Rabu, 28 Desember 2016

Jembatan antara Kehidupan dan Kematian itu Bernama Warisan, Tulisan, dan Wasiat : Resensi Novel “Tentang Kamu”



Ilmu faraidh atau fiqih mawaris didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik tentang harta yang ditinggalkan, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan, bagian masing-masing ahli waris, dan cara penyelesaian pembagian harta peninggalan tersebut. Ilmu warisan merupakan ilmu yang pertama kali dicabut menjelang hari kiamat. Hukum mempelajari ilmu ini adalah seperti hukum mengurus jenazah, yaitu fardhu kifayah. Jika ada sebagian masyarakat yang mempelajari dan mengamalkan ilmu ini, maka gugurlah kewajiban umat Islam terhadap ilmu ini. Namun berlaku juga sebaliknya. Allah berfirman dalam QS An-Nisa’ ayat 13-14,

“Itu (pembagian warisan) adalah batas-batas (hukum) Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan.”

Selain itu, ilmu waris disebut sebagai setengah dari ilmu. Interpretasi hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim di bawah ini menjelaskan bahwa manusia memiliki dua jenis keadaan selama di dunia, yaitu hidup dan mati. Sebagian besar hukum yang ada dalam ilmu ini berhubungan dengan kematian, sehingga disebut sebagai setengah dari ilmu yang ada, dan mengingat setiap manusia yang lahir pasti akan mengalami kematian, maka setiap orang pasti membutuhkan ilmu ini. Sementara itu, keluarga yang kokoh merupakan pondasi negara yang bermartabat dan berkarakter. Bangunan keluarga dapat retak, bahkan hancur karena adanya keserakahan manusia terhadap harta warisan. Sehubungan dengan hal tersebut, ilmu ini juga dianggap sebagai ilmu yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi untuk dipelajari dan diamalkan.
“Rasulullah SAW bersabda : pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku. (HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)”
Novel “Tentang Kamu” merupakan salah satu pintu kreatif yang dilakukan oleh Tere Liye untuk mendukung sosialisasi atau pendidikan tentang ilmu waris melalui cerita fiksi yang disampaikan kepada masyarakat luas, khususnya di Indonesia. Novel ini menjadi jembatan antara masyarakat yang awam terhadap ilmu waris dalam Islam dengan pemahaman (dan pengamalan) tentang ilmu yang memiliki kedudukan mulia dalam Islam tersebut. Pintu pembelajaran dan pemahaman yang menjadi stimulus kepada masyarakat luas, khususnya pembaca novel ini untuk mempelajari ilmu tersebut lebih dalam lagi.
Pertama kali mendengar tentang judul novel terbaru Tere Liye, saya memprediksi novel ini merupakan novel romance yang menceritakan tentang kehidupan seseorang yang gagal dengan kehidupan cintanya. Saat itu, “tentang kamu” saya artikan secara sempit. Hanya tentang obyek manusia. Namun, novel ini tidak sesederhana cover dan judul luarnya. Isi novel ini mirip dengan karakter tokoh utama dalam novel ini, Sri Ningsih. Representasi seseorang yang penuh kejutan, dengan penampilan luar yang sederhana. Begitu pula dengan nama yang berkebalikan dengan pemikirannya. Sri Ningsih adalah nama yang bersahaja, namun Sri Ningsih memiliki pemikiran yang kompleks dan visioner.
Kesederhanaan penampilan luar novel ini digambarkan dengan sepasang sepatu kucel berwarna coklat. Dibantu oleh penerbit Republika dan penyuntingan isi naskah oleh Triana Rahmawati, novel ini telah dicetak selama 4 (empat) kali dari bulan Oktober hingga November 2016 dan dijual dengan harga Rp.79.000,-. Setiap bab yang terintegrasi dalam 33 bab menggambarkan perjuangan tokoh bernama Zaman Zulkarnaen menyelesaikan misi untuk menemukan ahli waris Sri Ningsih yang memiliki nilai kekayaan yang fenomenal.
