Ilmu faraidh atau fiqih mawaris didefinisikan sebagai ilmu
yang mempelajari tentang hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang
yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik tentang harta yang
ditinggalkan, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan, bagian
masing-masing ahli waris, dan cara penyelesaian pembagian harta peninggalan
tersebut. Ilmu warisan merupakan ilmu yang pertama kali dicabut menjelang hari
kiamat. Hukum mempelajari ilmu ini adalah seperti hukum mengurus jenazah, yaitu
fardhu kifayah. Jika ada sebagian
masyarakat yang mempelajari dan mengamalkan ilmu ini, maka gugurlah kewajiban
umat Islam terhadap ilmu ini. Namun berlaku juga sebaliknya. Allah berfirman
dalam QS An-Nisa’ ayat 13-14,
“Itu (pembagian
warisan) adalah batas-batas (hukum) Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang
agung. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat
azab yang menghinakan.”
Selain itu, ilmu
waris disebut sebagai setengah dari ilmu. Interpretasi hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim di bawah ini menjelaskan bahwa manusia
memiliki dua jenis keadaan selama di dunia, yaitu hidup dan mati. Sebagian
besar hukum yang ada dalam ilmu ini berhubungan dengan kematian, sehingga
disebut sebagai setengah dari ilmu yang ada, dan mengingat setiap manusia yang
lahir pasti akan mengalami kematian, maka setiap orang pasti membutuhkan ilmu
ini. Sementara itu, keluarga yang kokoh merupakan pondasi negara yang
bermartabat dan berkarakter. Bangunan keluarga dapat retak, bahkan hancur
karena adanya keserakahan manusia terhadap harta warisan.
Sehubungan dengan hal tersebut, ilmu ini juga dianggap sebagai ilmu yang
memiliki tingkat kepentingan yang tinggi untuk dipelajari dan diamalkan.
“Rasulullah SAW bersabda : pelajarilah
ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang.
Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku. (HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny
dan Al-Hakim)”
Novel “Tentang Kamu” merupakan salah satu pintu kreatif yang
dilakukan oleh Tere Liye untuk mendukung sosialisasi atau pendidikan tentang
ilmu waris melalui cerita fiksi yang disampaikan kepada masyarakat luas,
khususnya di Indonesia. Novel ini menjadi jembatan antara masyarakat yang
awam terhadap ilmu waris dalam Islam dengan pemahaman (dan pengamalan) tentang
ilmu yang memiliki kedudukan mulia dalam Islam tersebut. Pintu pembelajaran dan pemahaman yang menjadi stimulus
kepada masyarakat luas, khususnya pembaca novel ini untuk mempelajari ilmu
tersebut lebih dalam lagi.
Pertama kali mendengar tentang judul novel terbaru Tere Liye,
saya memprediksi novel ini merupakan novel romance
yang menceritakan tentang kehidupan seseorang yang gagal dengan kehidupan cintanya.
Saat itu, “tentang kamu” saya artikan secara sempit. Hanya tentang obyek
manusia. Namun, novel ini tidak sesederhana cover
dan judul luarnya. Isi novel ini mirip dengan karakter tokoh utama dalam novel
ini, Sri Ningsih. Representasi seseorang yang penuh kejutan, dengan penampilan
luar yang sederhana. Begitu pula dengan nama yang berkebalikan dengan pemikirannya.
Sri Ningsih adalah nama yang bersahaja, namun Sri Ningsih memiliki pemikiran
yang kompleks dan visioner.
Kesederhanaan penampilan luar novel ini digambarkan dengan
sepasang sepatu kucel berwarna coklat. Dibantu oleh penerbit Republika dan
penyuntingan isi naskah oleh Triana Rahmawati, novel ini telah dicetak selama 4
(empat) kali dari bulan Oktober hingga November 2016 dan dijual dengan harga
Rp.79.000,-. Setiap bab yang terintegrasi dalam 33 bab menggambarkan perjuangan
tokoh bernama Zaman Zulkarnaen menyelesaikan misi untuk menemukan ahli waris
Sri Ningsih yang memiliki nilai kekayaan yang fenomenal.
