Tradisi Sekaten di Yogyakarta (http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisi-sekaten-di-yogyakarta/)
Sejarah,
merupakan satu kata yang menjadi momok
bagi saya dulu sekitar 10 tahun yang lalu ketika saya masih berada di bangku
Sekolah Menengah Atas (SMA). Bagaimana tidak? Kala itu, saya berjuang dengan
sepenuh tenaga dan pikiran untuk menghafal berbagai detail tentang peristiwa
masa lampau, nama-nama tokoh dan tahun peristiwa tertentu terjadi di masa lalu.
Sebagai orang introvert yang sangat
tidak menyukai detail, saya sangat terganggu dengan keinginan guru sejarah saya
waktu itu. Ya. Saya mengalami kesulitan belajar sejarah saat itu.
Maka, lambat laun saya mulai menghindari bidang ilmu
itu. Beberapa tahun setelahnya saya pergi dari bahasan tentang sejarah. Mencoba
menutup mata dan telinga, serta pikiran tentang segala hal berbau sejarah. Karena
bagi saya, ilmu itu sangat mengekang jiwa karena telah terjadi di masa lampau,
ketika bahkan saya belum lahir dan tidak menjadi bagian di dalamnya, sehingga
saya merasa diberi beban untuk memanggulnya. Pergilah diri saya dari ilmu
sejarah. Hingga suatu hari.
Saya diberi tugas untuk mempelajari tentang semangat
nasionalisme untuk Indonesia pada suatu seminar menulis. Saya terpaksa saat itu
menyisakan sedikit ruang membaca saya untuk cerita tentang peristiwa masa lalu
di Indonesia, terutama ketika zaman perjuangan para pahlawan membela negeri
indah gemah ripah loh jinawi ini.
Namun kemudian, saya menemukan angin sejuk yang belum pernah saya bayangkan
sebelumnya. Entahlah, saya mulai mencintai sejarah. Entah darimana sejarah itu
ditulis. Entah ada kepentingan apa dibalik penullisan sejarah tersebut. Entah sejarah
yang ditulis itu merupakan suatu kebenaran atau gosip yang penuh bumbu
penyedap. Namun demikian, setiap jengkal peristiwa yang saya baca saat itu seperti
menyiratkan pesan yang mendalam. Meski tetap saja, sebagai seorang yang
memiliki kecenderungan kepribadian introvert,
saya mengalami kesulitan dalam menghafal detail setiap komponen yang terdapat
dalam cerita masa lampau tersebut. Kecintaan saya terhadap sejarah adalah
karena saya mendapatkan sedikit peringatan melalui apa yang saya baca. Saya
seperti mendapatkan guru masa kini yang berasal dari masa lalu, serta menjadi
saksi bisu tentang peristiwa masa lalu. Untuk kemudian saya petik esensi dari
peristiwa yang sudah terjadi. Sehingga sebagai pribadi khususnya, saya berharap
dapat meniru tokoh-tokoh perjuangan bangsa Indonesia di masa lalu untuk hal
yang lebih baik di masa depan. Rasulullah SAW bersabda,
“Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang
beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi)
Berkaitan dengan hal di atas, para
ahli telah membuat pengertian tentang sejarah. Salah satu pengertian yang
terkenal ditulis oleh Roeslan Abdulgani. Menurutnya,
“ilmu
sejarah adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang meneliti dan menyelidiki
secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan pada
masa lampau beserta kejadian-kejadian dengan maksud untuk kemudian menilai
secara kritis seluruh hasil penelitiannya tersebut, untuk selanjutnya dijadikan
perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah
proses masa depan.”
Betapa panjang
definisi ini jika saya harus menghafalnya. Maka, saya biasa menyingkatnya dengan
ilmu tentang berbagai kajian peristiwa di masa lalu untuk kemudian dapat kita
ambil pelajaran dan hikmahnya untuk kehidupan sekarang dan di masa yang akan
datang.
Ketika saya diberi kesempatan oleh Allah Yang Maha Pemberi
Takdir untuk tinggal sementara waktu di Yogyakarta, saya merasa kota yang
pernah menjadi ibukota negara Indonesia pada kurun waktu antara tanggal 4
Januari 1946 hingga 27 Desember 1949 adalah kota yang sarat dengan makna.
