Orang
melihat dia sebagai sosok pemikir. Sahabatnya menilai dia terlalu peka dan
kritis hingga sampai saat ini dia tidak mendapatkan pekerjaan di perusahaan
seperti yang telah sahabatnya capai. Label idealis telah melekat dalam dirinya.
Beberapa analisis dia ajukan dalam otaknya saat kejadian yang kata orang
“buruk” tersebut menimpanya. Selektifitas yang tinggi (kata sahabatnya) dalam
memilih pekerjaan. Kondisi kejiwaan yang tidak sesuai dengan jabatan yang dia pilih.
Kompetensi yang tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kemampuan intelegensia
yang kurang. Tidak ada “orang dalam” yang dia kenal. Penampilan yang tidak
berhasil memikat para pewawancara sehingga mengakibatkan kurangnya kepercayaan
dari pihak perusahaan. Sumbangan yang tidak diberikan terlebih dahulu ke
perusahaan. Entahlah. Dia lelah.
Kondisi perekonomian dunia
telah menjadikan manusia-manusia kritis semakin terhimpit. Sebelum
lulus kuliah, dia berfikir bahwa dia tidak mau jalan panjang dalam menuntut
ilmu di perguruan tinggi berujung dengan tulisan “uang”. Dia sudah malas dengan anggapan orang tentang
harta dan uang. Kata “perubahan” yang banyak keluar dari mulut mahasiswa
menjadi kata yang omong kosong jika mereka tidak bisa menjadi pemimpin untuk
keluar dari permasalahan. Omong kosong jika kata “perubahan” diakhiri dengan
materi yang melimpah ruah loh jinawi, ketenaran dan jabatan yang tinggi di
perusahaan terkenal, sehingga berakhir dengan menjadi “roda”, bukan pemilik
perusahaan mobil. Mereka sudah mengetahui kalau perusahaan tersebut merugikan
bangsa dalam situasi yang samar-samar karena polesan gemerlap materi yang
diberikan perusahaan kepada sang “roda”. Dia tak ingin muluk-muluk. Cita-citanya
hanya satu, bermanfaat untuk orang di sekitar tempat tinggalnya meskipun
hidupnya bersahaja. Dia tak mau hidup di kota-kota besar yang penuh dengan
suara-suara bising, racun-racun hitam di udara, dan hingar bingar tempat-tempat
modern, di bawah pengaruh globalisasi dan feminisme.
Usaha untuk melakukan segala macam hal
yang bisa dia lakukan akan dia lakukan meskipun orang menilai tidak penting.
Dia ingin mengadopsi prinsip-prinsip manajemen bisnis sahabat yang telah
dijamin masuk syurga oleh Allaah, Abdurrahman bin Auf. Barang halal sebagai obyek bisnis. Penghindaran dari barang haram, bahkan
barang syubghat sekalipun. Keuntungan bisnis yang diperoleh dinikmati dengan
menunaikan hak keluarga, hak Allaah dan perjuangan di jalan Allaah. Harta yang
diperoleh bukan sesuatu yang mengendalikannya, namun sesuatu yang
dikendalikannya. Motivasi dunia akhirat.
Orientasi keberkahan. Etos kerja untuk beribadah. Sikap mental dan keahlian
didasarkan sebagai manifestasi seorang muslim. Manajemen keuangan, operasi,
strategi, pemasaran dan sumber daya manusia berdasarkan konsep halal dan
syariah. Istiqomah (orang masa kini menyebutnya konsisten) dalam mengerjakan
bisnis. Semua dikembalikan kepada hakikat penciptaan manusia di bumi, dalam
hubungannya kepada sesama makhluk (hidup atau mati) dan kepada Allaah Yang Maha
Kuasa.
Rumah, mobil, emas,
perusahaan dan uang adalah materi yang dapat dipetik di dunia jika bisnis
dilakukan dengan cara-cara Islami. Bisnis berdasarkan konsep sekuler hanya akan
membuat jiwa merasa selalu haus dengan apa yang telah diperoleh, dan hati tidak
tentram. Sangat mungkin untuk bisa menjadi semakin kaya materi. Namun belum
tentu dengan jiwa yang kaya hati. Anggapan-anggapan orang di sekitar tempat
tinggalnya telah menempatkan materi sebagai suatu hal yang wajib dikejar. Namun
saya tidak tau sampai kapan orang tersebut merasa cukup dan bisa bersyukur. Pilihan-pilihan
hidup tersebut ada pada otak dan hati manusia-manusia yang (katanya bisa)
berfikir. Hidup di dunia tak hanya tentang materi duniawi. Kehidupan sesudah
mati telah menanti untuk seluruh insan di bumi.
Semakin mengaburnya definisi-definisi
Terasa sempit jika definisi di hulu mampu
dipahami
Harap dalam doa
Ikhtiar dalam usaha
Berfikirlah
Bergeraklah
Optimislah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar