yogyakarta, saya merasa kota yang pernah menjadi ibukota negara Indonesia pada kurun waktu antara tanggal 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949 adalah kota yang sarat dengan makna. Makna-makna yang saya maksud adalah makna kehidupan masa lampau yang tetap diuri-uri[1] sampai abad 21 sekarang ini. Jika dilihat dari pemimpin Ngayogyakarta, melalui Sri Sultan Hamengku Buwono IX lah persoalan politik bangsa pada saat roda pemerintahan RI macet total saat itu dikoordinasikan kembali[2]. Hal ini mengingat Sri Sultan HB IX merupakan aktor intelektualis yang memiliki multi status, selain sebagai raja juga sebagai kepala daerah dan menteri pertahanan. Maka dari itu, makna pemimpin dengan dasar kepribadian yang mengutamakan kejujuran dan kesederhanaan demi kemanunggalan antara Sultan dan kawula (rakyatnya) patut diteladani, dan masih relevan hingga saat ini. Juga, apabila dilihat dari rakyat yang mendiami Yogyakarta, bagi saya, Yogya adalah cerminan kemewahan dalam kesederhanaan hidup. Masyarakat Yogya adalah masyarakat yang pluralis karena terdiri dari beberapa agama dan ras, namun tetap humanis. Kemewahan yang saya maksud disini adalah bagaimana masyarakat Yogya memandang kehidupan dari berbagai aspek, yang dengan pandangannya tersebut, mereka tetap bersahaja dalam meniti hidup. Masyarakat Yogya tidak hanya melihat segala sesuatu dari satu sisi seperti materi, namun juga dari sisi spiritual yang lain.
Salah satu makna peristiwa masa lalu yang masih dilestarikan di Daerah Istimewa Yogyakarta sampai sekarang adalah peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Peringatan Maulud Nabi di Yogyakarta diselenggarakan dalam serangkaian acara yang dinamakan sekatenan. Konon, dua keraton “anak” Kerajaan Mataram yakni Ngayogyakarto Hadiningrat (Yogyakarta) dan Surakarta Hadiningrat (Solo), terdapat sejumlah kesamaan dan perbedaan dalam upacara di dua keraton tersebut. Versi sejarah masing-masing menuliskan bahwa tradisi sekaten tersebut dimulai pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16), dan merupakan sebentuk upaya dakwah yang dilakukan para Wali melalui pendekatan seni budaya.
Gamelan menjadi unsur penting dalam upacara adat sekatenan di kedua keraton. Terdapat perbedaan waktu dimulainya prosesi gamelan pada kedua keraton tersebut. Di keraton Yogyakarta, prosesi dimulai pada tanggal 6 Rabiul Awal (Maulud), sementara di keraton Surakarta sehari lebih awal, yakni 5 Rabiul Awal (Maulud). Selain itu, perbedaan lain yang ada adalah pada nama perangkat gamelan yang digunakan di dua keraton tersebut. Di keraton Yogyakarta, gamelan Sekaten terdiri dari dua perangkat, yakni gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Di keraton Surakarta, dua perangkat gamelan yang menjadi bagian dalam ritual Sekaten bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. 
Berdasarkan kajian sejarah tentang asal-usul tradisi sekaten, upacara adat yang dinamai dari asal kata yang sarat makna seperti syahadatain, sahutain, sakhatain, sakhotain, sekati, dan sekat ini sudah dijadikan tradisi yang berlangsung setiap tahun di Yogyakarta dan Surakarta. Beberapa asal nama ini memiliki makna yang masih sesuai jika diterapkan saat ini. Hal tersebut berhubungan dengan sejarah diadakannya upacara keagamaan di dua keraton tersebut. Syahadatain merupakan kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang memiliki arti Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat ini merupakan kalimat akad antara manusia dengan Allah yang menunjukkan ketundukan sepenuhnya manusia kepada Allah, Yang Maha Memiliki Kehidupan. Bahwa manusia adalah makhluk lemah yang selalu berada dalam kuasa Allah dalam segala urusannya di dunia. Serta sebagai bentuk pengikraran bahwa manusia akan selalu menggunakan dua pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan, yakni Al Qur’an yang merupakan Kalam Allah dan Hadits yang merujuk kepada segala tingkah laku, ucapan serta perbuatan Rasulullah SAW. Kata sahutain yang juga menjadi rujukan asal muasal nama tradisi Sekaten bermakna menghentikan atau menghindari dua perkara, yakni sifat lacur dan menyeleweng. Makna ini menyiratkan pesan kepada kita bahwa dengan diadakan upacara keagamaan tersebut, maka diharapkan akan mampu terhindar dari sifat yang melenceng dan pembelok karena penggunaan dua pedoman yang digunakan oleh umat Islam, sehingga berperan dalam penyempurnaan akhlak manusia. Selanjutnya, tujuan agar watak kehewanan dan sifat syetan bisa hilang tersurat dalam asal kata sakhatain. Hal ini dikarenakan kedua watak tersebut merupakan watak yang merupakan sumber kerusakan. Tujuan ini juga bermuara pada penyempurnaan akhlak manusia. Selanjutnya, penggunaan kata sakhotain, lebih merupakan ajakan untuk menanamkan perkara yang selalu memelihara budi suci atau budi luhur, serta selalu menghambakan diri kepada Tuhan. Ajakan kepada manusia sebagai manusia yang hidup, yang harus selalu menimbang atau menilai hal-hal baik maupun buruk tersurat dalam kata sekati. Dan kata yang terakhir, sekat, yang berarti batas. Kata ini bermakna bahwa orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan di dunia.
