Filologi didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari naskah-naskah manuskrip, yang biasanya berasal dari zaman kuno[1]. Sementara
itu, Kamus Besar
Bahasa Indonesia mendefinisikan filologi sebagai ilmu tentang bahasa,
kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di
bahan-bahan tertulis. Maka, objek utama kajian ini adalah berupa teks atau
naskah. Lubis
(2001) menuliskan bahwa kajian filologi dalam Al Qur’an penting digunakan untuk
memastikan kemurnian teks Al Qur’an itu sendiri. Perubahan-perubahan terhadap
kandungan Al Qur’an berpotensi dapat dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang
berusaha mengacaukan kitab suci Al Qur’an di setiap zaman. Urgensi lain dari
kajian ini ada pada ilmu Hadits. Kajian filologi dalam ilmu Hadits digunakan
untuk menjamin keabsahan teks atau matan suatu hadits, termasuk ilmu-ilmu Fiqh
dan Aqidah, serta karya ulama terdahulu. Al Qur’an dan Hadits merupakan dua
pedoman penting umat Islam dalam menjalankan kehidupan material maupun
spiritual di dunia.
Zukra (2012) menuliskan bahwa cabang
ilmu ini belum banyak dikenal oleh masyarakat luas, terutama masyarakat Islam.
Sebenarnya, pendekatan filologi dalam pengkajian Islam sudah
dikenal cukup lama (Abdullah, 1996). Zukra (2012) menuliskan bahwa pada masa
Khalifah Abu Bakar, nash Al Qur’an mulai dikumpulkan dalam satu mushaf.
Ayat-ayat Al Qur’an yang sebelumnya tertulis pada tulang belulang, kulit pohon,
batu, kulit binatang dan sebagainya dipindah dan disalin pada sebuah mushaf
kemudian dijadikan satu. Pekerjaan tersebut dilakukan dengan teliti karena
berkaitan dengan keaslian wahyu Ilahi.
Berkaitan dengan cabang
ilmu tersebut, Kang Abik menggunakan pendekatan melalui
karya sastra fiksi berupa novel untuk memperkenalkan dan mengkampanyekan cabang
ilmu ini. Cara Kang Abik ini sangat efektif karena bisa menyasar berbagai
kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang sudah benar-benar paham tentang
filologi. Masyarakat awam yang dimaksud adalah masyarakat yang tidak menyentuh
bahasan filologi secara akademis, sedangkan masyarakat yang sudah familiar
dengan filologi biasanya adalah masyarakat yang memang menjadikan filologi
sebagai kajian yang selalu dipelajari secara akademis, di bangku universitas
maupun di lembaga penelitian tertentu.
Filologi diperkenalkan oleh Kang Abik
pada bagian awal sebagai ilmu yang didalami oleh Fahri ketika
mengambil studi Ph.D di Jerman, di The University
of Freiburg. Ilmu filologi yang dipelajari oleh Fahri
hingga studi doktoral menjadi bekal Fahri melakukan penelitian dan pendidikan
di bidang tersebut. Tokoh Fahri mewakili para filolog kajian Islam
kontemporer, menyampaikan beberapa bahasan dalam ilmu ini melalui debat yang dimunculkan pada bagian tertentu novel ini. Kang Abik
menyampaikan pemahaman tentang konsep “bangsa yang terpilih” dan “amalek”, serta konsep tentang agama
cinta, agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Penjelasan Kang Abik
tentang konsep “bangsa yang terpilih” dan “amalek”
dipaparkan melalui debat Fahri di School
of Divinity, The University of Edinburgh. Sedangkan penjelasan Kang Abik
tentang konsep agama cinta disampaikan melalui lika-liku debat di Oxford Union.