Ketika saya membaca novel ini, pertanyaan yang membuat saya
penasaran hingga ingin tetap melanjutkan membaca sampai bagian akhir adalah
tentang kepemilikan ahli waris yang mungkin dimiliki Sri. Selain itu, sepanjang
aktivitas mengekstrak isi novel Tere Liye ini, saya juga memikirkan secara
seksama jawaban atas pertanyaan yang diutarakan kepada Zaman, sebagai bahan
seleksi firma hukum suci Thompson & Co. Firma hukum yang menjadi legenda
hidup dan tidak gila publikasi, namun memiliki kehormatan dengan caranya
sendiri. Pertanyaan tersebut muncul di permulaan novel dan sukses membuat
aliran informasi dalam otak saya bekerja dengan keras untuk menemukan jawabannya.
Sebuah pertanyaan mendasar tentang pilihan antara kebenaran dan kebohongan bagi
para pengembara kebenaran.
“Jika berkata jujur akan membuat
empat orang jahat terbunuh mengenaskan, sedangkan berbohong akan membuatnya
selamat, maka pilihan apa yang akan anda ambil?”
Selanjutnya, alur campuran berupa alur mundur dan maju
digunakan oleh Tere Liye untuk menceritakan kehidupan Sri di masa lalu dan
perjuangan Zaman menemukan ahli waris Sri di masa kini. Kisah masa lalu pada
alur mundur bertumpu pada karakter utama Sri, sedangkan kisah masa kini yang
terus bergerak maju berpusat pada Zaman. Alur cerita yang digunakan oleh Tere Liye
rapi, sehingga membuat pembaca tidak mengalami kesulitan dalam memahami dan
membedakan peristiwa masa lalu dan masa kini. Kemudahan memahami cerita pada
novel yang menggunakan alur maju mundur dapat disebabkan karena adanya
perbedaan latar belakang yang signifikan antara tokoh masa kini dan masa lalu.
Selain itu, gaya bahasa yang digunakan juga luwes dan mudah dipahami sehingga
menjadi daya tarik tersendiri untuk kemudahan pemahaman isi cerita secara
keseluruhan. Novel Tere Liye yang satu ini menyajikan tema yang hampir mirip
dengan novel-novel Tere Liye sebelumnya, namun dengan pembahasan yang lebih
lengkap. Ditambah lagi, tema
tentang peninggalan harta warisan merupakan hal yang baru dalam novel yang
diusung Tere Liye. Sebelumnya, Tere Liye sering menasihatkan perihal kematian dalam
novel Pulang dan Rindu melalui penyajian kisah kematian tokoh tertentu. Namun
demikian, titik pembahasan pemahaman tentang hakikat kematian yang menjadi
pusat cerita dalam novel terbarunya ini menjadikan novel ini berbeda dengan
novel-novel Tere Liye sebelumnya.
Kisah dimulai dari seorang pemuda yang memiliki latar
belakang pendidikan ilmu hukum Oxford
University, Kota London, Inggris. Zaman Zulkarnaen adalah seorang calon
pengacara yang mendapatkan tugas orientasi di firma hukum suci Inggris,
Thompson & Co. Zaman mendapatkan tugas untuk menelusuri misteri kepemilikan
harta sebesar satu miliar poundsterling (setara dengan 19 triliun rupiah saat ini)
melalui penelusuran jejak Sri selama hidup. Zaman berusaha ingin menjawab
pertanyaan tentang ahli waris yang mungkin dimiliki oleh Sri berbekal catatan
kehidupan yang diperoleh dari tempat Sri meninggal. Hingga sampailah Zaman di
lima titik di bumi; Pulau Bungin Sumbawa, Kota Surakarta Jawa Tengah, Kota
Jakarta ibukota Indonesia, Kota London Inggris, dan Kota Paris Italia. Lima
latar tempat Sri tinggal dalam waktu tertentu dengan lima latar budaya yang
khas. Lima latar budaya yang digunakan Tere Liye untuk menceritakan kehidupan
Sri menunjukkan keunikan masing-masing budaya di lima tempat yang berbeda.
