Tanggal 21 April 2016, saya mendapat
pesan tentang iklan bisnis tahu dari salah seorang pebisnis di media sosial.
Iklan gambar tersebut mengambil judul “Ada apa dengan tahu?”, sedikit
diplesetkan dengan salah satu judul film roman Mira Lesmana dan Riri Riza yang
akan ditayangkan di bioskop kala itu.
Isi pesan tersebut adalah ajakan untuk memilih dan membeli tahu dari pebisnis
tersebut dengan memberikan penjelasan tentang bahaya produk tahu yang lain.
Prolog adegan di iklan tersebut menganalogikan kejahatan Rangga yang
meninggalkan Cinta selama 14 tahun tanpa kejelasan dengan kejahatan seorang
suami yang meninggalkan istrinya karena memberikan oleh-oleh tahu yang dibuat
dari kedelai Genetically Modified
Organism (GMO). Selanjutnya, pada tanggal 10 Oktober 2016 dengan
ketidakjelasan sumber primer, saya mendapatkan lagi pesan berantai di grup
media sosial yang lain dengan isi yang kurang lebih sama, meskipun tidak
dimaksudkan untuk iklan produk tertentu.
Arus informasi di media sosial mengalir
cepat meskipun sumber utama pemberi informasi belum jelas. Ternyata, tidak
semua pengguna media sosial dapat berperan sebagai jurnalis yang memiliki kode
etik. Saya sedih karena isi informasi tersebut berpotensi semakin menimbulkan
keresahan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan, obyek yang sedang
diperbincangkan adalah sesuatu yang dibutuhkan tubuh kita sehari-hari, bahkan
dengan frekuensi yang rutin setiap hari. Padahal, pemerintah telah berusaha
melakukan cara untuk menjamin keamanan hayati produk rekayasa genetik (disingkat
PRG) yang ada di Indonesia. Peneliti juga telah berusaha untuk menghasilkan
berbagai PRG untuk kemaslahatan umat manusia, khususnya di Indonesia.
Sampai saat ini, masyarakat memang
menaruh kekhawatiran terhadap PRG. Pemanfaatan tanaman PRG sebagai salah satu
jenis PRG masih mengundang kekhawatiran tentang risiko yang mungkin timbul
terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati, kesehatan manusia dan hewan[1].
Kekhawatiran masyarakat yang muncul sebagai respon dari pesan-pesan di media
sosial tentang PRG tersebut sejalan dengan tinjauan tertulis dalam review ilmiah[2]
yang disebarluaskan melalui Analisis Kebijakan Pertanian. Tulisan ini bertujuan
untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan beberapa pihak terkait tentang
regulasi, implementasi dari regulasi yang telah dibuat pemerintah, status PRG
yang telah aman untuk diedarkan secara luas, dan kendala-kendala yang muncul
dari implementasi regulasi tersebut.
Kekhawatiran masyarakat tentang PRG
memang bukan tanpa alasan. Poin penting dari pesan-pesan yang beredar di media
sosial tersebut adalah tentang bahaya PRG apabila dikonsumsi oleh manusia,
padahal data penelitian yang ditampilkan di pesan tersebut tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Secara normatif, pelepasan edar dan
pelabelan aman bagi suatu PRG membutuhkan proses yang sudah diatur oleh
pemerintah, baik dalam bentuk peraturan pemerintah maupun undang-undang. Proses
yang panjang tersebut berkaitan dengan regulasi dan kelembagaan dengan
melibatkan beberapa kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK).
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan
Perkebunan, Kementerian Kesehatan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
merupakan lembaga pemerintah yang terlibat dalam pemberian izin edar suatu PRG.
Hingga saat ini, pemerintah mengatur
segala tata cara dan ketentuan tentang keamanan PRG dalam Peraturan Pemerintah
No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik dan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 25 Tahun
2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen
Analisis Risiko Lingkungan Produk
Rekayasa Genetik. Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005, produk
rekayasa genetik atau
organisme hasil modifikasi
yang disingkat PRG adalah
organisme hidup, bagian-bagiannya dan/atau
hasil olahannya yang
mempunyai susunan genetik baru
dari hasil penerapan bioteknologi modern. Jenis PRG terdiri dari tanaman, jasad
renik (mikroorganisme), hewan, dan ikan, termasuk bahan asal dan hasil olahan PRG
tersebut. Dua subyek pengkajian keamanan PRG terdiri dari pengkajian keamanan
organisme hayati PRG, terutama tanaman PRG dan sebagai produk pangan (dan atau
pakan). Keamanan hayati PRG meliputi
keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau
keamanan pakan PRG[3].