Perdebatan tentang konsep “bangsa yang
terpilih” dan “amalek” terjadi antara Fahri yang santun dengan tokoh Yahudi
yang kolot dan radikal (Baruch dan Rabi Benyamin Bokser). Bahwa
berdasarkan telaah teks-teks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, serta firman
Allah QS Al Baqarah ayat 47, 122, dan 124, Bani Israel memang dipilih oleh
Tuhan karena janji Tuhan kepada Abraham. Namun, jika diperhatikan lebih seksama
dengan teks-teks lain yang berkaitan, keutamaan yang diberikan kepada keturunan
Abraham (termasuk didalamnya adalah Bani Israel) ternyata tidak bersifat
mutlak, namun bersifat bersyarat dan terbatas. Kemudian, Bani Israil akhirnya
menjadi tidak beriman kepada Allah sehingga perjanjian tersebut tidak berlaku
lagi. Bani Israil tidak selamanya menjadi bangsa yang diistimewakan
Allah berdasar kajian sejarah. Berpuluh-puluh ribu Nabi dari kalangan Bani
Israil yang disebut dalam Al Qur’an, yang tidak disebutkan dalam Al Qur’an, dan
yang tidak disebut dalam kitab suci sebelum Al Qur’an, menjadi bukti
keistimewaan Bani Israil. Namun, ketika mereka berpaling dari Allah, maka Bani
Israil mendapatkan murka, laknat dan azab dari Allah, seperti yang tertera
dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru (Ulangan 9:12, Ulangan 31:27,
Bilangan 14:27, Matius 12:34, dan Yeremia 16:5). Beberapa peristiwa dan
sifat-sifat buruk Bani Israil yang digambarkan dalam kitab suci tersebut
merupakan bukti ketidaklayakan Bani Israil sebagai bangsa pilihan Tuhan.
Selanjutnya, Kang Abik juga menjelaskan melalui tokoh Fahri bahwa perintah
untuk memusnahkan “amalek” tidak
boleh dimaknai dan ditafsirkan secara harfiah, namun sebagai seruan untuk
menghilangkan perilaku jahat seperti “amalek”
di dunia. Konsep “amalek” yang
memandang bangsa lain di luar Yahudi harus dimusnahkan tidak bisa diterima
dengan logika sehat karena perbuatan menganiaya dan membunuh bangsa di luar
Yahudi bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara umum dan berlawanan
dengan perintah Tuhan untuk menyayangi sesama manusia.
Berdasarkan kajian filologi tentang
konsep agama Islam sebagai agama cinta yang menjadi rahmat bagi seluruh alam,
Kang Abik memberikan paparan hal tersebut melalui perdebatan dalam forum ilmiah oleh Fahri di Oxford Union dengan profesor pakar
sejarah gereja sejarah diaspora bangsa Yahudi, Thomas dan Mona Bravmann
(profesor pakar kajian timur), serta Alex Horten (profesor pakar sosiologi
agama dari King’s College London).
Dengan pembawaan yang tidak emosional, tokoh Fahri menjelaskan bahwa terdapat
perbedaan konsep dasar agama-agama di dunia. Konsep yang dimaksud terkait
dengan “penggambaran” dan nama Tuhan. Akan tetapi, juga terdapat persamaan
dalam beberapa konsep hubungan antar manusia. Syair Ibn Arabi juga ikut menjadi
bahasan tentang konsep agama cinta. Agama cinta yang Ibn Arabi maksud adalah
agama Islam, yang dijelaskan dalam Dzakhair
al-A’laq syarh Turjuman al-Asywaq dan Al
Futuhat al-Makiyyah.
“Hatiku menerima segala bentuk rupa, ia adalah
padang rumput bagi rusa, biara bagi rahib, kuil berhala, ka’bah tempat orang
thawaf, batu tulis untuk taurat, dan mushaf bagi Al Qur’an. Aku beragama dengan
agama cinta, yang selalu kuikut langkah-langkahnya, itulah agamaku dan
keimananku.”