Kekhasan lima budaya yang ditampilkan Tere Liye mempengaruhi gaya penulisan
yang digunakan. Adalah budaya masyarakat setempat berupa kekhasan panggilan dan
atau nama, perilaku dan watak setiap daerah, bahasa (daerah dan negara) yang
digunakan, karakteristik mata pencaharian sehari-hari, tata cara dan atau
kebiasaan makan, jenis makanan khas, dan cara menjamu serta menerima tamu.
Kelima budaya setempat yang ditunjukkan Tere Liye ini menambah kekayaan
khasanah pengetahuan budaya dalam novel ini. Tere Liye membuat novel ini sarat
makna melalui kekayaan literatur tentang kondisi geografis dan unsur budaya
yang dimiliki oleh tempat tinggal Sri dan lingkungan di sekitar Zaman, di
samping berbagai pesan moral yang disampaikan melalui perjalanan hidup
tokoh-tokohnya.
Pesan moral Tere Liye kepada pembaca melalui novel ini
disampaikan melalui berbagai karakter dan perjalanan hidup tokoh cerita.
Melalui berbagai latar belakang budaya yang dapat mempengaruhi profesi dan cara
hidup tokoh tertentu, Tere Liye secara apik[1]
mengemas pesan moral yang ingin disampaikan. Sebagai contoh adalah kemunculan
beragam profesi yang terlibat karena budaya hidup masyarakat yang berbeda seperti
pengacara, pelaut tangguh, pengumpul hasil laut, guru, kiai, sopir, penjual
nasi goreng, pengawas pabrik, wirausahawan pemilik usaha jasa transportasi,
pemilik pabrik sabun, perawat di panti jompo, pemilik restauran, pemilik
apartemen, pegawai perusahaan listrik, dan Chief Executive Officer (CEO). Seperti
jenis karakter yang umum, ada dua jenis karakter utama yang menemani lika-liku
kehidupan Sri dan Zaman, yaitu protagonis dan antagonis. Setiap kisah memang
selalu diwarnai dengan karakter yang baik dan buruk, yang semakin menambah cita
rasa kehidupan seorang Sri dan Zaman. Keluarga, tetangga dekat, teman/sahabat,
dan pasangan hidup merupakan komponen yang selalu turut dalam setiap perjalanan
hidup manusia, begitu pula dengan kehidupan seorang yang tangguh seperti Sri
dan Zaman. Penggambaran karakter tokoh-tokoh dalam novel ini juga berada dalam
porsi yang proporsional. Sebagai contoh adalah Sri sebagai tokoh utama di masa
lalu tetap memiliki kekurangan dibalik berbagai kelebihan karena sisi lain
berupa keegoisan sikap pada titik tertentu kehidupannya. Zaman sebagai karakter
utama di masa kini masih tetap membutuhkan bantuan orang lain dibalik kecerdasan
daya analisis, ketangkasan bertindak, dan keluhuran budi pekertinya. Begitu pula
dengan karakter tokoh yang lain.
Perjalanan menemukan ahli waris Sri oleh Zaman melalui
tulisan Sri menemui kelokan-kelokan yang beraneka ragam. Tulisan-tulisan yang
Sri tinggalkan memuat pesan moral kehidupan kepada siapapun yang membacanya.
Kesabaran, persahabatan, keteguhan hati, perjalanan cinta, dan memeluk rasa
sakit. Tere Liye menyampaikan pesan moral kepada pembaca melalui tulisan tangan
Sri yang telah meninggal. Meskipun secara tersurat Tere Liye membagi kisah
hidup Sri menjadi lima bagian, namun ada satu hal yang menjadi inti pesan moral
yang beliau sampaikan kepada pembaca melalui novel ini. Pesan penting tersebut
adalah keikhlasan menerima takdir apapun dalam segala hal yang menimpa manusia.
Keikhlasan yang merupakan buah dari pemahaman tauhid yang baik dan benar.
Keikhlasan yang merupakan salah satu syarat diterimanya suatu amalan. Selain
pesan tersebut, Tere Liye seolah juga ingin mengingatkan pembaca bahwa kematian
merupakan suatu kepastian yang dialami oleh semua makhluk bernyawa di dunia.