Berdasarkan Peraturan Pemerintah
tersebut, pengkajian keamanan lingkungan tanaman PRG secara prinsip adalah sama
dengan pengkajian keamanan PRG sebagai produk pangan (dan atau pakan), meskipun
memiliki perbedaan. Prinsip pengkajian keamanan hayati berupa keamanan
lingkungan dan produk pangan (dan atau pakan) PRG menjamin agar pelepasan PRG
aman untuk seluruh ekosistem, tidak hanya untuk manusia. Pendekatan yang
digunakan untuk mewujudkan keamanan terhadap lingkungan, pangan, dan atau pakan
PRG adalah dengan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan kaidah agama,
etika, sosial budaya, dan estetika, serta pelestarian. Pengkajian keamanan
tanaman dan produk pangan dan atau pakan PRG juga dilakukan oleh lembaga yang
sama, meskipun pihak yang berwenang untuk pemberian izin pelepasan produk
berbeda. Mekanisme pengkajian keamanan lingkungan dan produk pangan dan atau
pakan PRG secara prinsip melalui berbagai pengujian yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan teknik pengujian sesuai standar internasional. Mekanisme pengkajian keamanan hayati dan pangan (dan atau pakan) dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Gambar 1. Mekanisme izin edar dan pelepasan PRG (PP No. 21
tahun 2005)
Mekanisme pengkajian keamanan hayati
PRG, sesuai dengan Bab V PP No. 21 tahun 2005 diawali dengan pengajuan
permohonan kepada Menteri cq Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian dengan tembusan Menteri Lingkungan Hidup cq Deputi III Komisi Lingkungan
Hidup (KLH) dan Ketua Tim Teknis Keamanan Hayati (TTKH) PRG, yang ditunjukkan
pada tahap 1 dan 2. Selanjutnya, Kepala Badan Litbang Kementerian terkait dalam
waktu 7 (tujuh) hari sejak menerima permohonan pengujian tanaman PRG di Fasilitas
Uji Terbatas (FUT) atau Lapangan Uji Terbatas (LUT), menyerahkan permohonan
kepada Komisi Keamanan Hayati PRG, pada tahap 3. Kemudian pada tahap 4, KKH PRG
menugaskan TTKH PRG untuk mengevaluasi substansi permohonan pengujian tanaman
PRG di FUT atau LUT. Jangka waktu pemeriksaan dokumen permohonan pengujian oleh
KKH PRG paling lambat 14 (empat belas) hari. Selanjutnya pada tahap 5, TTKH PRG
mengevaluasi informasi atau data permohonan pengujian tanaman PRG di FUT atau
LUT. Jangka waktu evaluasi oleh TTKH PRG paling lambat 30 (tiga puluh) hari.
Hasil evaluasi disampaikan kepada KKH PRG. KKH PRG menyampaikan rekomendasi
keputusan pemberian atau penolakan permohonan pengujian tanaman PRG di LUT
kepada Menteri yang berwenang cq Kepala Badan Litbang Kementerian paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi dari TTKH PRG (tahap 6
dan 7). Menteri yang berwenang cq Kepala Badan Litbang Kementerian dalam waktu
14 (empat belas) hari sudah memberikan keputusan pemberian atau penolakan
permohonan pengujian kepada pemohon (tahap 8).
Pengkajian
keamanan pangan tanaman
PRG berupa uji Fasilitas Uji Terbatas
(FUT) dan Lapangan Uji Terbatas (LUT), serta evaluasi terhadap semua dokumen
keamanan hayati kemudian dilakukan
oleh TTKH setelah
mendapat tugas dari KKH. Data dan dokumen keamanan lingkungan tanaman PRG
yang harus dilengkapi pemohon meliputi
informasi genetik dan
informasi keamanan lingkungan.
Informasi genetik yang
diperlukan antara lain
informasi mengenai elemen
genetik, sumber gen interest[4],
sistem transformasi, dan stabilitas genetik.
Informasi keamanan lingkungan terdiri atas
dampak terhadap organisme
non target, dampak terhadap keanekaragaman
hayati, perpindahan gen, dan potensi menjadi gulma.