Seorang
muslim yang taat dan memahami ajaran Islam dengan benar, menghayati dengan
sungguh-sungguh, dan mengamalkan secara konsekuen akan menjadi pribadi yang
tulus penuh kasih sayang, kuat memegang ajaran agamanya dan toleran terhadap
yang lain. Sebagai contoh adalah kisah Umar bin Khattab ketika mengadakan
perjanjian dengan Uskup Sophronius di Yerusalem, kisah Imam Abdullah bin
Mubarak al-Hanzhali al-Marwazi yang membantu tetangga yang beragama Yahudi, dan
beberapa kejadian yang terjadi di Indonesia (toleransi Sunan Kudus dengan
penyembelihan kerbau untuk menghormati umat Hindu yang menghormati sapi dan cerita
tentang kewelas-asihan para ulama terhadap anak-anak PKI yang orang tua PKInya
telah membunuh dan menganiaya para santri dan ulama). Sejarah juga telah
mencatat bahwa jika sistem yang meniadakan agama dan Tuhan dianut oleh manusia,
maka hal yang akan terjadi adalah hal mengerikan seperti tragedi kemanusiaan ketika Raja Namrud berkuasa. Dengan dasar atheis yang tidak mempercayai adanya
Tuhan, hukum rimba digunakan oleh raja dzalim tersebut sehingga terjadi
perbudakan dan pembunuhan. Begitu pula dengan paham-paham atheis-komunis lain
seperti Lenin dan Stalin di Rusia, Mao-Zhedong di China, Pol Pot di Kamboja,
dan paham komunis atheis lain di Eropa Timur, Amerika Latin, Afghanistan, dan
berbagai negara Afrika. Sebaliknya, berbagai perang yang bermotif agama jika
diteliti lebih lanjut, sebenarnya memiliki faktor yang bukan murni agama.
Sebagai contoh adalah penyebab awal terjadinya peristiwa pembantaian
orang-orang Yahudi di Jerman yang dilakukan oleh Nazi. Cikal bakal peristiwa
tersebut adalah ajaran atheis yang dipropagandakan oleh ilmuwan dan aktivis
atheis. Ajaran atheis yang dimaksud adalah teori evolusi Charles Darwin yang
menjadi inspirasi Hitler untuk memusnahkan bangsa di luar ras Arya. Maka,
berbagai akibat dari penerapan ajaran komunis atheis terdahulu tersebut
hendaklah menjadi pengingat agar ajaran tersebut tidak diterapkan kembali
sehingga tidak tercipta hukum rimba yang tidak memiliki tatanan dan menjadi
sumber kerusakan. Apalagi di tengah tantangan zaman yang penuh dengan godaan untuk
menjauhkan konsep ketuhanan dalam kehidupan manusia. Menilik hal tersebut,
Francis Bacon menulis,
“Tahu sedikit filsafat cenderung
membawa pikiran manusia kepada atheisme, namun pemahaman yang dalam tentang
filsafat mengantarkan pikiran manusia berpikir tentang Allah.”
Kisah
Fahri sebagai peneliti tamu yang kemudian menjadi dosen filologi dalam kajian
Islam kontemporer meliuk-liuk, terutama ketika harus menghadapi mahasiswa dan
sesama kolega yang hakikatnya merupakan tantangan dakwah Fahri sebagai seorang
muslim di negara yang minoritas muslim. Selain itu, cerita lika-liku Fahri
menjalankan bisnisnya yang sedang berkembang, yang terdiri dari butik,
restoran, dan minimarket juga tidak kalah menarik. Berbagai strategi bisnis
terbaik dilakukan untuk menjalankan usahanya yang juga bekerja sama dengan
keluarga. Dasar bisnis yang digunakan Fahri selalu sesuai dengan tuntunan Islam
demi mendapatkan keberkahan. Konflik dalam lingkup sekitar rumah tempat Fahri
tinggal juga menarik untuk diikuti. Apalagi masa ketika Keira, seorang gadis
tetangga Fahri yang angkuh dan benci dengan Islam kemudian dibantu oleh Fahri
mewujudkan mimpinya, begitu pula dengan Jason (adiknya) dan nenek Catarina,
serta Brenda.