Ketika saya membaca novel ini, pertanyaan yang membuat saya penasaran hingga ingin tetap melanjutkan membaca sampai bagian akhir adalah tentang kepemilikan ahli waris yang mungkin dimiliki Sri. Selain itu, sepanjang aktivitas mengekstrak isi novel Tere Liye ini, saya juga memikirkan secara seksama jawaban atas pertanyaan yang diutarakan kepada Zaman, sebagai bahan seleksi firma hukum suci Thompson & Co. Firma hukum yang menjadi legenda hidup dan tidak gila publikasi, namun memiliki kehormatan dengan caranya sendiri. Pertanyaan tersebut muncul di permulaan novel dan sukses membuat aliran informasi dalam otak saya bekerja dengan keras untuk menemukan jawabannya. Sebuah pertanyaan mendasar tentang pilihan antara kebenaran dan kebohongan bagi para pengembara kebenaran.
“Jika berkata jujur akan membuat empat orang jahat terbunuh mengenaskan, sedangkan berbohong akan membuatnya selamat, maka pilihan apa yang akan anda ambil?”
Selanjutnya, alur campuran berupa alur mundur dan maju digunakan oleh Tere Liye untuk menceritakan kehidupan Sri di masa lalu dan perjuangan Zaman menemukan ahli waris Sri di masa kini. Kisah masa lalu pada alur mundur bertumpu pada karakter utama Sri, sedangkan kisah masa kini yang terus bergerak maju berpusat pada Zaman. Alur cerita yang digunakan oleh Tere Liye rapi, sehingga membuat pembaca tidak mengalami kesulitan dalam memahami dan membedakan peristiwa masa lalu dan masa kini. Kemudahan memahami cerita pada novel yang menggunakan alur maju mundur dapat disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang yang signifikan antara tokoh masa kini dan masa lalu. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan juga luwes dan mudah dipahami sehingga menjadi daya tarik tersendiri untuk kemudahan pemahaman isi cerita secara keseluruhan. Novel Tere Liye yang satu ini menyajikan tema yang hampir mirip dengan novel-novel Tere Liye sebelumnya, namun dengan pembahasan yang lebih lengkap. Ditambah lagi, tema tentang peninggalan harta warisan merupakan hal yang baru dalam novel yang diusung Tere Liye. Sebelumnya, Tere Liye sering menasihatkan perihal kematian dalam novel Pulang dan Rindu melalui penyajian kisah kematian tokoh tertentu. Namun demikian, titik pembahasan pemahaman tentang hakikat kematian yang menjadi pusat cerita dalam novel terbarunya ini menjadikan novel ini berbeda dengan novel-novel Tere Liye sebelumnya.
Kisah dimulai dari seorang pemuda yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu hukum Oxford University, Kota London, Inggris. Zaman Zulkarnaen adalah seorang calon pengacara yang mendapatkan tugas orientasi di firma hukum suci Inggris, Thompson & Co. Zaman mendapatkan tugas untuk menelusuri misteri kepemilikan harta sebesar satu miliar poundsterling (setara dengan 19 triliun rupiah saat ini) melalui penelusuran jejak Sri selama hidup. Zaman berusaha ingin menjawab pertanyaan tentang ahli waris yang mungkin dimiliki oleh Sri berbekal catatan kehidupan yang diperoleh dari tempat Sri meninggal. Hingga sampailah Zaman di lima titik di bumi; Pulau Bungin Sumbawa, Kota Surakarta Jawa Tengah, Kota Jakarta ibukota Indonesia, Kota London Inggris, dan Kota Paris Italia. Lima latar tempat Sri tinggal dalam waktu tertentu dengan lima latar budaya yang khas. Lima latar budaya yang digunakan Tere Liye untuk menceritakan kehidupan Sri menunjukkan keunikan masing-masing budaya di lima tempat yang berbeda. Kekhasan lima budaya yang ditampilkan Tere Liye mempengaruhi gaya penulisan yang digunakan. Adalah budaya masyarakat setempat berupa kekhasan panggilan dan atau nama, perilaku dan watak setiap daerah, bahasa (daerah dan negara) yang digunakan, karakteristik mata pencaharian sehari-hari, tata cara dan atau kebiasaan makan, jenis makanan khas, dan cara menjamu serta menerima tamu. Kelima budaya setempat yang ditunjukkan Tere Liye ini menambah kekayaan khasanah pengetahuan budaya dalam novel ini. Tere Liye membuat novel ini sarat makna melalui kekayaan literatur tentang kondisi geografis dan unsur budaya yang dimiliki oleh tempat tinggal Sri dan lingkungan di sekitar Zaman, di samping berbagai pesan moral yang disampaikan melalui perjalanan hidup tokoh-tokohnya.
