Selasa, 08 November 2016

Jalan Berliku Produk Rekayasa Genetik



Tanggal 21 April 2016, saya mendapat pesan tentang iklan bisnis tahu dari salah seorang pebisnis di media sosial. Iklan gambar tersebut mengambil judul “Ada apa dengan tahu?”, sedikit diplesetkan dengan salah satu judul film roman Mira Lesmana dan Riri Riza yang akan ditayangkan di bioskop kala itu. Isi pesan tersebut adalah ajakan untuk memilih dan membeli tahu dari pebisnis tersebut dengan memberikan penjelasan tentang bahaya produk tahu yang lain. Prolog adegan di iklan tersebut menganalogikan kejahatan Rangga yang meninggalkan Cinta selama 14 tahun tanpa kejelasan dengan kejahatan seorang suami yang meninggalkan istrinya karena memberikan oleh-oleh tahu yang dibuat dari kedelai Genetically Modified Organism (GMO). Selanjutnya, pada tanggal 10 Oktober 2016 dengan ketidakjelasan sumber primer, saya mendapatkan lagi pesan berantai di grup media sosial yang lain dengan isi yang kurang lebih sama, meskipun tidak dimaksudkan untuk iklan produk tertentu.
Arus informasi di media sosial mengalir cepat meskipun sumber utama pemberi informasi belum jelas. Ternyata, tidak semua pengguna media sosial dapat berperan sebagai jurnalis yang memiliki kode etik. Saya sedih karena isi informasi tersebut berpotensi semakin menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan, obyek yang sedang diperbincangkan adalah sesuatu yang dibutuhkan tubuh kita sehari-hari, bahkan dengan frekuensi yang rutin setiap hari. Padahal, pemerintah telah berusaha melakukan cara untuk menjamin keamanan hayati produk rekayasa genetik (disingkat PRG) yang ada di Indonesia. Peneliti juga telah berusaha untuk menghasilkan berbagai PRG untuk kemaslahatan umat manusia, khususnya di Indonesia.
Sampai saat ini, masyarakat memang menaruh kekhawatiran terhadap PRG. Pemanfaatan tanaman PRG sebagai salah satu jenis PRG masih mengundang kekhawatiran tentang risiko yang mungkin timbul terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati, kesehatan manusia dan hewan[1]. Kekhawatiran masyarakat yang muncul sebagai respon dari pesan-pesan di media sosial tentang PRG tersebut sejalan dengan tinjauan tertulis dalam review ilmiah[2] yang disebarluaskan melalui Analisis Kebijakan Pertanian. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan beberapa pihak terkait tentang regulasi, implementasi dari regulasi yang telah dibuat pemerintah, status PRG yang telah aman untuk diedarkan secara luas, dan kendala-kendala yang muncul dari implementasi regulasi tersebut.
Kekhawatiran masyarakat tentang PRG memang bukan tanpa alasan. Poin penting dari pesan-pesan yang beredar di media sosial tersebut adalah tentang bahaya PRG apabila dikonsumsi oleh manusia, padahal data penelitian yang ditampilkan di pesan tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Secara normatif, pelepasan edar dan pelabelan aman bagi suatu PRG membutuhkan proses yang sudah diatur oleh pemerintah, baik dalam bentuk peraturan pemerintah maupun undang-undang. Proses yang panjang tersebut berkaitan dengan regulasi dan kelembagaan dengan melibatkan beberapa kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan Perkebunan, Kementerian Kesehatan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan lembaga pemerintah yang terlibat dalam pemberian izin edar suatu PRG.
Hingga saat ini, pemerintah mengatur segala tata cara dan ketentuan tentang keamanan PRG dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 25  Tahun  2012  tentang  Pedoman Penyusunan  Dokumen  Analisis  Risiko Lingkungan  Produk  Rekayasa  Genetik. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005, produk  rekayasa  genetik  atau  organisme  hasil  modifikasi  yang disingkat  PRG  adalah  organisme  hidup,  bagian-bagiannya  dan/atau  hasil  olahannya  yang  mempunyai  susunan genetik baru dari hasil penerapan bioteknologi modern. Jenis PRG terdiri dari tanaman, jasad renik (mikroorganisme), hewan, dan ikan, termasuk bahan asal dan hasil olahan PRG tersebut. Dua subyek pengkajian keamanan PRG terdiri dari pengkajian keamanan organisme hayati PRG, terutama tanaman PRG dan sebagai produk pangan (dan atau pakan). Keamanan hayati PRG  meliputi keamanan  lingkungan,  keamanan pangan  dan/atau  keamanan  pakan  PRG[3].
Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, pengkajian keamanan lingkungan tanaman PRG secara prinsip adalah sama dengan pengkajian keamanan PRG sebagai produk pangan (dan atau pakan), meskipun memiliki perbedaan. Prinsip pengkajian keamanan hayati berupa keamanan lingkungan dan produk pangan (dan atau pakan) PRG menjamin agar pelepasan PRG aman untuk seluruh ekosistem, tidak hanya untuk manusia. Pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan keamanan terhadap lingkungan, pangan, dan atau pakan PRG adalah dengan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial budaya, dan estetika, serta pelestarian. Pengkajian keamanan tanaman dan produk pangan dan atau pakan PRG juga dilakukan oleh lembaga yang sama, meskipun pihak yang berwenang untuk pemberian izin pelepasan produk berbeda. Mekanisme pengkajian keamanan lingkungan dan produk pangan dan atau pakan PRG secara prinsip melalui berbagai pengujian yang dapat dipertanggungjawabkan dengan teknik pengujian sesuai standar internasional. Mekanisme pengkajian keamanan hayati dan pangan (dan atau pakan) dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.