Dari sumber sejarah yang ada, upacara adat keagamaan ini dimulai ketika dakwah Islam di kerajaan Demak pada masa pemerintahan Raden Patah belum menunjukkan peningkatan pengikut yang signifikan meskipun telah dibangun Masjid Agung sebagai tempat ibadah dan para Wali Songo telah giat berdakwah. Sebagian besar rakyat terutama yang berdomisili di desa masih enggan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai pernyataan memeluk agama Islam, begitu pula dengan jumlah santri yang masih sedikit. Menyikapi hal tersebut, para Wali Songo kemudian bermusyawarah dan menghasilkan kesamaan misi bahwa dakwah Islam harus dilakukan secara bertahap dan penuh kearifan. Implementasi sikap tersebut ditunjukkan dengan sikap yang sopan-santun, ramah tamah, dan dakwah yang tanpa celaan kepada adat serta unsur-unsur kebudayaan rakyat, bahkan memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan rakyat itu sendiri sebagai sarana dakwah. Unsur-unsur kebudayaan rakyat yang dimaksud dapat berupa bahasa, adat-istiadat maupun kesenian rakyat.
Sebagai seorang Sunan yang mengetahui kebutuhan rakyat, Sunan Kalijogo memahami bahwa rakyat menyukai perayaan berwujud keramaian yang dihubungkan dengan upacara-upacara keagamaan, apalagi jika perayaan tersebut disertai dengan irama gamelan. Maka dari itu, timbul gagasan Sunan Kalijogo agar kerajaan menyelenggarakan perayaan berwujud keramaian setiap menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awal. Gamelan yang ditempatkan di halaman masjid kemudian dibunyikan untuk menarik perhatian rakyat agar mau masuk ke Masjid Besar.
Demi kelancaran syiar Islam, gagasan Sunan Kalijogo diterima majelis Wali Songo meskipun bebunyian gamelan di halaman masjid ditafsirkan sebagai hal yang makruh. Raden Patah kemudian menyetujui pelaksanaan gagasan Sunan Kalijogo sehingga pada bulan Rabiul Awal, seminggu sebelum hari kelahiran Nabi, diselenggarakan perayaan keramaian yang disebut sekaten. Di halaman Masjid Besar didirikan tempat khusus untuk meletakkan dan membunyikan gamelan, yang disebut pagongan. Pagongan bermakna tempat gong (gamelan) yang dibuat oleh Sunan Giri. Sebagian dari gendhing-gendhing (lagu) gamelan diciptakan oleh Sunan Giri pula dan sebagian lagi oleh Sunan Kalijogo. Gamelan diperdengarkan secara terus-menerus selama satu minggu, kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada malam Jumat sampai lewat sholat Jumat.
Pada malam menjelang hari kelahiran Nabi yang bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal, Sultan berkenan mengikuti upacara keagamaan di Masjid Besar untuk lebih menarik simpati rakyat. Kemudian, Sultan keluar dari keraton diiring para putra dan segenap pembesar kerajaan. Selepas sholat Isya, Sultan dan para pengiringnya duduk di serambi masjid untuk mendengarkan riwayat hidup nabi yang diuraikan oleh para wali disusul dengan selawatan. Sultan dan para pengiringnya kembali ke keraton baru pada tengah malam. Gamelan yang selama seminggu diletakkan dan dibunyikan di halaman Masjid Besar, juga dibawa ke keraton sebagai tanda berakhirnya perayaan, keramaian sekaten dan upacara peringatan hari kelahiran nabi.
Nilai-nilai yang ada sebagai dasar dalam pelaksanaan upacara adat sekaten tersebut patut untuk ditilik lagi di zaman sekarang. Sekarang ini, banyak masyarakat cenderung lebih memilih figur tertentu untuk dijadikan panutan berkehidupan. Padahal, agama Islam mengajarkan bahwa sumber utama sebagai pedoman berkehidupan bagi umat adalah Qur’an dan Hadits. Kemudian, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat pada zaman sekarang dititikberatkan pada tren yang sedang berkembang di masyarakat. Hal inilah yang membuat masyarakat zaman sekarang mengalami pergeseran nilai dalam bergaul dan bertingkah laku. Banyak pemuda-pemudi zaman sekarang berkiblat pada budaya barat dan budaya negara lain yang mengakibatkan munculnya tatanan masyarakat yang semrawut, cenderung susah diatur dan amburadul, sehingga tidak sesuai pada porsi dan tempatnya masing-masing. Hal ini membuat pemuda sekarang, sudah tidak sama lagi dengan pemuda tahun 45 an dulu. Nilai-nilai baik yang harus dipertahankan sampai sekarang menjadi barang mahal yang kemudian ditinggalkan oleh para pemuda. Pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam makna “sekaten” menjadi luntur sekarang karena pergeseran nilai budaya yang masuk ke Indonesia. Batasan dan aturan main berkehidupan yang terkandung dalam nilai-nilai acara “sekaten” telah hilang ditelan “perkembangan” zaman.