Makna-makna yang saya maksud adalah makna kehidupan masa lampau yang tetap diuri-uri[1]
sampai abad 21 sekarang ini. Jika dilihat dari pemimpin Ngayogyakarta, melalui Sri
Sultan Hamengku Buwono IX lah persoalan politik bangsa pada saat roda
pemerintahan RI macet total saat itu dikoordinasikan kembali[2].
Hal ini mengingat Sri Sultan HB IX merupakan aktor intelektualis yang memiliki
multi status, selain sebagai raja juga sebagai kepala daerah dan menteri
pertahanan. Maka dari itu, makna pemimpin dengan dasar kepribadian yang
mengutamakan kejujuran dan kesederhanaan demi kemanunggalan antara Sultan dan
kawula (rakyatnya) patut diteladani, dan masih relevan hingga saat ini. Juga,
apabila dilihat dari rakyat yang mendiami Yogyakarta, bagi saya, Yogya adalah
cerminan kemewahan dalam kesederhanaan hidup. Masyarakat Yogya adalah
masyarakat yang pluralis karena terdiri dari beberapa agama dan ras, namun
tetap humanis. Kemewahan yang saya maksud disini adalah bagaimana masyarakat
Yogya memandang kehidupan dari berbagai aspek, yang dengan pandangannya
tersebut, mereka tetap bersahaja dalam meniti hidup. Masyarakat Yogya tidak
hanya melihat segala sesuatu dari satu sisi seperti materi, namun juga dari
sisi spiritual yang lain.
Salah satu makna peristiwa masa lalu yang masih
dilestarikan di Daerah Istimewa Yogyakarta sampai sekarang adalah peringatan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Peringatan Maulud
Nabi di Yogyakarta diselenggarakan dalam serangkaian acara yang dinamakan sekatenan. Konon, dua keraton “anak”
Kerajaan Mataram yakni Ngayogyakarto
Hadiningrat (Yogyakarta) dan Surakarta Hadiningrat (Solo),
terdapat sejumlah kesamaan
dan perbedaan dalam upacara di dua keraton tersebut.
Versi
sejarah masing-masing menuliskan bahwa tradisi sekaten tersebut dimulai pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16), dan
merupakan sebentuk upaya dakwah yang dilakukan para Wali melalui pendekatan
seni budaya.
Gamelan menjadi unsur penting dalam upacara adat sekatenan di kedua keraton. Terdapat
perbedaan waktu dimulainya prosesi gamelan pada kedua keraton tersebut. Di keraton Yogyakarta, prosesi dimulai pada tanggal 6 Rabiul Awal (Maulud), sementara di keraton
Surakarta sehari lebih awal, yakni 5 Rabiul Awal (Maulud). Selain itu, perbedaan lain yang ada
adalah pada nama perangkat gamelan yang digunakan di dua keraton tersebut. Di keraton Yogyakarta, gamelan Sekaten terdiri dari dua perangkat, yakni gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai
Guntur Madu. Di keraton Surakarta, dua perangkat gamelan yang menjadi bagian
dalam ritual Sekaten bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari.
Berdasarkan kajian sejarah tentang asal-usul tradisi sekaten,
upacara adat yang dinamai dari asal kata yang sarat makna seperti syahadatain,
sahutain, sakhatain, sakhotain, sekati, dan sekat ini sudah
dijadikan tradisi yang berlangsung setiap tahun di Yogyakarta dan Surakarta.
Beberapa asal nama ini memiliki makna yang masih sesuai jika diterapkan saat
ini. Hal tersebut berhubungan dengan sejarah diadakannya upacara keagamaan di
dua keraton tersebut. Syahadatain merupakan kalimat syahadat yang
merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam,
yang memiliki arti Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan
Allah. Kalimat ini merupakan kalimat akad antara manusia dengan Allah yang
menunjukkan ketundukan sepenuhnya manusia kepada Allah, Yang Maha Memiliki
Kehidupan. Bahwa manusia adalah makhluk lemah yang selalu berada dalam kuasa
Allah dalam segala urusannya di dunia. Serta sebagai bentuk pengikraran bahwa
manusia akan selalu menggunakan dua pedoman umat Islam dalam menjalani
kehidupan, yakni Al Qur’an yang merupakan Kalam Allah dan Hadits yang merujuk
kepada segala tingkah laku, ucapan serta perbuatan Rasulullah SAW. Kata sahutain
yang juga menjadi rujukan asal muasal nama tradisi Sekaten bermakna
menghentikan atau menghindari dua perkara, yakni sifat lacur dan menyeleweng.