Gambar 1. Mekanisme izin edar dan pelepasan PRG (PP No. 21 tahun 2005)

Mekanisme pengkajian keamanan hayati PRG, sesuai dengan Bab V PP No. 21 tahun 2005 diawali dengan pengajuan permohonan kepada Menteri cq Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian dengan tembusan Menteri Lingkungan Hidup cq Deputi III Komisi Lingkungan Hidup (KLH) dan Ketua Tim Teknis Keamanan Hayati (TTKH) PRG, yang ditunjukkan pada tahap 1 dan 2. Selanjutnya, Kepala Badan Litbang Kementerian terkait dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak menerima permohonan pengujian tanaman PRG di Fasilitas Uji Terbatas (FUT) atau Lapangan Uji Terbatas (LUT), menyerahkan permohonan kepada Komisi Keamanan Hayati PRG, pada tahap 3. Kemudian pada tahap 4, KKH PRG menugaskan TTKH PRG untuk mengevaluasi substansi permohonan pengujian tanaman PRG di FUT atau LUT. Jangka waktu pemeriksaan dokumen permohonan pengujian oleh KKH PRG paling lambat 14 (empat belas) hari. Selanjutnya pada tahap 5, TTKH PRG mengevaluasi informasi atau data permohonan pengujian tanaman PRG di FUT atau LUT. Jangka waktu evaluasi oleh TTKH PRG paling lambat 30 (tiga puluh) hari. Hasil evaluasi disampaikan kepada KKH PRG. KKH PRG menyampaikan rekomendasi keputusan pemberian atau penolakan permohonan pengujian tanaman PRG di LUT kepada Menteri yang berwenang cq Kepala Badan Litbang Kementerian paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi dari TTKH PRG (tahap 6 dan 7). Menteri yang berwenang cq Kepala Badan Litbang Kementerian dalam waktu 14 (empat belas) hari sudah memberikan keputusan pemberian atau penolakan permohonan pengujian kepada pemohon (tahap 8). 
Pengkajian  keamanan  pangan  tanaman  PRG  berupa uji Fasilitas Uji Terbatas (FUT) dan Lapangan Uji Terbatas (LUT), serta evaluasi terhadap semua dokumen keamanan hayati kemudian dilakukan  oleh  TTKH  setelah  mendapat  tugas  dari KKH.  Data dan dokumen keamanan lingkungan tanaman  PRG  yang harus dilengkapi pemohon meliputi  informasi  genetik  dan  informasi  keamanan  lingkungan.  Informasi  genetik  yang  diperlukan  antara  lain  informasi  mengenai  elemen  genetik, sumber gen interest[4], sistem transformasi, dan stabilitas genetik.  Informasi  keamanan  lingkungan terdiri  atas  dampak  terhadap  organisme  non  target, dampak terhadap keanekaragaman hayati, perpindahan gen, dan potensi menjadi gulma.
Namun, khusus untuk tanaman yang akan dibudidayakan di wilayah Indonesia, tanaman tersebut masih harus dilakukan proses pengujian/pelepasan varietas berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 1992 pasal 12. Rencana pengujian varietas harus disampaikan kepada Tim Penilai dan Pelepas Varietas (tahap 9) dari Badan Benih Nasional (BBN). Menurut Keputusan Menteri Pertanian, hasil pengujian tersebut dapat diajukan kepada Menteri Pertanian melalui Ketua BBN untuk dinilai dalam pelepasan varietas. Apabila hasil penilaian tidak memenuhi syarat, maka Ketua BBN menolak pelepasan varietas, dan Ketua BBN atas nama Menteri menolak usulan tersebut. Namun apabila permohonan tersebut memenuhi syarat, pelepasan varietas dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri (tahap 10).