Maka, dari hal ini kita melihat bahwa nilai-nilai dalam sekaten harus dikembalikan seperti ketika sejarah tradisi tersebut dibentuk. Akhlak yang baik sesuai tuntutan Qur’an dan Hadits (khusus Muslim) harus diwujudkan sehingga mampu membedakan perkara yang baik dan batil. Perwujudan kondisi masyarakat yang sesuai dengan tatanan namun memiliki batasan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada Allah Yang Maha Memiliki Kehidupan. Maka, semoga nilai dari sekaten tidak hanya melulu pada keuntungan yang didapat oleh para pemilik wahana permainan dan para pedagang yang menjajakan dagangannya di alun-alun, namun dimaknai lebih dari materi semata. Sama seperti bagaimana ketika saya memandang bahwa masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat yang memiliki kemewahan dalam balutan kesederhanaan dan kebersahajaan. Semoga sejarah sekaten di masa lalu tersebut tidak hanya menjadi coretan hitam di atas kertas putih yang diletakkan di etalase museum, namun juga dimaknai masyarakat Yogyakarta pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya hingga ke relung jiwa yang paling dalam.


[1] Dilestarikan
[2] Orasi Prof Dr Suhartono Wiryopranoto di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM pada 29 Desember 2007

Referensi
Anonim. 2014. Islam dalam Tradisi Dua Keraton Mataram. http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1137/sekaten. Diakses tanggal 29 Februari 2016.
Isnaeni, M. 2012. Asal Mula Sekaten. http://rizki-nisa.blogspot.co.id/2013/06/asal-mula-sekaten.html. Diakses tanggal 29 Februari 2016.
Rizki, D. 2010. Tradisi Sekaten di Yogyakarta. http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisi-sekaten-di-yogyakarta/. Diakses tanggal 29 Februari 2016.

NB : Tulisan ini diikutsertakan dalam Blogger Gramedia Competition 2016

Rabu, 24 Februari 2016

Filologi Kajian Islam Kontemporer dalam Balutan Ayat-Ayat Cinta 2

Filologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip, yang biasanya berasal dari zaman kuno[1]. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan filologi sebagai ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan-bahan tertulis. Maka, objek utama kajian ini adalah berupa teks atau naskah. Lubis (2001) menuliskan bahwa kajian filologi dalam Al Qur’an penting digunakan untuk memastikan kemurnian teks Al Qur’an itu sendiri. Perubahan-perubahan terhadap kandungan Al Qur’an berpotensi dapat dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang berusaha mengacaukan kitab suci Al Qur’an di setiap zaman. Urgensi lain dari kajian ini ada pada ilmu Hadits. Kajian filologi dalam ilmu Hadits digunakan untuk menjamin keabsahan teks atau matan suatu hadits, termasuk ilmu-ilmu Fiqh dan Aqidah, serta karya ulama terdahulu. Al Qur’an dan Hadits merupakan dua pedoman penting umat Islam dalam menjalankan kehidupan material maupun spiritual di dunia.
Zukra (2012) menuliskan bahwa cabang ilmu ini belum banyak dikenal oleh masyarakat luas, terutama masyarakat Islam. Sebenarnya, pendekatan filologi dalam pengkajian Islam sudah dikenal cukup lama (Abdullah, 1996). Zukra (2012) menuliskan bahwa pada masa Khalifah Abu Bakar, nash Al Qur’an mulai dikumpulkan dalam satu mushaf. Ayat-ayat Al Qur’an yang sebelumnya tertulis pada tulang belulang, kulit pohon, batu, kulit binatang dan sebagainya dipindah dan disalin pada sebuah mushaf kemudian dijadikan satu. Pekerjaan tersebut dilakukan dengan teliti karena berkaitan dengan keaslian wahyu Ilahi.
Berkaitan dengan cabang ilmu tersebut, Kang Abik menggunakan pendekatan melalui karya sastra fiksi berupa novel untuk memperkenalkan dan mengkampanyekan cabang ilmu ini. Cara Kang Abik ini sangat efektif karena bisa menyasar berbagai kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang sudah benar-benar paham tentang filologi. Masyarakat awam yang dimaksud adalah masyarakat yang tidak menyentuh bahasan filologi secara akademis, sedangkan masyarakat yang sudah familiar dengan filologi biasanya adalah masyarakat yang memang menjadikan filologi sebagai kajian yang selalu dipelajari secara akademis, di bangku universitas maupun di lembaga penelitian tertentu.
Filologi diperkenalkan oleh Kang Abik pada bagian awal sebagai ilmu yang didalami oleh Fahri ketika mengambil studi Ph.D di Jerman, di The University of Freiburg. Ilmu filologi yang dipelajari oleh Fahri hingga studi doktoral menjadi bekal Fahri melakukan penelitian dan pendidikan di bidang tersebut. Tokoh Fahri mewakili para filolog kajian Islam kontemporer, menyampaikan beberapa bahasan dalam ilmu ini melalui debat yang dimunculkan pada bagian tertentu novel ini. Kang Abik menyampaikan pemahaman tentang konsep “bangsa yang terpilih” dan “amalek”, serta konsep tentang agama cinta, agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Penjelasan Kang Abik tentang konsep “bangsa yang terpilih” dan “amalek” dipaparkan melalui debat Fahri di School of Divinity, The University of Edinburgh. Sedangkan penjelasan Kang Abik tentang konsep agama cinta disampaikan melalui lika-liku debat di Oxford Union.