Namun, khusus untuk tanaman
yang akan dibudidayakan di wilayah Indonesia, tanaman tersebut masih harus
dilakukan proses pengujian/pelepasan varietas berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 12 tahun 1992 pasal 12. Rencana pengujian varietas harus
disampaikan kepada Tim Penilai dan Pelepas Varietas (tahap 9) dari Badan Benih Nasional
(BBN). Menurut Keputusan Menteri Pertanian, hasil pengujian tersebut dapat diajukan
kepada Menteri Pertanian melalui Ketua BBN untuk dinilai dalam pelepasan
varietas. Apabila hasil penilaian tidak memenuhi syarat, maka Ketua BBN menolak
pelepasan varietas, dan Ketua BBN atas nama Menteri menolak usulan tersebut.
Namun apabila permohonan tersebut memenuhi syarat, pelepasan varietas
dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri (tahap 10).
Teknis pengujian lapangan untuk tanaman
PRG meliputi FUT dan LUT dilakukan oleh TTKH. FUT merupakan fasilitas yang
dibangun untuk melaksanakan kegiatan perakitan dan pengujian tanaman PRG dengan
konsep pengelolaan risiko sampai pada suatu tingkat yang dapat diterima. FUT
dibangun sesuai dan mengikuti standar keamanan hayat internasional. Berdasarkan
panduan dari NIH Guidelines[5],
ada empat tingkat keamanan hayati (Biosafety
Level for Plants, BLP) untuk tanaman PRG, yaitu BL1-P, BL2-P, BL3-P, dan
BL4-P. FUT terdiri dari gedung utama, rumah kaca[6],
dan rumah kasa[7].
Sementara itu, LUT yang digunakan untuk pengujian PRG juga harus memenuhi
ketentuan pembatasan/pengamanan gen baru dan bahan tanaman PRG. Ketentuan
tersebut meliputi pencegahan lepasnya gen baru dari lokasi percobaan melalui
serbuk sari, biji/benih, atau bagian tanaman lain, pencegahan bahan tanaman PRG
untukdikonsumsi oleh manusia dan hewan ternak ketika pengujian, dan pencegahan
lepasnya tanaman PRG dari lokasi percobaan. Beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya pemindahan atau transfer gen adalah isolasi jarak[8],
isolasi waktu[9],
isolasi fisik[10],
dan isolasi reproduktif[11].
Khusus untuk tanaman PRG yang akan
dijadikan sebagai pangan, kewenangan terhadap pemberian izin pelepasan dipegang
oleh BPOM. Pengkajian keamanan pangan
tanaman PRG dilakukan
oleh TTKH setelah
mendapat tugas dari KKH.
TTKH membentuk Tim
Kecil TTKH untuk melakukan pengkajian awal sampai dengan
memberikan konsep rekomendasi
keamanan pangan PRG. Konsep rekomendasi aman pangan ini dibahas dalam
rapat Kelompok Pangan yang selanjutnya dibahas dalam rapat pleno TTKH. Tim Kecil TTKH melakukan evaluasi jawaban daftar
pertanyaan, data, dan dokumen keamanan pangan,
serta pernyataan aman
pangan yang diperoleh di
luar negeri bagi
tanaman PRG yang
dirakit di luar negeri. Data dan dokumen keamanan pangan
tanaman PRG yang dievaluasi meliputi informasi genetik dan informasi keamanan
pangan. Menurut BPOM pada tahun 2008, informasi keamanan
pangan yang diperlukan terdiri atas kesepadanan
substansial[12],
alergenisitas[13],
dan toksisitas[14],
serta pertimbangan lain yang terkait dengan penggunaan penanda
seleksi dengan gen
ketahanan antibiotik. Pemerintah melalui PP No. 21 tahun 2005 tidak
hanya mengatur tentang tata cara atau mekanisme pemberian izin atau pelepasan
suatu PRG dan kelembagaan, tetapi juga tentang jenis dan persyaratan PRG, penelitian
dan pengembangan PRG, pemasukan PRG dari luar negeri, pengawasan dan
pengendalian PRG, dan pembiayaan. Status keamanan hayati PRG yang telah dikaji dan sudah mendapatkan label aman dapat dilihat dilihat pada Tabel 1-6.