Pesan moral Tere Liye kepada pembaca melalui novel ini disampaikan melalui berbagai karakter dan perjalanan hidup tokoh cerita. Melalui berbagai latar belakang budaya yang dapat mempengaruhi profesi dan cara hidup tokoh tertentu, Tere Liye secara apik[1] mengemas pesan moral yang ingin disampaikan. Sebagai contoh adalah kemunculan beragam profesi yang terlibat karena budaya hidup masyarakat yang berbeda seperti pengacara, pelaut tangguh, pengumpul hasil laut, guru, kiai, sopir, penjual nasi goreng, pengawas pabrik, wirausahawan pemilik usaha jasa transportasi, pemilik pabrik sabun, perawat di panti jompo, pemilik restauran, pemilik apartemen, pegawai perusahaan listrik, dan Chief Executive Officer (CEO). Seperti jenis karakter yang umum, ada dua jenis karakter utama yang menemani lika-liku kehidupan Sri dan Zaman, yaitu protagonis dan antagonis. Setiap kisah memang selalu diwarnai dengan karakter yang baik dan buruk, yang semakin menambah cita rasa kehidupan seorang Sri dan Zaman. Keluarga, tetangga dekat, teman/sahabat, dan pasangan hidup merupakan komponen yang selalu turut dalam setiap perjalanan hidup manusia, begitu pula dengan kehidupan seorang yang tangguh seperti Sri dan Zaman. Penggambaran karakter tokoh-tokoh dalam novel ini juga berada dalam porsi yang proporsional. Sebagai contoh adalah Sri sebagai tokoh utama di masa lalu tetap memiliki kekurangan dibalik berbagai kelebihan karena sisi lain berupa keegoisan sikap pada titik tertentu kehidupannya. Zaman sebagai karakter utama di masa kini masih tetap membutuhkan bantuan orang lain dibalik kecerdasan daya analisis, ketangkasan bertindak, dan keluhuran budi pekertinya. Begitu pula dengan karakter tokoh yang lain.
Perjalanan menemukan ahli waris Sri oleh Zaman melalui tulisan Sri menemui kelokan-kelokan yang beraneka ragam. Tulisan-tulisan yang Sri tinggalkan memuat pesan moral kehidupan kepada siapapun yang membacanya. Kesabaran, persahabatan, keteguhan hati, perjalanan cinta, dan memeluk rasa sakit. Tere Liye menyampaikan pesan moral kepada pembaca melalui tulisan tangan Sri yang telah meninggal. Meskipun secara tersurat Tere Liye membagi kisah hidup Sri menjadi lima bagian, namun ada satu hal yang menjadi inti pesan moral yang beliau sampaikan kepada pembaca melalui novel ini. Pesan penting tersebut adalah keikhlasan menerima takdir apapun dalam segala hal yang menimpa manusia. Keikhlasan yang merupakan buah dari pemahaman tauhid yang baik dan benar. Keikhlasan yang merupakan salah satu syarat diterimanya suatu amalan. Selain pesan tersebut, Tere Liye seolah juga ingin mengingatkan pembaca bahwa kematian merupakan suatu kepastian yang dialami oleh semua makhluk bernyawa di dunia. Hal ini tidak berlebihan karena buku setebal 524 + vi halaman tersebut bertumpu pada satu tokoh yang sudah meninggal, Sri. Perbedaan setiap makhluk yang pasti meninggal hanyalah pada cara menanggapi kematian tersebut. Tere Liye juga ingin memahamkan kepada pembaca bahwa pada tingkat kehidupan bahagia yang paripurna, bahagia itu sendiri merupakan suatu makhluk yang tidak abadi. Ia bisa direnggut oleh Yang Maha Pemilik Kebahagiaan sejati kapanpun dan dimanapun, melalui bentuk ujian tertentu. Karena manusia adalah manusia lemah yang hanya bisa menerima dan menyikapi takdir dengan sebaik-baik ikhtiarnya. Dengan keikhlasan yang bisa diusahakan melalui ke”legawa”an hati dan pikiran.