Perdebatan tentang konsep “bangsa yang terpilih” dan “amalek” terjadi antara Fahri yang santun dengan tokoh Yahudi yang kolot dan radikal (Baruch dan Rabi Benyamin Bokser). Bahwa berdasarkan telaah teks-teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, serta firman Allah QS Al Baqarah ayat 47, 122, dan 124, Bani Israel memang dipilih oleh Tuhan karena janji Tuhan kepada Abraham. Namun, jika diperhatikan lebih seksama dengan teks-teks lain yang berkaitan, keutamaan yang diberikan kepada keturunan Abraham (termasuk didalamnya adalah Bani Israel) ternyata tidak bersifat mutlak, namun bersifat bersyarat dan terbatas. Kemudian, Bani Israil akhirnya menjadi tidak beriman kepada Allah sehingga perjanjian tersebut tidak berlaku lagi. Bani Israil tidak selamanya menjadi bangsa yang diistimewakan Allah berdasar kajian sejarah. Berpuluh-puluh ribu Nabi dari kalangan Bani Israil yang disebut dalam Al Qur’an, yang tidak disebutkan dalam Al Qur’an, dan yang tidak disebut dalam kitab suci sebelum Al Qur’an, menjadi bukti keistimewaan Bani Israil. Namun, ketika mereka berpaling dari Allah, maka Bani Israil mendapatkan murka, laknat dan azab dari Allah, seperti yang tertera dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru (Ulangan 9:12, Ulangan 31:27, Bilangan 14:27, Matius 12:34, dan Yeremia 16:5). Beberapa peristiwa dan sifat-sifat buruk Bani Israil yang digambarkan dalam kitab suci tersebut merupakan bukti ketidaklayakan Bani Israil sebagai bangsa pilihan Tuhan. Selanjutnya, Kang Abik juga menjelaskan melalui tokoh Fahri bahwa perintah untuk memusnahkan “amalek” tidak boleh dimaknai dan ditafsirkan secara harfiah, namun sebagai seruan untuk menghilangkan perilaku jahat seperti “amalek” di dunia. Konsep “amalek” yang memandang bangsa lain di luar Yahudi harus dimusnahkan tidak bisa diterima dengan logika sehat karena perbuatan menganiaya dan membunuh bangsa di luar Yahudi bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara umum dan berlawanan dengan perintah Tuhan untuk menyayangi sesama manusia.
Berdasarkan kajian filologi tentang konsep agama Islam sebagai agama cinta yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, Kang Abik memberikan paparan hal tersebut melalui perdebatan dalam forum ilmiah oleh Fahri di Oxford Union dengan profesor pakar sejarah gereja sejarah diaspora bangsa Yahudi, Thomas dan Mona Bravmann (profesor pakar kajian timur), serta Alex Horten (profesor pakar sosiologi agama dari King’s College London). Dengan pembawaan yang tidak emosional, tokoh Fahri menjelaskan bahwa terdapat perbedaan konsep dasar agama-agama di dunia. Konsep yang dimaksud terkait dengan “penggambaran” dan nama Tuhan. Akan tetapi, juga terdapat persamaan dalam beberapa konsep hubungan antar manusia. Syair Ibn Arabi juga ikut menjadi bahasan tentang konsep agama cinta. Agama cinta yang Ibn Arabi maksud adalah agama Islam, yang dijelaskan dalam Dzakhair al-A’laq syarh Turjuman al-Asywaq dan Al Futuhat al-Makiyyah.

 “Hatiku menerima segala bentuk rupa, ia adalah padang rumput bagi rusa, biara bagi rahib, kuil berhala, ka’bah tempat orang thawaf, batu tulis untuk taurat, dan mushaf bagi Al Qur’an. Aku beragama dengan agama cinta, yang selalu kuikut langkah-langkahnya, itulah agamaku dan keimananku.”
Seorang muslim yang taat dan memahami ajaran Islam dengan benar, menghayati dengan sungguh-sungguh, dan mengamalkan secara konsekuen akan menjadi pribadi yang tulus penuh kasih sayang, kuat memegang ajaran agamanya dan toleran terhadap yang lain. Sebagai contoh adalah kisah Umar bin Khattab ketika mengadakan perjanjian dengan Uskup Sophronius di Yerusalem, kisah Imam Abdullah bin Mubarak al-Hanzhali al-Marwazi yang membantu tetangga yang beragama Yahudi, dan beberapa kejadian yang terjadi di Indonesia (toleransi Sunan Kudus dengan penyembelihan kerbau untuk menghormati umat Hindu yang menghormati sapi dan cerita tentang kewelas-asihan para ulama terhadap anak-anak PKI yang orang tua PKInya telah membunuh dan menganiaya para santri dan ulama). Sejarah juga telah mencatat bahwa jika sistem yang meniadakan agama dan Tuhan dianut oleh manusia, maka hal yang akan terjadi adalah hal mengerikan seperti tragedi kemanusiaan ketika Raja Namrud berkuasa. Dengan dasar atheis yang tidak mempercayai adanya Tuhan, hukum rimba digunakan oleh raja dzalim tersebut sehingga terjadi perbudakan dan pembunuhan. Begitu pula dengan paham-paham atheis-komunis lain seperti Lenin dan Stalin di Rusia, Mao-Zhedong di China, Pol Pot di Kamboja, dan paham komunis atheis lain di Eropa Timur, Amerika Latin, Afghanistan, dan berbagai negara Afrika. Sebaliknya, berbagai perang yang bermotif agama jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya memiliki faktor yang bukan murni agama. Sebagai contoh adalah penyebab awal terjadinya peristiwa pembantaian orang-orang Yahudi di Jerman yang dilakukan oleh Nazi. Cikal bakal peristiwa tersebut adalah ajaran atheis yang dipropagandakan oleh ilmuwan dan aktivis atheis. Ajaran atheis yang dimaksud adalah teori evolusi Charles Darwin yang menjadi inspirasi Hitler untuk memusnahkan bangsa di luar ras Arya. Maka, berbagai akibat dari penerapan ajaran komunis atheis terdahulu tersebut hendaklah menjadi pengingat agar ajaran tersebut tidak diterapkan kembali sehingga tidak tercipta hukum rimba yang tidak memiliki tatanan dan menjadi sumber kerusakan. Apalagi di tengah tantangan zaman yang penuh dengan godaan untuk menjauhkan konsep ketuhanan dalam kehidupan manusia. Menilik hal tersebut, Francis Bacon menulis,
“Tahu sedikit filsafat cenderung membawa pikiran manusia kepada atheisme, namun pemahaman yang dalam tentang filsafat mengantarkan pikiran manusia berpikir tentang Allah.”