Hal ini tidak berlebihan karena buku setebal 524 + vi halaman tersebut bertumpu
pada satu tokoh yang sudah meninggal, Sri. Perbedaan setiap makhluk yang pasti
meninggal hanyalah pada cara menanggapi kematian tersebut. Tere Liye juga ingin
memahamkan kepada pembaca bahwa pada tingkat kehidupan bahagia yang paripurna,
bahagia itu sendiri merupakan suatu makhluk yang tidak abadi. Ia bisa direnggut
oleh Yang Maha Pemilik Kebahagiaan sejati kapanpun dan dimanapun, melalui
bentuk ujian tertentu. Karena manusia adalah manusia lemah yang hanya bisa
menerima dan menyikapi takdir dengan sebaik-baik ikhtiarnya. Dengan keikhlasan
yang bisa diusahakan melalui ke”legawa”an
hati dan pikiran.
Secara detail, Tere Liye memberikan pesan moral yang
dikirimkan melalui peninggalan Sri berupa tulisan dan harta warisan. Tulisan
dan harta Sri seolah menjadi wasiat untuk seluruh pembaca baik untuk tuntunan
kehidupan maupun untuk tuntunan kematian. Tere Liye menyampaikan makna-makna
yang berenergi di balik tulisan Sri sebagai pemilik kesahajaan yang dapat digunakan untuk tuntunan selama
manusia hidup. Tulisan memang metode komunikasi yang canggih antara manusia
yang masih hidup dengan yang sudah meninggal. Khalifah Ali bin Abi Thalib pun
pernah mengungkapkan tentang hidupnya tulisan meskipun penulisnya sudah berada
di alam barzah. Tulisan seorang penulis tentang apapun bisa mengantarkan
seseorang ke surga ataupun sebaliknya, ke neraka. Surga bisa digapai melalui
tulisan karena tulisannya mengandung kebaikan yang dapat mengalir seperti air,
memberikan kehidupan yang lebih baik untuk makhluk hidup yang dilewatinya.
Sebaliknya, neraka juga bisa didapatkan oleh penulis yang isi tulisannya
mendatangkan kemudharatan bagi siapa dan apa saja yang dilaluinya. Catatan-catatan
tokoh utama Sri tidak hanya menjadi petunjuk bagi Zaman mendapatkan ahli waris
sah Sri, namun juga menjadi inspirasi bagi siapapun yang membacanya. Secara
tersurat, surat-surat yang ditulis oleh Sri menggambarkan bagaimana lika-liku
kehidupan Sri dari tempat-tempat yang berbeda. Sementara itu, bagaimana Sri memperlakukan
harta kekayaannya merupakan pesan tersirat lain yang ingin Tere liye sampaikan sebagai
tuntunan untuk siapapun yang akan mengalami suatu kepastian bernama kematian. Berbeda
dengan nilai harta warisan Sri yang bisa dihitung dengan angka karena jika
diprediksi bernilai melebihi kekayaan Ratu Inggris dan keluarganya, menurut
saya, tulisan-tulisan yang Sri tinggalkan juga merupakan harta berharga dengan
kemanfaatan yang tinggi, yang tidak bisa dihitung dengan angka mata uang apapun
di dunia.
Setiap detail kisah hidup Sri di titik tertentu memiliki pesan
khusus. Sebuah tempat tokoh Sri untuk belajar tentang makna kesabaran hidup.