Tabel 1. Status keamanan hayati (keamanan lingkungan) produk enzim dari fermentasi jasad renik PRG, 2001-2012
Sumber : Herman (2010, 2014) dalam Estiati & Herman (2015)
Tabel 2. Status pengkajian keamanan lingkungan jasad renik PRG untuk vaksin hewan, 2015
Sumber : Balai Kliring Keamanan Hayati (2015) dalam Estiati & Herman (2015)
Tabel 3. Status pengkajian keamanan hayati tanaman PRG, 1999
Sumber : Komisi Keamanan Hayati (1999a, 1999b)
Tabel 4. Status pengkajian keamanan lingkungan tanaman PRG, 2011-2015
Sumber : Herman (2010, 2014, 2015) dalam Estiati & Herman (2015)
Tabel 5. Status pengkajian keamanan pangan tanaman PRG, 2011
Sumber : Herman (2015) dalam Estiati & Herman (2015)
Tabel 6. Status pengkajian keamanan pakan PRG, 2013
Sumber : Herman (2012, 2014) dalam Estiati & Herman (2015)
Selain mekanisme pemberian izin edar dan
pelepasan produk PRG untuk menjamin keamanan produk hingga ke masyarakat,
pemerintah juga berusaha menjamin pemasukan PRG dari luar negeri dan pemantauan
serta pengawasan di lapangan, yang tertuang pada PP yang sama. Akan tetapi,
niat baik pemerintah dengan membuat regulasi tentang mekanisme pemasukan PRG
dari luar negeri belum mendapatkan sambutan yang baik pula dari pihak importir
dan negara pengekspor. Permohonan dari importir harus diajukan kepada Menteri
Pertanian dan Kepala Badan POM ketika importir baru pertama kali melakukan
pemasukan pangan PRG dari luar negeri[15].
Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan dokumen yang menerangkan bahwa
persyaratan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan atau pakan telah
terpenuhi, dan surat keterangan yang menyatakan bahwa PRG tersebut telah
diperdagangkan secara bebas di negara asalnya, serta dokumentasi hasil pengkajian
dan pengelolaan risiko dari lembaga yang berwenang tempat pengkajian
risiko dilakukan. Kasus yang pernah
terjadi adalah pada komoditas kedelai dan jagung impor yang digunakan sebagai
bahan pangan dan pakan. Sejak tahun 2000, Indonesia telah mengimpor jagung dan
kedelai hingga satu juta ton lebih, termasuk dari Amerika dan Argentina. Kedua
negara tersebut adalah penanam tanaman PRG, sehingga kemungkinan besar kedua
produk yang diekspor ke Indonesia tersebut mengandung PRG. Kedelai dan jagung
impor tersebut tidak dilabeli sebagai kedelai dan jagung PRG karena negara
pengekspor mencampur kedelai dan jagung PRG dengan non PRG untuk menghindari
harga jual yang akan menjadi mahal. Dengan demikian, importir tidak
mengajukan permohonan pengkajian keamanan lingkungan/keamanan pangan/keamanan
pakan karena kedelai dan jagung yang diimpor tersebut dianggap bukan PRG[16].
Hal ini menegaskan bahwa pemerintah harus lebih cermat dan waspada terhadap
segala bahan yang akan masuk ke Indonesia dengan menerapkan teknik analisis
sampel bahan yang cepat dan akurat. Salah satu teknik analisis yang bisa
digunakan secara cepat adalah analisis metabolomik untuk menentukan kesepadanan
substansial karena dapat mengetahui perbedaan metabolit antara sampel produk
PRG dengan non PRG sebagai standar[17].
Hal tersebut mengurai rapor merah
pemerintah karena ketidaksinkronan regulasi pemerintah dengan implementasi
regulasi tersebut di lapangan. Tinjauan tertulis salah satu artikel ilmiah[18]
menyebutkan bahwa komitmen lembaga pemerintah terkait implementasi PP No 21
tahun 2005 masih belum optimal karena pembentukan lembaga pengatur yang
membutuhkan proses yang panjang, sejalan dengan perkembangan regulasi yang
berkembang secara terus menerus. Selain itu, pemahaman masyarakat, lembaga yang
terkait regulasi, lembaga pemerintah (seperti Direktorat Jenderal dan
Kementerian terkait), dan para peneliti di lembaga penelitian (dan atau
perguruan tinggi) tentang regulasi
terkait keamanan hayati PRG juga pada umumnya masih kurang. Seringkali, batas waktu
proses pengkajian terlampaui karena kurangnya pemahaman regulasi. Hal ini dapat
terjadi karena kurangnya sosialisasi di lembaga tersebut. Di samping itu,
terdapat anggapan dari para peneliti bahwa konsekuensi dari kepatuhan regulasi
adalah biaya regulasi yang mahal, mekanisme yang terlalu prosedural dan waktu
yang dibutuhkan lama serta berbelit-belit.