Kisah Fahri sebagai peneliti tamu yang kemudian menjadi dosen filologi dalam kajian Islam kontemporer meliuk-liuk, terutama ketika harus menghadapi mahasiswa dan sesama kolega yang hakikatnya merupakan tantangan dakwah Fahri sebagai seorang muslim di negara yang minoritas muslim. Selain itu, cerita lika-liku Fahri menjalankan bisnisnya yang sedang berkembang, yang terdiri dari butik, restoran, dan minimarket juga tidak kalah menarik. Berbagai strategi bisnis terbaik dilakukan untuk menjalankan usahanya yang juga bekerja sama dengan keluarga. Dasar bisnis yang digunakan Fahri selalu sesuai dengan tuntunan Islam demi mendapatkan keberkahan. Konflik dalam lingkup sekitar rumah tempat Fahri tinggal juga menarik untuk diikuti. Apalagi masa ketika Keira, seorang gadis tetangga Fahri yang angkuh dan benci dengan Islam kemudian dibantu oleh Fahri mewujudkan mimpinya, begitu pula dengan Jason (adiknya) dan nenek Catarina, serta Brenda.
Novel Ayat-Ayat Cinta 2 karya Kang Abik ini merupakan karya fiksi yang sudah laris di pasaran para pecinta buku novel fiksi. Novel cetakan ketujuh bulan Desember 2015 seharga Rp. 95.000,- ini terdiri dari 698 halaman utama ditambah 6 halaman awal pendahuluan yang memuat identitas novel. Penerbit Republika yang telah menjadi bagian dari kesuksesan novel-novel Kang Abik sebelumnya seperti Ayat-Ayat Cinta (2004), Pudarnya Pesona Cleopatra (2005), Ketika Cinta Bertasbih (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007), Dalam Mihrab Cinta (2007), dan Api Tauhid (2014) ikut kembali menjadi bagian dalam penerbitan karya Kang Abik yang satu ini. Selain novel-novel yang diterbitkan oleh Republika tersebut, karya sastra fiksi lain yang tidak diterbitkan Republika dan dikarang oleh Kang Abik seperti Ketika Cinta Berbuah Surga, Bumi Cinta, dan Cinta Suci Zahrana juga ikut menjadi bukti eksistensi dan produktivitas Kang Abik di dunia kesusastraan Indonesia, disamping juga beberapa karya terjemahan yang sudah beliau tulis. Atas Izin Allah.
Ayat-Ayat Cinta 2 merupakan kelanjutan cerita kehidupan rumah tangga Fahri di salah satu sudut belahan dunia yang memiliki keberagaman ras dan agama. Bagian yang paling membuat penulis bertanya-tanya dan penasaran hingga akhir cerita adalah bagaimana nasib Aisha (istri Fahri) yang tidak jelas kabar beritanya sehingga menghilang tanpa jejak dalam kurun waktu tertentu ketika mengadakan perjalanan dengan temannya (Alicia) menuju Palestina. Alicia ditemukan telah menjadi mayat di pinggir daerah Hebron Israel dengan kondisi yang mengenaskan. Hal tersebut membuat Fahri mengalami gundah berkepanjangan meskipun berbagai usaha telah dilakukan oleh Fahri dan keluarga sebagai ikhtiar untuk menemukan Aisha. Meskipun Fahri kemudian memutuskan untuk menikah dengan Hulya (sepupu Aisha), namun Kang Abik sebagai pemilik cerita memiliki cara sendiri untuk tetap menghadirkan jiwa Aisha dalam novel tersebut. Hingga kemudian di akhir cerita, Kang Abik mengungkapkan identitas karakter Aisha yang sebenarnya melalui kematian Hulya.