Kesabaran hidup yang seharusnya tanpa batas, yang dipertanyakan oleh Sri di tempat
tersebut. Kesabaran yang seharusnya tanpa batasan usia, waktu, tempat, dan
situasi. Tere Liye juga ingin memberi nasihat kepada pembaca bahwa kepedulian
terhadap sesuatu yang menimpa orang terdekat merupakan hal yang penting. Di era
yang berpotensi menghasilkan produk manusia yang semakin egois ini, kepedulian
merupakan hal yang berharga mahal. Sementara itu di titik kehidupan yang lain,
Tere Liye ingin memberikan pesan kepada pembaca bahwa pendidikan merupakan hal
yang tidak mengenal batasan waktu dan usia. Berbekal semangat dan kedisiplinan,
seseorang harus terus belajar ilmu apapun yang dapat memberikan kemaslahatan
bagi umat manusia. Sri memiliki sikap pantang menyerah, tekun, dan tidak kenal
putus asa dalam mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk manusia. Selain
tekad dan kemauan yang tinggi untuk terus belajar melengkapi kekurangan diri,
bagian cerita kehidupan Sri di tempat lain ini juga merupakan ajang Tere Liye untuk
memberikan pesan tentang pentingnya memiliki kecerdasan emosional dan
spiritual, yang menjadi bekal untuk bertindak menghadapi bentuk fitnah atau adu
domba yang memang sudah ada sejak jaman Nabi Adam hingga detik-detik mendekati
hari kiamat ini. Adu domba yang menjadi ujian bagi Sri dan orang-orang tersayang
di sekitarnya, yang menuntut kejernihan berpikir dan penggunaan hati nurani, sehingga
mampu menghasilkan kecerdasan tindakan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua gabungan kecerdasan itu (kecerdasan emosional dan spiritual) menjadi
masalah generasi sekarang, yang menghasilkan tindakan latah seperti zombie dan ketidakmampuan menempatkan
diri pada permasalahan tertentu. Tere Liye seolah juga ingin mengingatkan
kejadian di masa lalu tentang bahaya fitnah yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat yang berpaham komunis. Selain pelajaran-pelajaran tersebut, Tere Liye
juga menyisipkan tentang makna persahabatan yang ikhlas, lillahi ta’ala karena ikatan agama Allah, agama Islam. Persahabatan
yang tulus adalah persahabatan yang tidak mempertimbangkan masa lalu sahabat
lain. Persahabatan yang selalu mengedepankan kedekatan kepada Allah, yang saling
mengingatkan untuk kembali kepada Allah apapun yang terjadi. Meskipun ketika
salah satu berkhianat, maka hal terbaik yang bisa diberikan adalah menerima
dengan tulus dan memaafkan tanpa harus diperintah untuk memaafkan. Kemudian, di
titik yang lain, betapa Tere Liye ingin menasihatkan kepada pembaca tentang
makna perjuangan hidup tak henti-henti melalui tokoh Sri. Pemahaman tentang
bagaimana seseorang harus terus melangkah, apapun yang sedang Allah ujikan dan
timpakan kepadanya. Bahkan meskipun harus “merangkak” (bergerak pelan-pelan),
seseorang harus tetap berjalan ke depan menggapai cita-cita dan target hidup,
dengan pelajaran masa lalu sebagai bahan evaluasi. Kemudian, setelah berusaha
dengan sebesar-besarnya ikhtiar, seseorang harus siap dengan segala keputusan dari
Allah sebagai pengatur utama kehidupan manusia. Karena manusia hanyalah makhluk
dengan ukuran kecil di titik kecil bumi sebagai bagian dari luasnya alam jagad
raya, yang hanya bisa memaksimalkan ikhtiar, dengan Allah sebagai penentu hasil
dan kondisi akhir. Bagian itulah ujian penerimaan keikhlasan datang lagi. Dan
seseorang harus bisa menyikapinya dengan ridho dan ikhlas, serta prasangka baik
kepada Allah. Selanjutnya, apabila seseorang sudah mendapatkan apa yang
diikhtiarkan, tokoh Sri memberikan contoh tentang bentuk syukur terhadap nikmat
yang diberikan Allah. Bentuk syukur dapat dilakukan dengan memberikan hal
terbaik dalam menjalankan segala kewajiban yang telah diamanatkan. Sementara
itu di bagian perjalanan hidup yang lain, Tere Liye kembali ingin memberikan