Makna ini menyiratkan pesan kepada kita bahwa dengan diadakan upacara keagamaan
tersebut, maka diharapkan akan mampu terhindar dari sifat yang melenceng dan
pembelok karena penggunaan dua pedoman yang digunakan oleh umat Islam, sehingga
berperan dalam penyempurnaan akhlak manusia. Selanjutnya, tujuan agar watak
kehewanan dan sifat syetan bisa hilang tersurat dalam asal kata sakhatain.
Hal ini dikarenakan kedua watak tersebut merupakan watak yang merupakan sumber
kerusakan. Tujuan ini juga bermuara pada penyempurnaan akhlak manusia.
Selanjutnya, penggunaan kata sakhotain, lebih merupakan ajakan untuk
menanamkan perkara yang selalu memelihara budi suci atau budi luhur, serta
selalu menghambakan diri kepada Tuhan. Ajakan kepada manusia sebagai manusia
yang hidup, yang harus selalu menimbang atau menilai hal-hal baik maupun buruk
tersurat dalam kata sekati. Dan kata yang terakhir, sekat, yang berarti
batas. Kata ini bermakna bahwa orang hidup harus membatasi diri untuk tidak
berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan di dunia.
Dari sumber sejarah yang ada, upacara
adat keagamaan ini dimulai ketika dakwah Islam di kerajaan Demak pada masa
pemerintahan Raden Patah belum menunjukkan peningkatan pengikut yang signifikan
meskipun telah dibangun Masjid Agung sebagai tempat ibadah dan para Wali Songo
telah giat berdakwah. Sebagian besar rakyat terutama yang berdomisili di desa
masih enggan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat
sebagai pernyataan memeluk agama Islam, begitu pula dengan jumlah santri yang
masih sedikit. Menyikapi hal tersebut, para Wali Songo kemudian bermusyawarah dan
menghasilkan kesamaan misi bahwa dakwah Islam harus dilakukan secara bertahap
dan penuh kearifan. Implementasi sikap tersebut ditunjukkan dengan sikap yang
sopan-santun, ramah tamah, dan dakwah yang tanpa celaan kepada adat serta
unsur-unsur kebudayaan rakyat, bahkan memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan
rakyat itu sendiri sebagai sarana dakwah. Unsur-unsur kebudayaan rakyat yang
dimaksud dapat berupa bahasa, adat-istiadat maupun kesenian rakyat.
Sebagai seorang Sunan yang mengetahui
kebutuhan rakyat, Sunan Kalijogo memahami bahwa rakyat menyukai perayaan berwujud
keramaian yang dihubungkan dengan upacara-upacara keagamaan, apalagi jika
perayaan tersebut disertai dengan irama gamelan. Maka dari itu, timbul gagasan
Sunan Kalijogo agar kerajaan menyelenggarakan perayaan berwujud keramaian
setiap menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awal. Gamelan
yang ditempatkan di halaman masjid kemudian dibunyikan untuk menarik perhatian
rakyat agar mau masuk ke Masjid Besar.
Demi kelancaran syiar Islam, gagasan
Sunan Kalijogo diterima majelis Wali Songo meskipun bebunyian gamelan di
halaman masjid ditafsirkan sebagai hal yang makruh. Raden Patah kemudian
menyetujui pelaksanaan gagasan Sunan Kalijogo sehingga pada bulan Rabiul Awal,
seminggu sebelum hari kelahiran Nabi, diselenggarakan perayaan keramaian yang
disebut sekaten. Di halaman Masjid
Besar didirikan tempat khusus untuk meletakkan dan membunyikan gamelan, yang
disebut pagongan. Pagongan bermakna tempat gong (gamelan)
yang dibuat oleh Sunan Giri. Sebagian dari gendhing-gendhing
(lagu) gamelan diciptakan oleh Sunan Giri pula dan sebagian lagi oleh Sunan
Kalijogo. Gamelan diperdengarkan secara terus-menerus selama satu minggu,
kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada malam Jumat sampai lewat sholat Jumat.