Secara detail, Tere Liye memberikan pesan moral yang dikirimkan melalui peninggalan Sri berupa tulisan dan harta warisan. Tulisan dan harta Sri seolah menjadi wasiat untuk seluruh pembaca baik untuk tuntunan kehidupan maupun untuk tuntunan kematian. Tere Liye menyampaikan makna-makna yang berenergi di balik tulisan Sri sebagai pemilik kesahajaan  yang dapat digunakan untuk tuntunan selama manusia hidup. Tulisan memang metode komunikasi yang canggih antara manusia yang masih hidup dengan yang sudah meninggal. Khalifah Ali bin Abi Thalib pun pernah mengungkapkan tentang hidupnya tulisan meskipun penulisnya sudah berada di alam barzah. Tulisan seorang penulis tentang apapun bisa mengantarkan seseorang ke surga ataupun sebaliknya, ke neraka. Surga bisa digapai melalui tulisan karena tulisannya mengandung kebaikan yang dapat mengalir seperti air, memberikan kehidupan yang lebih baik untuk makhluk hidup yang dilewatinya. Sebaliknya, neraka juga bisa didapatkan oleh penulis yang isi tulisannya mendatangkan kemudharatan bagi siapa dan apa saja yang dilaluinya. Catatan-catatan tokoh utama Sri tidak hanya menjadi petunjuk bagi Zaman mendapatkan ahli waris sah Sri, namun juga menjadi inspirasi bagi siapapun yang membacanya. Secara tersurat, surat-surat yang ditulis oleh Sri menggambarkan bagaimana lika-liku kehidupan Sri dari tempat-tempat yang berbeda. Sementara itu, bagaimana Sri memperlakukan harta kekayaannya merupakan pesan tersirat lain yang ingin Tere liye sampaikan sebagai tuntunan untuk siapapun yang akan mengalami suatu kepastian bernama kematian. Berbeda dengan nilai harta warisan Sri yang bisa dihitung dengan angka karena jika diprediksi bernilai melebihi kekayaan Ratu Inggris dan keluarganya, menurut saya, tulisan-tulisan yang Sri tinggalkan juga merupakan harta berharga dengan kemanfaatan yang tinggi, yang tidak bisa dihitung dengan angka mata uang apapun di dunia.