pemahaman kepada pembaca tentang keikhlasan menerima takdir cinta yang
terkadang tidak sesuai dengan harapan indah manusia. Sri mendapatkan ujian
kesejatian bentuk cinta yang diperoleh dari makhluk ciptaan Allah bernama
laki-laki dan buah hati. Tere Liye menasihatkan tentang hakikat kepemilikan
orang-orang tersayang. Bahwa kepada para pecinta makhluk Tuhan di dunia, semua
yang manusia kira sebagai “milik” hanyalah titipan belaka yang suatu saat akan
diambil kembali oleh Pemiliknya. Hakikat sebuah titipan yang merupakan ujian
bagi manusia. Ujian tentang apa yang akan terjadi jika seseorang dititipi seseorang
sebagai pasangan hidup, dan bagaimana manusia harus bersikap jika titipan itu
diambil oleh Pemiliknya. Kemudian,
melanjutkan pengalaman hidup di tempat yang lain, Tere Liye berpesan bahwa kebaikan
hati dan kehangatan diri merupakan bekal untuk bisa diterima oleh lingkungan
sekitar. Kehidupan Sri menyiratkan pesan bahwa pendidikan dan bercocok tanam
merupakan cara lain menikmati hidup di tengah deru suara kehidupan yang semakin
merongrong. Pelibatan diri dalam dunia pendidikan merupakan cara untuk membuat
diri sendiri tetap bermanfaat bagi orang lain, begitu juga dengan kegiatan
bercocok tanam. Tere liye ingin memberikan pelajaran bahwa bercocok tanam merupakan
salah satu cara untuk membuat diri berguna untuk manusia lain melalui bantuan
penyediaan bahan pangan sebagai makanan untuk sesame. Selain itu, bercocok
tanam juga merupakan metode sedekah untuk para makhluk lain di bumi seperti
serangga dan teman-temannya. Ditambah lagi, menurut saya, meskipun suatu aktivitas
bercocok tanam gagal, manusia tetap akan mendapatkan nilai di hadapan Tuhan
karena membantu makhluk hidup lain bertahan hidup melalui aktivitas menghubungkan
komponen-komponen yang terlibat dalam rantai makanan.
Selanjutnya, perlakuan Sri terhadap hartanya dapat menjadi
teladan bagi pembaca untuk memahami hakikat harta itu sendiri. Harta dalam
bentuk materi, seperti halnya titipan-titipan lain yang telah dikisahkan
sebelumnya, juga merupakan titipan Allah yang tidak bersifat kekal dan menjadi
ujian bagi siapapun yang diamanahi untuk dititipi. Manusia yang meninggal hanya
akan membawa sehelai benang dan amal sholeh yang menjadi bekal kehidupan di
alam selanjutnya. Ujian oleh harta kekayaan menyiratkan pertanyaan tentang
bagaimana manusia akan memperlakukan harta titipan itu. Sebagai seseorang yang
mendapatkan dan memahami ilmu agama sejak kecil, Sri dewasa paham mengenai cara
kerja harta itu sendiri. Tere Liye memberikan pesan kepada pembaca bahwa
persahabatan dan hubungan yang baik dengan sesama manusia lebih penting
dibandingkan dengan harta itu sendiri. Pesan tentang apa yang harus dilakukan
terhadap harta peninggalan yang tidak kekal dapat menjadi contoh bagaimana
seseorang akan bertindak terhadap hartanya. Kemanfaatan publik atas harta merupakan
hal yang utama sehingga dapat menjadi investasi di akhirat kelak. Kemanfaatan dan
kemaslahatan bagi umat yang dapat menjadi amal dengan balasan yang terus
mengalir hingga hari pembalasan kelak.
Selain harta, sebenarnya melalui tokoh Sri, Tere Liye juga
berpesan bahwa ilmu yang bermanfaat merupakan investasi akhirat. Hal tersebut dapat
dipahami melalui pendidikan bisnis yang Sri berikan kepada orang-orang di
sekitarnya, pendidikan keterampilan tertentu kepada relasi tempat Sri bekerja,
dan pendidikan kesenian kepada para murid-muridnya. Selain itu, bagaimana tokoh
Sri menyikapi hal-hal yang telah dia alami sejak lahir hingga meninggal
merupakan inspirasi sikap yang wajib diteladani oleh seluruh kalangan umur
sebagai buah dari yang telah ia pelajari sejak lahir. Hal tersebut secara tidak
langsung juga merupakan cara Sri mewariskan sikap dan perilaku melalui
keteladanan yang dapat dicontoh dan diwarisi.