Teknis pengujian lapangan untuk tanaman PRG meliputi FUT dan LUT dilakukan oleh TTKH. FUT merupakan fasilitas yang dibangun untuk melaksanakan kegiatan perakitan dan pengujian tanaman PRG dengan konsep pengelolaan risiko sampai pada suatu tingkat yang dapat diterima. FUT dibangun sesuai dan mengikuti standar keamanan hayat internasional. Berdasarkan panduan dari NIH Guidelines[5], ada empat tingkat keamanan hayati (Biosafety Level for Plants, BLP) untuk tanaman PRG, yaitu BL1-P, BL2-P, BL3-P, dan BL4-P. FUT terdiri dari gedung utama, rumah kaca[6], dan rumah kasa[7]. Sementara itu, LUT yang digunakan untuk pengujian PRG juga harus memenuhi ketentuan pembatasan/pengamanan gen baru dan bahan tanaman PRG. Ketentuan tersebut meliputi pencegahan lepasnya gen baru dari lokasi percobaan melalui serbuk sari, biji/benih, atau bagian tanaman lain, pencegahan bahan tanaman PRG untukdikonsumsi oleh manusia dan hewan ternak ketika pengujian, dan pencegahan lepasnya tanaman PRG dari lokasi percobaan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pemindahan atau transfer gen adalah isolasi jarak[8], isolasi waktu[9], isolasi fisik[10], dan isolasi reproduktif[11].
Khusus untuk tanaman PRG yang akan dijadikan sebagai pangan, kewenangan terhadap pemberian izin pelepasan dipegang oleh BPOM. Pengkajian  keamanan  pangan  tanaman  PRG  dilakukan  oleh  TTKH  setelah  mendapat  tugas  dari KKH.  TTKH  membentuk  Tim  Kecil TTKH untuk melakukan pengkajian awal sampai  dengan  memberikan  konsep  rekomendasi  keamanan pangan PRG. Konsep rekomendasi aman pangan ini dibahas dalam rapat Kelompok Pangan yang selanjutnya dibahas dalam rapat pleno TTKH. Tim  Kecil TTKH melakukan evaluasi jawaban daftar pertanyaan, data, dan dokumen keamanan pangan,  serta  pernyataan  aman  pangan  yang  diperoleh di  luar  negeri  bagi  tanaman  PRG  yang  dirakit  di  luar negeri. Data dan dokumen keamanan pangan tanaman PRG yang dievaluasi meliputi informasi genetik dan informasi  keamanan  pangan. Menurut BPOM pada tahun 2008, informasi  keamanan  pangan  yang  diperlukan terdiri atas kesepadanan substansial[12], alergenisitas[13], dan toksisitas[14], serta pertimbangan lain yang terkait dengan penggunaan  penanda  seleksi  dengan  gen  ketahanan antibiotik. Pemerintah melalui PP No. 21 tahun 2005 tidak hanya mengatur tentang tata cara atau mekanisme pemberian izin atau pelepasan suatu PRG dan kelembagaan, tetapi juga tentang jenis dan persyaratan PRG, penelitian dan pengembangan PRG, pemasukan PRG dari luar negeri, pengawasan dan pengendalian PRG, dan  pembiayaan. Status keamanan hayati PRG yang telah dikaji dan sudah mendapatkan label aman dapat dilihat dilihat pada Tabel 1-6.