Setiap detail kisah hidup Sri di titik tertentu memiliki pesan khusus. Sebuah tempat tokoh Sri untuk belajar tentang makna kesabaran hidup. Kesabaran hidup yang seharusnya tanpa batas, yang dipertanyakan oleh Sri di tempat tersebut. Kesabaran yang seharusnya tanpa batasan usia, waktu, tempat, dan situasi. Tere Liye juga ingin memberi nasihat kepada pembaca bahwa kepedulian terhadap sesuatu yang menimpa orang terdekat merupakan hal yang penting. Di era yang berpotensi menghasilkan produk manusia yang semakin egois ini, kepedulian merupakan hal yang berharga mahal. Sementara itu di titik kehidupan yang lain, Tere Liye ingin memberikan pesan kepada pembaca bahwa pendidikan merupakan hal yang tidak mengenal batasan waktu dan usia. Berbekal semangat dan kedisiplinan, seseorang harus terus belajar ilmu apapun yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Sri memiliki sikap pantang menyerah, tekun, dan tidak kenal putus asa dalam mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk manusia. Selain tekad dan kemauan yang tinggi untuk terus belajar melengkapi kekurangan diri, bagian cerita kehidupan Sri di tempat lain ini juga merupakan ajang Tere Liye untuk memberikan pesan tentang pentingnya memiliki kecerdasan emosional dan spiritual, yang menjadi bekal untuk bertindak menghadapi bentuk fitnah atau adu domba yang memang sudah ada sejak jaman Nabi Adam hingga detik-detik mendekati hari kiamat ini. Adu domba yang menjadi ujian bagi Sri dan orang-orang tersayang di sekitarnya, yang menuntut kejernihan berpikir dan penggunaan hati nurani, sehingga mampu menghasilkan kecerdasan tindakan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Kedua gabungan kecerdasan itu (kecerdasan emosional dan spiritual) menjadi masalah generasi sekarang, yang menghasilkan tindakan latah seperti zombie dan ketidakmampuan menempatkan diri pada permasalahan tertentu. Tere Liye seolah juga ingin mengingatkan kejadian di masa lalu tentang bahaya fitnah yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang berpaham komunis. Selain pelajaran-pelajaran tersebut, Tere Liye juga menyisipkan tentang makna persahabatan yang ikhlas, lillahi ta’ala karena ikatan agama Allah, agama Islam. Persahabatan yang tulus adalah persahabatan yang tidak mempertimbangkan masa lalu sahabat lain. Persahabatan yang selalu mengedepankan kedekatan kepada Allah, yang saling mengingatkan untuk kembali kepada Allah apapun yang terjadi. Meskipun ketika salah satu berkhianat, maka hal terbaik yang bisa diberikan adalah menerima dengan tulus dan memaafkan tanpa harus diperintah untuk memaafkan. Kemudian, di titik yang lain, betapa Tere Liye ingin menasihatkan kepada pembaca tentang makna perjuangan hidup tak henti-henti melalui tokoh Sri. Pemahaman tentang bagaimana seseorang harus terus melangkah, apapun yang sedang Allah ujikan dan timpakan kepadanya. Bahkan meskipun harus “merangkak” (bergerak pelan-pelan), seseorang harus tetap berjalan ke depan menggapai cita-cita dan target hidup, dengan pelajaran masa lalu sebagai bahan evaluasi. Kemudian, setelah berusaha dengan sebesar-besarnya ikhtiar, seseorang harus siap dengan segala keputusan dari Allah sebagai pengatur utama kehidupan manusia. Karena manusia hanyalah makhluk dengan ukuran kecil di titik kecil bumi sebagai bagian dari luasnya alam jagad raya, yang hanya bisa memaksimalkan ikhtiar, dengan Allah sebagai penentu hasil dan kondisi akhir. Bagian itulah ujian penerimaan keikhlasan datang lagi. Dan seseorang harus bisa menyikapinya dengan ridho dan ikhlas, serta prasangka baik kepada Allah. Selanjutnya, apabila seseorang sudah mendapatkan apa yang diikhtiarkan, tokoh Sri memberikan contoh tentang bentuk syukur terhadap nikmat yang diberikan Allah. Bentuk syukur dapat dilakukan dengan memberikan hal terbaik dalam menjalankan segala kewajiban yang telah diamanatkan. Sementara itu