Beragam kisah yang dikonstruksi Tere Liye menjadi kesatuan
cerita dalam novel ini membuktikan betapa beliau adalah penulis yang matang dan
kreatif. Tere Liye berhasil menyampaikan pesan moral kepada seluruh pembaca
melalui tema dan cara penyampaian kisah yang unik meskipun masih terdapat
kekurangan dalam novel yang ditulisnya. Beberapa istilah-istilah yang berasal
dari dunia ekonomi, bisnis, dan hukum membutuhkan catatan kaki agar pembaca
yang awam mudah memahami makna istilah-istilah tersebut. Begitu pula dengan
istilah yang berasal dari daerah dan negara tertentu. Namun hal tersebut dapat
menjadi stimulus bagi pembaca untuk lebih mendalami istilah-istilah yang digunakan
Tere Liye. Hal tersebut bisa jadi digunakan untuk mengungkapkan pengertian
tertentu yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Ataupun jika ada,
bisa jadi padanan yang dimaksud tidak efisien dan mempersulit komunikasi singkat
antar tokoh yang sedang berdialog. Selain itu, kejutan akhir kisah perjuangan
Zaman menemukan kemungkinan ahli waris Sri masih menyisakan tanda tanya bagi
saya. Sebuah pertanyaan tentang pemenuhan kewajiban Zaman sebagai pengacara
untuk menyelesaikan kewajiban pengurusan harta warisan Sri. Meskipun Tere Liye telah
menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di atas, namun ternyata kemudian, akhir
kisahnya juga membuat satu pertanyaan baru muncul. Meskipun di akhir kisah Tere
liye telah menceritakan tentang pemenuhan tugas Zaman terhadap harta tersebut
berdasarkan wasiat Sri, namun pemenuhan kewajiban Zaman atas temuannya itu belum dijelaskan secara tuntas. Dan hal itu tidak dijawab oleh Tere Liye. Hal ini disebabkan karena perbedaan
makna antara wasiat dan warisan itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan QS An-Nisa’ ayat 12, Islam mengakui sebuah
ikatan karena keturunan, hijrah, dan persaudaraan pada awal mula sebelum turun
ayat tersebut. Namun kemudian, ikatan karena hijrah dan persaudaraan dihapuskan
setelah turun ayat tersebut. Hal ini menyebabkan perwarisan hanya dikarenakan
keturunan, pernikahan, dan memerdekakan hamba sahaya. Ketentuan pembagian harta
warisan tersebut baru dilaksanakan setelah wasiat dan utang piutang mendiang
diselesaikan. Allah yang telah mengatur secara rinci perihal pembagian harta warisan dalam ayat tersebut. Dan asas hukum
Allah adalah keadilan dan kemaslahatan.
“Allah mensyariatkan (mewajibkan)
kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang
anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu
semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang
saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua
ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai
anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi)
wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih
banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana. Dan bagianmu (suami-istri) adalah seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi (wasiat) yang mereka buat atau
(dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah
dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu.
Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam
bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan
setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).
Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun. (QS
An-Nisa’: 11-12).”
Secara keseluruhan, novel ini merupakan paket lengkap
pemahaman tentang kehidupan dan persiapan menghadapi kematian. Karena cerita di
dalamnya memuat kisah tokoh dari lahir hingga wafat, maka tidak berlebihan jika
novel ini saya rekomendasikan untuk dapat dibaca oleh semua kalangan usia,
profesi, dan latar belakang budaya. Pesan moral yang disampaikan oleh Tere Liye
bersifat universal dan dapat diaplikasikan pada berbagai kalangan pembaca. Novel
ini dapat menjadi rujukan untuk program pembentukan karakter bagi anak-anak
sejak dini dan pengobatan “kelumpuhan” karakter bagi masyarakat secara umum. Semoga
menjadi amal ibadah Tere Liye yang akan terus mengalir hingga beliau kelak
dipanggil Yang Maha Pemilik Kehidupan. Semoga semakin banyak orang yang akan
mempelajari ilmu waris sehingga meningkatkan kemaslahatan terhadap umat. Aamiinn.
Referensi
:
Majalah
As-Sunnah Edisi khusus (7-8)/Tahun IX/1426/2005M. https://almanhaj.or.id/2021-pembagian-harta-waris.html.
Surakarta : Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah. Diakses tanggal 29 Desember 2016
Al-Qur’anul
Karim. The Wisdom Al-Qur’an Disertai
Tafsir Tematis yang Memudahkan Siapa Saja untuk Memahami Al-Qur’an. Bandung
: Al-Mizan Publishing House