Menurut saya, benteng pertama untuk
penjamin keamanan PRG adalah pemerintah. Masyarakat adalah pertahanan terakhir
dari jaminan keamanan PRG karena masyarakat adalah muara akhir alasan adanya
PRG tersebut. Pemerintah yang berwenang mengeluarkan regulasi juga dituntut
untuk konsisten melaksanakan tugas sebagai penjamin keamanan PRG sesuai dengan
regulasi yang telah ada. Masyarakat umum juga dituntut untuk sadar dan peduli
dengan regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah. Usaha pemerintah dan
peneliti untuk membantu peningkatan produktivitas pangan dan pertanian
masyarakat Indonesia harus didukung oleh masyarakat dengan meningkatkan
kesadaran terhadap PRG. Peningkatan kesadaran masyarakat dapat dilakukan
melalui pemerintah dan peneliti dengan melakukan sosialisasi aktif kepada
masyarakat. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan penyebarluasan informasi
tentang PRG melalui media massa. Media yang dapat digunakan adalah media
sosial, media elektronik dan media cetak.
Semoga masyarakat Indonesia menjadi lebih dewasa dalam menyikapi informasi yang muncul di era digital dengan kecepatan informasi yang tinggi ini. Sempat terlintas dalam benak saya bahwa nanti pada tahun sekian di Indonesia, pemerintah memiliki sistem deteksi cepat untuk membedakan PRG dan non PRG di bandar udara atau pelabuhan, serta di beberapa lembaga penelitian dan lembaga pemerintah. Saya sendiri membayangkan suatu saat nanti, ada perangkat lunak digital terpasang di smart phone yang bisa mendeteksi PRG sehingga masyarakat bisa menentukan pilihan, apakah akan memanfaatkan bahan tersebut atau tidak, atau kemudian melaporkan PRG yang terdeteksi kepada pemerintah untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut. Tapi kapan?
Semoga masyarakat Indonesia menjadi lebih dewasa dalam menyikapi informasi yang muncul di era digital dengan kecepatan informasi yang tinggi ini. Sempat terlintas dalam benak saya bahwa nanti pada tahun sekian di Indonesia, pemerintah memiliki sistem deteksi cepat untuk membedakan PRG dan non PRG di bandar udara atau pelabuhan, serta di beberapa lembaga penelitian dan lembaga pemerintah. Saya sendiri membayangkan suatu saat nanti, ada perangkat lunak digital terpasang di smart phone yang bisa mendeteksi PRG sehingga masyarakat bisa menentukan pilihan, apakah akan memanfaatkan bahan tersebut atau tidak, atau kemudian melaporkan PRG yang terdeteksi kepada pemerintah untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut. Tapi kapan?
[1] Herman (2010)
[2] Estiati dan
Herman (2015)
[3]
Keamanan
lingkungan PRG adalah kondisi dan upaya
yang diperlukan untuk
mencegah kemungkinan timbulnya risiko yang merugikan keanekaragaman hayati
sebagai akibat pemanfatan PRG.
Keamanan pangan PRG adalah
kondisi dan upaya
yang diperlukan untuk mencegah
kemungkinan timbulnya risiko yang
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia
sebagai akibat dari
proses produksi, penyiapan, penyimpanan,
peredaran, dan pemanfaatan pangan
PRG, sedangkan keamanan pakan PRG adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya
dampak yang merugikan
dan membahayakan kesehatan hewan
dan ikan sebagai akibat dari
proses produksi, penyiapan, penyimpanan,
peredaran, dan pemanfaatan pakan PRG.
[4] Gen atau bagian
dari materi genetik DNA yang disisipkan ke organisme lain untuk menyandi
karakter yang diinginkan pada organisme target
[5] Traynor et al.