di bagian perjalanan hidup yang lain, Tere Liye kembali ingin memberikan pemahaman kepada pembaca tentang keikhlasan menerima takdir cinta yang terkadang tidak sesuai dengan harapan indah manusia. Sri mendapatkan ujian kesejatian bentuk cinta yang diperoleh dari makhluk ciptaan Allah bernama laki-laki dan buah hati. Tere Liye menasihatkan tentang hakikat kepemilikan orang-orang tersayang. Bahwa kepada para pecinta makhluk Tuhan di dunia, semua yang manusia kira sebagai “milik” hanyalah titipan belaka yang suatu saat akan diambil kembali oleh Pemiliknya. Hakikat sebuah titipan yang merupakan ujian bagi manusia. Ujian tentang apa yang akan terjadi jika seseorang dititipi seseorang sebagai pasangan hidup, dan bagaimana manusia harus bersikap jika titipan itu diambil oleh Pemiliknya.  Kemudian, melanjutkan pengalaman hidup di tempat yang lain, Tere Liye berpesan bahwa kebaikan hati dan kehangatan diri merupakan bekal untuk bisa diterima oleh lingkungan sekitar. Kehidupan Sri menyiratkan pesan bahwa pendidikan dan bercocok tanam merupakan cara lain menikmati hidup di tengah deru suara kehidupan yang semakin merongrong. Pelibatan diri dalam dunia pendidikan merupakan cara untuk membuat diri sendiri tetap bermanfaat bagi orang lain, begitu juga dengan kegiatan bercocok tanam. Tere liye ingin memberikan pelajaran bahwa bercocok tanam merupakan salah satu cara untuk membuat diri berguna untuk manusia lain melalui bantuan penyediaan bahan pangan sebagai makanan untuk sesame. Selain itu, bercocok tanam juga merupakan metode sedekah untuk para makhluk lain di bumi seperti serangga dan teman-temannya. Ditambah lagi, menurut saya, meskipun suatu aktivitas bercocok tanam gagal, manusia tetap akan mendapatkan nilai di hadapan Tuhan karena membantu makhluk hidup lain bertahan hidup melalui aktivitas menghubungkan komponen-komponen yang terlibat dalam rantai makanan.
Selanjutnya, perlakuan Sri terhadap hartanya dapat menjadi teladan bagi pembaca untuk memahami hakikat harta itu sendiri. Harta dalam bentuk materi, seperti halnya titipan-titipan lain yang telah dikisahkan sebelumnya, juga merupakan titipan Allah yang tidak bersifat kekal dan menjadi ujian bagi siapapun yang diamanahi untuk dititipi. Manusia yang meninggal hanya akan membawa sehelai benang dan amal sholeh yang menjadi bekal kehidupan di alam selanjutnya. Ujian oleh harta kekayaan menyiratkan pertanyaan tentang bagaimana manusia akan memperlakukan harta titipan itu. Sebagai seseorang yang mendapatkan dan memahami ilmu agama sejak kecil, Sri dewasa paham mengenai cara kerja harta itu sendiri. Tere Liye memberikan pesan kepada pembaca bahwa persahabatan dan hubungan yang baik dengan sesama manusia lebih penting dibandingkan dengan harta itu sendiri. Pesan tentang apa yang harus dilakukan terhadap harta peninggalan yang tidak kekal dapat menjadi contoh bagaimana seseorang akan bertindak terhadap hartanya. Kemanfaatan publik atas harta merupakan hal yang utama sehingga dapat menjadi investasi di akhirat kelak. Kemanfaatan dan kemaslahatan bagi umat yang dapat menjadi amal dengan balasan yang terus mengalir hingga hari pembalasan kelak.
Selain harta, sebenarnya melalui tokoh Sri, Tere Liye juga berpesan bahwa ilmu yang bermanfaat merupakan investasi akhirat. Hal tersebut dapat dipahami melalui pendidikan bisnis yang Sri berikan kepada orang-orang di sekitarnya, pendidikan keterampilan tertentu kepada relasi tempat Sri bekerja, dan pendidikan kesenian kepada para murid-muridnya. Selain itu, bagaimana tokoh Sri menyikapi hal-hal yang telah dia alami sejak lahir hingga meninggal merupakan inspirasi sikap yang wajib diteladani oleh seluruh kalangan umur sebagai buah dari yang telah ia pelajari sejak lahir. Hal tersebut secara tidak langsung juga merupakan cara Sri mewariskan sikap dan perilaku melalui keteladanan yang dapat dicontoh dan diwarisi.