Ada beberapa nama tokoh di Ayat-Ayat Cinta seri sebelumnya yang muncul kembali di novel Ayat-Ayat Cinta 2 selain Fahri sebagai tokoh utama dan Aisha. Juga, terdapat pula kemunculan karakter baru lain dalam berbagai lingkaran pergaulan Fahri. Adalah Syaikh Usman dan Eqbal Hakan Erbakan. Di seri sebelumnya, perkenalan Fahri dan Aisha dimoderatori oleh Syaikh Usman (guru Fahri). Paman Eqbal adalah paman Aisha yang ikut menjodohkan Fahri dengan Aisha di Ayat-Ayat Cinta seri sebelumnya. Beberapa nama lama lain seperti Misbah (teman serumah Fahri di Hadayek Helwan Kairo) dan Nurul Azkia (mahasiswi Al Azhar University Cairo yang pernah jatuh cinta kepada Fahri) ikut meramaikan lagi cerita fiksi ini. Nurul muncul lagi di Ayat-Ayat Cinta 2 meski hanya sedikit bagian dirinya yang diceritakan. Beberapa karakter tokoh baru lain di novel Ayat-Ayat Cinta 2 dapat dikelompokkan ke dalam beberapa lingkaran, yaitu di dalam rumah Fahri, di dalam keluarga besar Fahri dan Aisha, di sekitar rumah Fahri (tetangga Fahri), tempat usaha atau bisnis yang dimiliki Fahri, tempat Fahri beraktivitas di kampus dan di sekitar kampus, dan tempat Fahri menjalankan aktivitas dakwahnya di United Kingdom.
Secara keseluruhan, alur yang digunakan untuk penulisan novel ini adalah alur maju, dengan sedikit bagian atau bab cerita yang menggunakan alur mundur. Penggunaan alur maju dengan disertai beberapa bagian yang menggunakan alur mundur ini dapat meningkatkan rasa penasaran pembaca untuk mencari jawaban di setiap teka-teki cerita yang lihai dimunculkan namun kemudian berhasil disembunyikan oleh Kang Abik. Ramuan cerita Kang Abik dalam Ayat-Ayat Cinta 2 yang menggunakan alur cerita yang maju dan mundur ini membuat “masakan” yang dihasilkan sangat sedap. Kesedapan cerita yang muncul semakin menarik pembaca, lagi dan lagi mempertahankan rasa penasaran yang timbul ketika menyentuh dan berkonsentrasi membaca kata demi kata dan halaman demi halaman hingga akhir cerita. Bagian alur mundur yang mengejutkan terdapat di bagian akhir cerita, yang kemudian menceritakan secara jelas tentang peristiwa yang menimpa Aisha sehingga mengakibatkan identitas Aisha yang sebenarnya terkuak. Selain itu, dibumbui dengan pemahaman makna yang mendalam dan komprehensif tentang problematika umat Islam yang sedang terjadi saat ini, membuat novel ini semakin layak diacungi jempol.
Sebagai seorang manusia, ujian yang dialami Fahri merupakan ujian yang berasal dari orang-orang di sekitarnya terkait anggapan sebagian besar orang yang dihadapinya terhadap umat Islam. Karakter Fahri berhasil melewati ujian dengan bersabar dan kepemilikan fikiran yang jernih untuk menghadapi anggapan tidak tepat dari orang di luar muslim yang menuduh muslim seperti Fahri. Ujian Fahri lainnya adalah ujian ketika Fahri kehilangan orang yang disayanginya, yaitu Aisha. Fahri menghadapi ujian tersebut dengan berbagai usaha yang dilakukan sebagai ikhtiar dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Firman Allah QS Al-‘Ankabut 2-3,
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan, “kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (2). Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta (3).
Begitu juga dengan firman Allah pada QS Al Baqarah ayat 155,
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Seperti Maryam binti ‘Imran, manusia pilihan Allah yang taat beribadah, menjaga kebersihan diri secara lahir batin dan suci dalam pikiran, hati dan perbuatan diuji oleh Allah dengan diberi bayi tanpa ada pria yang menyentuhnya. Seseorang akan diuji oleh Allah dengan karunia terkait hal yang paling dijunjung tinggi oleh jiwanya[2]. Orang yang beriman kepada Allah akan dibimbing dan diberi petunjuk oleh Allah untuk dapat menghadapi ujian dan atau musibah dari Allah karena segala yang menimpa manusia (khususnya musibah) terjadi atas izin Allah (QS At-Taghobun 11).