Tabel 1. Status keamanan hayati (keamanan lingkungan) produk enzim dari fermentasi jasad renik PRG, 2001-2012 
Sumber : Herman (2010, 2014) dalam Estiati & Herman (2015) 

Tabel 2. Status pengkajian keamanan lingkungan jasad renik PRG untuk vaksin hewan, 2015
Sumber : Balai Kliring Keamanan Hayati (2015) dalam Estiati & Herman (2015)
 
Tabel 3. Status pengkajian keamanan hayati tanaman PRG, 1999
Sumber :  Komisi Keamanan Hayati (1999a, 1999b)

Tabel 4. Status pengkajian keamanan lingkungan tanaman PRG, 2011-2015
Sumber : Herman (2010, 2014, 2015) dalam Estiati & Herman (2015)
 
Tabel 5. Status pengkajian keamanan pangan tanaman PRG, 2011
Sumber : Herman (2015) dalam Estiati & Herman (2015) 

Tabel 6. Status pengkajian keamanan pakan PRG, 2013
Sumber : Herman (2012, 2014) dalam Estiati & Herman (2015)
 
Selain mekanisme pemberian izin edar dan pelepasan produk PRG untuk menjamin keamanan produk hingga ke masyarakat, pemerintah juga berusaha menjamin pemasukan PRG dari luar negeri dan pemantauan serta pengawasan di lapangan, yang tertuang pada PP yang sama. Akan tetapi, niat baik pemerintah dengan membuat regulasi tentang mekanisme pemasukan PRG dari luar negeri belum mendapatkan sambutan yang baik pula dari pihak importir dan negara pengekspor. Permohonan dari importir harus diajukan kepada Menteri Pertanian dan Kepala Badan POM ketika importir baru pertama kali melakukan pemasukan pangan PRG dari luar negeri[15]. Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan dokumen yang menerangkan bahwa persyaratan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan atau pakan telah terpenuhi, dan surat keterangan yang menyatakan bahwa PRG tersebut telah diperdagangkan secara bebas di negara asalnya, serta dokumentasi hasil pengkajian dan pengelolaan risiko dari lembaga yang berwenang tempat pengkajian risiko  dilakukan. Kasus yang pernah terjadi adalah pada komoditas kedelai dan jagung impor yang digunakan sebagai bahan pangan dan pakan. Sejak tahun 2000, Indonesia telah mengimpor jagung dan kedelai hingga satu juta ton lebih, termasuk dari Amerika dan Argentina. Kedua negara tersebut adalah penanam tanaman PRG, sehingga kemungkinan besar kedua produk yang diekspor ke Indonesia tersebut mengandung PRG. Kedelai dan jagung impor tersebut tidak dilabeli sebagai kedelai dan jagung PRG karena negara pengekspor mencampur kedelai dan jagung PRG dengan non PRG untuk menghindari harga jual yang akan menjadi mahal. Dengan demikian, importir tidak mengajukan permohonan pengkajian keamanan lingkungan/keamanan pangan/keamanan pakan karena kedelai dan jagung yang diimpor tersebut dianggap bukan PRG[16]. Hal ini menegaskan bahwa pemerintah harus lebih cermat dan waspada terhadap segala bahan yang akan masuk ke Indonesia dengan menerapkan teknik analisis sampel bahan yang cepat dan akurat. Salah satu teknik analisis yang bisa digunakan secara cepat adalah analisis metabolomik untuk menentukan kesepadanan substansial karena dapat mengetahui perbedaan metabolit antara sampel produk PRG dengan non PRG sebagai standar[17].
Hal tersebut mengurai rapor merah pemerintah karena ketidaksinkronan regulasi pemerintah dengan implementasi regulasi tersebut di lapangan. Tinjauan tertulis salah satu artikel ilmiah[18] menyebutkan bahwa komitmen lembaga pemerintah terkait implementasi PP No 21 tahun 2005 masih belum optimal karena pembentukan lembaga pengatur yang membutuhkan proses yang panjang, sejalan dengan perkembangan regulasi yang berkembang secara terus menerus. Selain itu, pemahaman masyarakat, lembaga yang terkait regulasi, lembaga pemerintah (seperti Direktorat Jenderal dan Kementerian terkait), dan para peneliti di lembaga penelitian (dan atau perguruan tinggitentang regulasi terkait keamanan hayati PRG juga pada umumnya masih kurang. Seringkali, batas waktu proses pengkajian terlampaui karena kurangnya pemahaman regulasi. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya sosialisasi di lembaga tersebut. Di samping itu, terdapat anggapan dari para peneliti bahwa konsekuensi dari kepatuhan regulasi adalah biaya regulasi yang mahal, mekanisme yang terlalu prosedural dan waktu yang dibutuhkan lama serta berbelit-belit.
Menurut saya, benteng pertama untuk penjamin keamanan PRG adalah pemerintah. Masyarakat adalah pertahanan terakhir dari jaminan keamanan PRG karena masyarakat adalah muara akhir alasan adanya PRG tersebut. Pemerintah yang berwenang mengeluarkan regulasi juga dituntut untuk konsisten melaksanakan tugas sebagai penjamin keamanan PRG sesuai dengan regulasi yang telah ada. Masyarakat umum juga dituntut untuk sadar dan peduli dengan regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah. Usaha pemerintah dan peneliti untuk membantu peningkatan produktivitas pangan dan pertanian masyarakat Indonesia harus didukung oleh masyarakat dengan meningkatkan kesadaran terhadap PRG. Peningkatan kesadaran masyarakat dapat dilakukan melalui pemerintah dan peneliti dengan melakukan sosialisasi aktif kepada masyarakat. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan penyebarluasan informasi tentang PRG melalui media massa. Media yang dapat digunakan adalah media sosial, media elektronik dan media cetak
        Semoga masyarakat Indonesia menjadi lebih dewasa dalam menyikapi informasi yang muncul di era digital dengan kecepatan informasi yang tinggi ini. Sempat terlintas dalam benak saya bahwa nanti pada tahun sekian di Indonesia, pemerintah memiliki sistem deteksi cepat untuk membedakan PRG dan non PRG di bandar udara atau pelabuhan, serta di beberapa lembaga penelitian dan lembaga pemerintah. Saya sendiri membayangkan suatu saat nanti, ada perangkat lunak digital terpasang di smart phone yang bisa mendeteksi PRG sehingga masyarakat bisa menentukan pilihan, apakah akan memanfaatkan bahan tersebut atau tidak, atau kemudian melaporkan PRG yang terdeteksi kepada pemerintah untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut. Tapi kapan?