Beragam kisah yang dikonstruksi Tere Liye menjadi kesatuan cerita dalam novel ini membuktikan betapa beliau adalah penulis yang matang dan kreatif. Tere Liye berhasil menyampaikan pesan moral kepada seluruh pembaca melalui tema dan cara penyampaian kisah yang unik meskipun masih terdapat kekurangan dalam novel yang ditulisnya. Beberapa istilah-istilah yang berasal dari dunia ekonomi, bisnis, dan hukum membutuhkan catatan kaki agar pembaca yang awam mudah memahami makna istilah-istilah tersebut. Begitu pula dengan istilah yang berasal dari daerah dan negara tertentu. Namun hal tersebut dapat menjadi stimulus bagi pembaca untuk lebih mendalami istilah-istilah yang digunakan Tere Liye. Hal tersebut bisa jadi digunakan untuk mengungkapkan pengertian tertentu yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Ataupun jika ada, bisa jadi padanan yang dimaksud tidak efisien dan mempersulit komunikasi singkat antar tokoh yang sedang berdialog. Selain itu, kejutan akhir kisah perjuangan Zaman menemukan kemungkinan ahli waris Sri masih menyisakan tanda tanya bagi saya. Sebuah pertanyaan tentang pemenuhan kewajiban Zaman sebagai pengacara untuk menyelesaikan kewajiban pengurusan harta warisan Sri. Meskipun Tere Liye telah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di atas, namun ternyata kemudian, akhir kisahnya juga membuat satu pertanyaan baru muncul. Meskipun di akhir kisah Tere liye telah menceritakan tentang pemenuhan tugas Zaman terhadap harta tersebut berdasarkan wasiat Sri, namun pemenuhan kewajiban Zaman atas temuannya itu belum dijelaskan secara tuntas. Dan hal itu tidak dijawab oleh Tere Liye. Hal ini disebabkan karena perbedaan makna antara wasiat dan warisan itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan QS An-Nisa’ ayat 12, Islam mengakui sebuah ikatan karena keturunan, hijrah, dan persaudaraan pada awal mula sebelum turun ayat tersebut. Namun kemudian, ikatan karena hijrah dan persaudaraan dihapuskan setelah turun ayat tersebut. Hal ini menyebabkan perwarisan hanya dikarenakan keturunan, pernikahan, dan memerdekakan hamba sahaya. Ketentuan pembagian harta warisan tersebut baru dilaksanakan setelah wasiat dan utang piutang mendiang diselesaikan. Allah yang telah mengatur secara rinci perihal pembagian  harta warisan dalam ayat tersebut. Dan asas hukum Allah adalah keadilan dan kemaslahatan.


“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Dan bagianmu (suami-istri) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi (wasiat) yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun. (QS An-Nisa’: 11-12).”
Secara keseluruhan, novel ini merupakan paket lengkap pemahaman tentang kehidupan dan persiapan menghadapi kematian. Karena cerita di dalamnya memuat kisah tokoh dari lahir hingga wafat, maka tidak berlebihan jika novel ini saya rekomendasikan untuk dapat dibaca oleh semua kalangan usia, profesi, dan latar belakang budaya. Pesan moral yang disampaikan oleh Tere Liye bersifat universal dan dapat diaplikasikan pada berbagai kalangan pembaca. Novel ini dapat menjadi rujukan untuk program pembentukan karakter bagi anak-anak sejak dini dan pengobatan “kelumpuhan” karakter bagi masyarakat secara umum. Semoga menjadi amal ibadah Tere Liye yang akan terus mengalir hingga beliau kelak dipanggil Yang Maha Pemilik Kehidupan. Semoga semakin banyak orang yang akan mempelajari ilmu waris sehingga meningkatkan kemaslahatan terhadap umat. Aamiinn.


Referensi :

Majalah As-Sunnah Edisi khusus (7-8)/Tahun IX/1426/2005M. https://almanhaj.or.id/2021-pembagian-harta-waris.html. Surakarta : Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah. Diakses tanggal 29 Desember 2016

Al-Qur’anul Karim. The Wisdom Al-Qur’an Disertai Tafsir Tematis yang Memudahkan Siapa Saja untuk Memahami Al-Qur’an. Bandung : Al-Mizan Publishing House



[1] Kata dalam bahasa Jawa, yang dalam bahasa Indonesia bermakna baik, bagus