Akan tetapi, dibalik segala sifat dan sikap Fahri sebagai tokoh utama yang dideskripsikan baik secara tersirat maupun secara tersurat dalam novel tersebut, ada sedikit ganjalan yang dapat diamati dalam karakter tersebut. Fahri yang tanpa cela, hampir tidak pernah melakukan kesalahan. Padahal manusia adalah tempat lupa dan salah. Selain sifat dan sikap Fahri, cerita yang dibuat oleh Kang Abik juga kurang sesuai dengan cerita non fiksi atau cerita hidup yang sebenarnya pada umumnya manusia. Manusia akan selalu diberi ujian oleh Allah di sepanjang waktu hidupnya sampai nyawanya diambil kembali oleh Allah, dan ujian yang diberi Allah akan selalu berganti jika manusia telah melewati tahapan ujian tertentu. Hal ini dapat dimaklumi karena cerita yang dibuat oleh Kang Abik adalah cerita fiksi dan hanya merupakan bagian dari serangkaian cerita dari seorang dan beberapa orang manusia. Kehidupan Fahri digambarkan sebagai sosok manusia yang minim ujian dari Allah. Kisah seorang Fahri yang terlalu sempurna dalam menjalani hidup masih kurang “greget” dan kurang berwarna, serta cenderung datar dengan posisi dan jabatan tinggi yang sudah berhasil dicapainya. Padahal semakin tinggi pohon bertumbuh, maka akan semakin kencang angin yang menerpanya. Dan, jika mengingat dari jalan hidup yang dipilih oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat nabi setelah mendapatkan petunjuk dari Allah terkait kezuhudan, kesederhanaan dan cara hidup, maka cara tokoh Fahri dalam berperilaku sehari-hari dan menghadapi tantangan hidup kurang sesuai dengan pilihan yang diambil oleh Nabi dan sahabat Nabi. Dalam menjalankan aktivitas dan tantangan dakwah di negeri minoritas muslim, tokoh Fahri berusaha total dengan harta maupun pikiran, serta waktu, membantu sesama muslim maupun non muslim. Namun, hal tersebut tidak diimbangi dengan penampilan sehari-hari. Kehidupan dan keseharian Fahri menimbulkan kesan “agak mewah”. Gaya hidup Fahri sehari-hari sebenarnya masih bisa dikatakan sederhana jika dibandingkan dengan gaya hidup akademisi atau kolega Fahri di kampus maupun di sekitar tempat tinggalnya. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan gaya hidup Rasulullah SAW dan para sahabat nabi terdahulu setelah mengenal Islam, maka gaya hidup Fahri terbilang memiliki tingkatan kezuhudan yang berbeda dengan Rasulullah dan sahabat Nabi. Hal-hal tersebut dapat dimaklumi mengingat novel ini adalah novel fiktif yang karakter tokoh dan jalan ceritanya bisa dibuat sedemikian rupa oleh Kang Abik mengingat perbedaan kondisi geografis dan perkembangan zaman yang ada.
Terlepas dari bahasan tentang novel ini di atas, ada banyak pesan moral penting yang disampaikan Kang Abik. Banyak pesan moral yang disampaikan Kang Abik melalui pesan tersirat maupun tersirat, sehingga membuat novel ini sarat makna. Makna-makna yang disampaikan Kang Abik berupa pesan baik yang berhubungan dengan hubungan sesama manusia (dalam lingkup sesama muslim dan di luar muslim) maupun hubungan manusia dengan Tuhan. Pesan moral tersebut menyangkut bagaimana seharusnya manusia, khususnya seorang muslim menjaga hubungan vertikal dengan Allah, yang dapat berdampak terhadap hubungan horizontal dengan sesama manusia.
Kang Abik berpesan dalam konteks hubungan dengan sesama manusia, bahwa prasangka buruk atau su’udzon terhadap sesama muslim maupun terhadap orang di luar muslim tidak diperkenankan. Dalam bergaul dengan sesama manusia, tindakan yang diambil setiap muslim harus berdasar pada fakta-fakta riil, bukan emosi tanpa dalil dan gosip. Juga, perlakuan seseorang yang tidak sesuai dengan keinginan kita, tidak boleh dibalas dengan perlakuan yang menyakitkan. Sebagai muslim, perlakuan yang menyakitkan dari orang lain harus dibalas dengan kasih sayang seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika kepala beliau disiram tanah oleh seorang pandir Quraisy. Akhlak ini memberi pesan kepada kita semua bahwa kita harus menolak kejahatan dengan kebaikan. Bahkan kebaikan yang dilakukan oleh tokoh Fahri tidak diketahui oleh Keira dan Jason, kedua orang yang menghina dan mencaci maki Fahri, yang kemudian dibalas dengan dibantu oleh Fahri untuk menggapai cita-cita mereka berdua. Kemudian di sisi lain, dalam berbisnis, Fahri menerapkan konsep ekonomi Islam yang mengedepankan kehalalan materi yang digunakan dalam berbisnis dan segala metode yang mengutamakan pengamalan nilai-nilai Islam seperti kejujuran, kepercayaan, ketepatan bertindak, dan profesionalitas. Konsep berbisnis yang berorientasi akhir pada keselamatan dunia maupun di akhirat. Selain itu, dengan pegawai yang juga berasal dari kalangan di luar muslim, implementasi konsep rahmat bagi seluruh alam dalam Islam semakin jelas. Bahwa Islam juga tetap tidak memandang sebelah mata kalangan di luar muslim, sebagai wujud perlindungan hak-hak mereka sebagai sesama manusia. Selain itu, tokoh Fahri juga merupakan simbol pemimpin yang open-minded, yang mau menerima saran dan nasihat dari orang lain, meski berasal dari kalangan di luar muslim dalam kehidupan bisnisnya. Pada lingkaran di dalam rumah Fahri di Stoneyhill Grove, tokoh Fahri menyiratkan pesan moral bahwa seorang muslim harus bertingkah laku baik kepada sesama meskipun memiliki posisi yang secara status sosial lebih rendah. Seorang muslim harus memperlakukan sesama dengan tanpa membeda-bedakan status, apalagi status dunia. Hal ini dikarenakan status setiap muslim di hadapan Allah bergantung pada ketaqwaan makhluk tersebut, bukan berdasar pada status sosial di dunia. Selain hal tersebut, seorang muslim juga harus cerdas dan memiliki emosi yang matang, dan mau melihat suatu permasalahan dengan kajian dari berbagai aspek, dengan pedoman utama Al Qur’an dan Hadits. Juga, seorang muslim harus memiliki keshalihan secara sosial, yang tampak dalam kehidupan sehari-hari untuk berlaku adil, baik, dan bisa bermanfaat untuk lingkungan sekitar dengan segala apa yang diberikan dari Allah. Segala yang diberikan Allah menyangkut harta, kelonggaran waktu, dan kesediaan hati untuk selalu membantu sesama, mendengarkan meskipun berbeda agama dan ras. Karakter yang suka berderma (filantropis) sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT juga seharusnya dimiliki dalam jiwa setiap muslim demi keberlangsungan agama Islam dimanapun berada, yang dapat diberikan melalui bidang pendidikan maupun dalam hal yang berkaitan dengan aspek sosial lain.