[1] Herman (2010)

[2] Estiati dan Herman (2015)

[3] Keamanan lingkungan PRG adalah kondisi dan upaya  yang  diperlukan  untuk  mencegah kemungkinan timbulnya risiko yang merugikan keanekaragaman  hayati  sebagai  akibat pemanfatan  PRG.  Keamanan  pangan  PRG adalah  kondisi  dan  upaya  yang  diperlukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya risiko  yang merugikan dan membahayakan kesehatan manusia  sebagai  akibat  dari  proses  produksi, penyiapan,  penyimpanan,  peredaran,  dan pemanfaatan  pangan  PRG, sedangkan keamanan pakan PRG adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya  dampak  yang  merugikan  dan membahayakan  kesehatan  hewan  dan  ikan sebagai akibat dari proses produksi, penyiapan, penyimpanan,  peredaran,  dan  pemanfaatan pakan  PRG.

[4] Gen atau bagian dari materi genetik DNA yang disisipkan ke organisme lain untuk menyandi karakter yang diinginkan pada organisme target

[5] Traynor et al. (2001)

[6] Rumah kaca dibangun dari dinding yang terbuat dari polikarbonat dan kasa 200mesh, dengan sistem pintu ganda (double door) untuk mencegah terjadinya penyebaran serbuk sari. Rumah kaca juga dilengkapi dengan shelldeck dan exhaust fan untuk mendapatkan suhu ruangan mendekati suhu udara luar dan tidak menggangu fungsi sebagai containment yang memiliki kesamaan lingkungan dengan tempat tumbuh terbuka. Rumah kaca juga dapat dilengkapi dengan chiller atau AC untuk mengakomodasi tanaman dataran tinggi.