Pada malam menjelang hari kelahiran Nabi
yang bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal, Sultan berkenan mengikuti upacara
keagamaan di Masjid Besar untuk lebih menarik simpati rakyat. Kemudian, Sultan
keluar dari keraton diiring para putra dan segenap pembesar kerajaan. Selepas sholat
Isya, Sultan dan para pengiringnya duduk di serambi masjid untuk mendengarkan
riwayat hidup nabi yang diuraikan oleh para wali disusul dengan selawatan. Sultan dan para pengiringnya
kembali ke keraton baru pada tengah malam. Gamelan yang selama seminggu
diletakkan dan dibunyikan di halaman Masjid Besar, juga dibawa ke keraton
sebagai tanda berakhirnya perayaan, keramaian sekaten dan upacara peringatan hari kelahiran nabi.
Nilai-nilai yang ada sebagai dasar dalam
pelaksanaan upacara adat sekaten tersebut patut untuk ditilik lagi di zaman
sekarang. Sekarang ini, banyak masyarakat cenderung lebih memilih figur
tertentu untuk dijadikan panutan berkehidupan. Padahal, agama Islam mengajarkan
bahwa sumber utama sebagai pedoman berkehidupan bagi umat adalah Qur’an dan
Hadits. Kemudian, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat pada zaman sekarang
dititikberatkan pada tren yang sedang berkembang di masyarakat. Hal inilah yang
membuat masyarakat zaman sekarang mengalami pergeseran nilai dalam bergaul dan
bertingkah laku. Banyak pemuda-pemudi zaman sekarang berkiblat pada budaya
barat dan budaya negara lain yang mengakibatkan munculnya tatanan masyarakat
yang semrawut, cenderung susah diatur dan amburadul, sehingga tidak sesuai pada
porsi dan tempatnya masing-masing. Hal ini membuat pemuda sekarang, sudah tidak
sama lagi dengan pemuda tahun 45 an dulu. Nilai-nilai baik yang harus
dipertahankan sampai sekarang menjadi barang mahal yang kemudian ditinggalkan
oleh para pemuda. Pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam makna “sekaten” menjadi luntur sekarang karena
pergeseran nilai budaya yang masuk ke Indonesia. Batasan dan aturan main
berkehidupan yang terkandung dalam nilai-nilai acara “sekaten” telah hilang ditelan “perkembangan” zaman.
Maka, dari hal ini kita melihat bahwa
nilai-nilai dalam sekaten harus
dikembalikan seperti ketika sejarah tradisi tersebut dibentuk. Akhlak yang baik
sesuai tuntutan Qur’an dan Hadits (khusus Muslim) harus diwujudkan sehingga
mampu membedakan perkara yang baik dan batil. Perwujudan kondisi masyarakat
yang sesuai dengan tatanan namun memiliki batasan yang bisa
dipertanggungjawabkan kepada Allah Yang Maha Memiliki Kehidupan. Maka, semoga
nilai dari sekaten tidak hanya melulu
pada keuntungan yang didapat oleh para pemilik wahana permainan dan para
pedagang yang menjajakan dagangannya di alun-alun, namun dimaknai lebih dari
materi semata. Sama seperti bagaimana ketika saya memandang bahwa masyarakat
Yogyakarta adalah masyarakat yang memiliki kemewahan dalam balutan
kesederhanaan dan kebersahajaan. Semoga sejarah sekaten di masa lalu tersebut tidak hanya menjadi coretan hitam di
atas kertas putih yang diletakkan di etalase museum, namun juga dimaknai masyarakat
Yogyakarta pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya hingga ke relung
jiwa yang paling dalam.
[1] Dilestarikan
[2] Orasi Prof Dr Suhartono
Wiryopranoto di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM pada 29 Desember
2007
Referensi
Anonim.
2014. Islam dalam Tradisi Dua Keraton Mataram. http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1137/sekaten.
Diakses tanggal 29 Februari 2016.
Isnaeni,
M. 2012. Asal Mula Sekaten. http://rizki-nisa.blogspot.co.id/2013/06/asal-mula-sekaten.html.
Diakses tanggal 29 Februari 2016.
Rizki,
D. 2010. Tradisi Sekaten di Yogyakarta. http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisi-sekaten-di-yogyakarta/.
Diakses tanggal 29 Februari 2016.
NB : Tulisan ini diikutsertakan dalam Blogger Gramedia Competition 2016