Pesan moral tersebut, sebagian besar tersirat dalam karakter dan perilaku sehari-hari tokoh utama Fahri. Perilaku Fahri sehari-hari dimulai dari bangun tidur dan hingga akan tidur lagi yang digambarkan oleh Kang Abik merupakan perilaku ideal dan impian setiap muslim. Perilaku seorang muslim yang visioner, yang selalu berdasar pada pemahaman yang mendalam terhadap dua pedoman utama umat Islam, yaitu Qur’an dan Hadist. Contoh perilaku tersebut adalah selalu istiqomah mengingat Allah dalam segala situasi, memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien, tidak mudah menghakimi manusia lain, suka berderma kepada siapapun, lemah lembut, penyabar, dan penyayang. Sebagai seorang akademisi (filolog), Fahri dapat dikatakan sebagai seorang yang cerdas dalam mengupas suatu problematika umat kontemporer. Fahri berhasil menyajikan perilaku konkret dan analisis yang logis sebagai bantahan terhadap anggapan sepihak masyarakat di luar Islam terhadap Islam. Anggapan sepihak yang dimaksud adalah tentang Islam yang menyeramkan dan menakutkan karena deskripsi yang diberikan oleh media massa melalui berita yang masih perlu dikaji kebenarannya lagi. Cahaya Islam hanya sedang tertutupi oleh umat Islam.
Disamping itu, dalam tataran hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, seorang muslim harus bisa mengingat Allah dalam keadaan apapun, baik ketika duduk, berdiri maupun berbaring. Pengingatan terhadap Allah dapat ditunjukkan dengan selalu berdzikir, memuji asma Allah dimanapun berada dan dalam kondisi apapun. Hal yang harus diyakini oleh seorang muslim adalah bahwa semua peristiwa yang menimpa manusia selalu terjadi atas izin Allah. Pesan lain yang tersirat dalam novel ini adalah ke”legawa”an atau keikhlasan hati menerima takdir yang harus dimiliki oleh muslim jika apa yang terjadi tidak sesuai harapan (karena merupakan takdir Allah). Seorang muslim juga harus produktif. Produktif dengan jalan harus bisa memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien sehingga menjadi cikal bakal peran muslim sebagai rahmatan lil ‘alamin di bumi. Waktu 24 jam sehari yang diberikan dari Allah harus bisa dibagi, antara beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan manusia. Karena keseimbangan dunia akhirat adalah target seorang muslim ketika hidup di dunia. Hidup di dunia harus dijadikan bekal untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat. Seorang muslim juga harus menyerahkan semua urusan kepada Yang Diatas jika semua yang terjadi dan diharapkan tidak sesuai keinginan. Penyerahan diri total kepada Allah agar semua keputusan dan jalan yang diambil selalu berada di dalam koridor-Nya dan diridhoi-Nya.
Seperti dikutip dalam komentar tentang novel ini dari Muhammad Elvandi (pakar kebijakan publik, alumnus Al Azhar University Mesir dan The University of Manchester Inggris) di bagian awal halaman Ayat-Ayat Cinta 2, benar bahwa novel ini ditulis oleh  novelis yang visioner. Novel bervisi besar dengan cita-cita yang berdasarkan pada dua pedoman utama umat Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadits. Novel dengan identitas bahasa sastra yang mumpuni, mudah dipahami dan isi yang penuh visi misi besar, sehingga merupakan karya roman yang berbobot. Begitulah kekhasan Kang Abik dalam meramu cerita Ayat-Ayat Cinta 2 ini. Kang Abik berhasil menyajikan bidang ilmu yang beliau pahami dalam karya sastra fiktif yang santun dan enak dibaca. Bidang ilmu yang menghubungkan peristiwa di masa lalu untuk dipetik hikmah dan kebenarannya di masa kini. Apabila dibandingkan dengan novel-novel Kang Abik sebelumnya, tema cerita yang diangkat oleh Kang Abik kurang lebih sama. Ayat-Ayat Cinta 2 berbeda dalam hal setting tempat sehingga tantangan dakwah dan rentetan konflik yang dialami juga berbeda. Secara keseluruhan, penulis merekomendasikan novel ini untuk dibaca berbagai kalangan masyarakat karena figur yang ditampilkan tidak hanya mengandung cita-cita yang membumi, namun juga melangit.

Referensi
Abdullah, A. 1996. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta; PustakaPelajar
Fillah, S.A. 2014. Lapis-Lapis Keberkahan. Yogyakarta : Pro-U Media
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Filologi. Diakses tanggal 21 Februari 2016
Lubis, Nabilah. 2001. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia.
zukrasmpu.blogspot.com/2013/02/filologi-dalam-kajian-islam.html. Diakses tanggal 21 Februari 2016




[1] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Filologi. Diakses tanggal 21 Februari 2016
[2] Dalam buku Lapis-Lapis Keberkahan karya Salim A. Fillah yang terbit tahun 2014