(2001)
[6] Rumah
kaca dibangun dari dinding yang terbuat dari polikarbonat dan kasa 200mesh,
dengan sistem pintu ganda (double door)
untuk mencegah terjadinya penyebaran serbuk sari. Rumah kaca juga dilengkapi
dengan shelldeck dan exhaust fan untuk mendapatkan suhu
ruangan mendekati suhu udara luar dan tidak menggangu fungsi sebagai containment yang memiliki kesamaan
lingkungan dengan tempat tumbuh terbuka. Rumah kaca juga dapat dilengkapi
dengan chiller atau AC untuk
mengakomodasi tanaman dataran tinggi.
[7] Rumah
kasa dibuat dari kawat kasa, dengan sistem pintu ganda
[8] Isolasi jarak; isolasi biologis, misalnya kedelai PRG
tidak boleh ditanam di sekitar tanaman melon, jagung, dan padi gogo
[9] Isolasi waktu, misal
jagung PRG tidak boleh ditanam di
sekitar tanaman jagung
lokal yang hampir panen
[10] Isolasi fisik, misal kapas PRG ditanam pada lahan
bera
[11]
Isolasi reproduktif , misal dengan
melakukan perompesan bunga atau membungkus bunga tanaman PRG
menggunakan kantong khusus,
biasanya dilakukan pada
tanaman menyerbuk silang seperti jagung
[12] Kesepadanan substansial : suatu keadaan
di mana produk transgenik secara substansial sepadan
dengan produk non-transgenik asalnya, kecuali sifat yang direkayasa.
[13] tingkat alergi
terhadap protein dari gen interes
[14] tingkat keracunan
[15] Pasal 13 PP No
21 tahun 2005
[16] Herman 2008
[17] Oikawa et al.
(2008)
Referensi
Balai Kliring
Keamanan Hayati Indonesia. http//www.indonesiabch.or.id/lingkungan/ (15 November 2015)
Estiati,
A., Herman, A. 2015. Regulasi Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik di
Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian.
13 (2) : 129-146.
Herman,
M. 2008. Perkembangan bioteknologi dan status
regulasi di Indonesia. Media Workshop
Manfaat Bio-teknologi dalam Mengatasi Krisis
Pangan. IndoBIC. Jakarta, 28 Agustus 2008.
Herman,
M. 2010. Empat belas tahun perkembangan peraturan keamanan
hayati dan keamanan pangan produk
rekayasa genetik dan implementasinya di
Indonesia. Jurnal AgroBiogen 6(2):113-125.
Herman,
M. 2012. Progress and status of
regulation of the utilization
of genetically engineered crops in
Indonesia. Paper presented
at MARCO Symposium. National
Institute for
Agro-Environmental Sciences (NIAES). Tsukuba, Japan.
Herman,
M. 2014. Status on modern biotechnology
and regulation in Indonesia. Paper
presented at PRE COP-MOP
Meeting.
ISAAA-INDOBIC-SEAMEO/BIOTROP.
Bogor, 25-26 August 2014.
Herman,
M. 2015. New developments in genetically
engineered crops in
Indonesia. Paper presented at
Seminar and Workshop on Food and Feed Safety
of Genetically Engineered Crops Containing
Stacked Traits. ILSI-NADFC-USSEC. Jakarta, 3 February 2015.
Komisi Keamanan
Hayati (KKH). 1999a. Surat penetapan Komisi
Keamanan Hayati No. LB.150.905.155 tentang
aman lingkungan tanaman kedelai
transgenik Roundup Ready, tanaman jagung
transgenik Roundup Ready,
dan tanaman jagung
transgenik Bt. Jakarta: Komisi Keamanan Hayati.
Komisi Keamanan
Hayati (KKH). 1999b. Surat penetapan Komisi
Keamanan Hayati No. LB.150.905.156 tentang
aman lingkungan tanaman kapas
transgenik Roundup Ready dan
tanaman kapas transgenik
Bt. Jakarta: Komisi Keamanan
Hayati.
Oikawa,
A., Matsuda, F., Kusano, M., Okazaki, Y., Saito, K. 2008. Rice Metabolomics. Rice
1 : 63-71.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2005 tentang Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetik.
2005. Jakarta: Kementerian Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
Traynor,
P.L., Adair, D., Irwin, R. 2001. A practical guide to
containment: Greenhouse research with transgenic
plants and microbes. Information Systems for Biotechnology.
Virginia Tech. USA. 74 p.