[7] Rumah kasa dibuat dari kawat kasa, dengan sistem pintu ganda

[8] Isolasi jarak; isolasi  biologis, misalnya kedelai PRG tidak boleh ditanam di sekitar tanaman melon, jagung, dan padi gogo

[9] Isolasi waktu, misal jagung  PRG  tidak boleh ditanam  di  sekitar  tanaman  jagung  lokal yang  hampir  panen

[10] Isolasi fisik, misal kapas PRG ditanam  pada  lahan  bera 

[11] Isolasi reproduktif , misal dengan  melakukan  perompesan  bunga atau membungkus bunga tanaman PRG menggunakan  kantong  khusus,  biasanya  dilakukan  pada  tanaman menyerbuk silang seperti jagung

[12] Kesepadanan substansial : suatu  keadaan  di  mana  produk transgenik secara substansial sepadan dengan produk non-transgenik asalnya, kecuali sifat yang direkayasa.

[13] tingkat  alergi  terhadap  protein  dari gen interes

[14] tingkat  keracunan

[15] Pasal 13 PP No 21 tahun 2005

[16] Herman 2008

[17] Oikawa et al. (2008)


[18] Herman 2010



Referensi


Balai  Kliring  Keamanan  Hayati  Indonesia. http//www.indonesiabch.or.id/lingkungan/ (15 November 2015)
Estiati, A., Herman, A. 2015. Regulasi Keamanan Hayati  Produk Rekayasa Genetik  di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. 13 (2) : 129-146.
Herman,  M.  2008.  Perkembangan  bioteknologi  dan  status regulasi  di  Indonesia.  Media  Workshop  Manfaat  Bio-teknologi  dalam  Mengatasi  Krisis  Pangan.  IndoBIC. Jakarta, 28 Agustus 2008. 
Herman, M. 2010. Empat belas tahun perkembangan peraturan  keamanan  hayati  dan  keamanan pangan  produk  rekayasa  genetik  dan implementasinya  di  Indonesia.  Jurnal AgroBiogen 6(2):113-125.
Herman, M. 2012. Progress and status of regulation of  the  utilization  of  genetically  engineered crops  in  Indonesia.  Paper  presented  at MARCO  Symposium.  National  Institute  for Agro-Environmental  Sciences  (NIAES). Tsukuba, Japan.
Herman, M. 2014. Status on modern biotechnology and  regulation  in  Indonesia.  Paper  presented at  PRE  COP-MOP  Meeting.  ISAAA-INDOBIC-SEAMEO/BIOTROP.  Bogor,  25-26 August 2014. 
Herman, M. 2015. New developments in genetically engineered  crops  in  Indonesia.  Paper presented at Seminar and Workshop on Food and  Feed  Safety  of  Genetically  Engineered Crops  Containing  Stacked  Traits.  ILSI-NADFC-USSEC. Jakarta, 3 February 2015.
Komisi  Keamanan  Hayati (KKH).  1999a.  Surat penetapan  Komisi  Keamanan  Hayati  No. LB.150.905.155  tentang  aman  lingkungan tanaman  kedelai  transgenik  Roundup  Ready, tanaman  jagung  transgenik  Roundup  Ready,  dan  tanaman  jagung  transgenik  Bt.  Jakarta: Komisi Keamanan Hayati. 
Komisi  Keamanan  Hayati (KKH).  1999b.  Surat penetapan  Komisi  Keamanan  Hayati  No. LB.150.905.156  tentang  aman  lingkungan tanaman  kapas  transgenik  Roundup  Ready dan  tanaman  kapas  transgenik  Bt.  Jakarta: Komisi Keamanan Hayati.
Oikawa, A., Matsuda, F., Kusano, M., Okazaki, Y., Saito, K. 2008. Rice Metabolomics. Rice 1 : 63-71.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun  2005  tentang  Keamanan  Hayati Produk  Rekayasa  Genetik.  2005.  Jakarta: Kementerian  Sekretariat  Negara  Republik Indonesia.
Traynor, P.L., Adair,  D., Irwin, R. 2001. A practical guide to  containment:  Greenhouse  research  with  transgenic plants  and  microbes.  Information  Systems for Biotechnology. Virginia Tech. USA. 74 p.