Novel Ayat-Ayat Cinta 2 karya Kang Abik
ini merupakan karya fiksi yang sudah laris di pasaran para pecinta buku novel
fiksi. Novel cetakan ketujuh bulan Desember 2015 seharga Rp. 95.000,- ini terdiri dari 698 halaman
utama ditambah 6 halaman awal pendahuluan yang memuat identitas novel. Penerbit
Republika yang telah menjadi bagian dari kesuksesan novel-novel Kang Abik
sebelumnya seperti Ayat-Ayat Cinta (2004), Pudarnya Pesona Cleopatra (2005),
Ketika Cinta Bertasbih (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007), Dalam Mihrab
Cinta (2007), dan Api Tauhid (2014) ikut kembali menjadi bagian dalam penerbitan
karya Kang Abik yang satu ini. Selain novel-novel yang diterbitkan oleh
Republika tersebut, karya sastra fiksi lain yang tidak diterbitkan Republika
dan dikarang oleh Kang Abik seperti Ketika Cinta Berbuah Surga, Bumi Cinta, dan
Cinta Suci Zahrana juga ikut menjadi bukti eksistensi dan produktivitas Kang
Abik di dunia kesusastraan Indonesia, disamping juga beberapa karya terjemahan
yang sudah beliau tulis. Atas Izin Allah.
Ayat-Ayat
Cinta 2 merupakan kelanjutan cerita kehidupan rumah tangga Fahri di salah satu
sudut belahan dunia yang memiliki keberagaman ras dan agama. Bagian yang paling
membuat penulis bertanya-tanya dan penasaran hingga akhir cerita adalah
bagaimana nasib Aisha (istri Fahri) yang tidak jelas kabar beritanya sehingga menghilang
tanpa jejak dalam kurun waktu tertentu ketika mengadakan perjalanan dengan
temannya (Alicia) menuju Palestina. Alicia ditemukan telah menjadi mayat di
pinggir daerah Hebron Israel dengan kondisi yang mengenaskan. Hal tersebut
membuat Fahri mengalami gundah berkepanjangan meskipun berbagai usaha telah
dilakukan oleh Fahri dan keluarga sebagai ikhtiar untuk menemukan Aisha.
Meskipun Fahri kemudian memutuskan untuk menikah dengan Hulya (sepupu Aisha),
namun Kang Abik sebagai pemilik cerita memiliki cara sendiri untuk tetap
menghadirkan jiwa Aisha dalam novel tersebut. Hingga kemudian di akhir cerita,
Kang Abik mengungkapkan identitas karakter Aisha yang sebenarnya melalui
kematian Hulya.
Ada beberapa nama tokoh di Ayat-Ayat
Cinta seri sebelumnya yang muncul kembali di novel Ayat-Ayat Cinta 2 selain
Fahri sebagai tokoh utama dan Aisha. Juga, terdapat pula kemunculan karakter
baru lain dalam berbagai lingkaran pergaulan Fahri. Adalah Syaikh Usman dan
Eqbal Hakan Erbakan. Di seri sebelumnya, perkenalan Fahri dan Aisha
dimoderatori oleh Syaikh Usman (guru Fahri). Paman Eqbal adalah paman Aisha
yang ikut menjodohkan Fahri dengan Aisha di Ayat-Ayat Cinta seri sebelumnya.
Beberapa nama lama lain seperti Misbah (teman serumah Fahri di Hadayek Helwan
Kairo) dan Nurul Azkia (mahasiswi Al Azhar University Cairo yang pernah jatuh
cinta kepada Fahri) ikut meramaikan lagi cerita fiksi ini. Nurul muncul lagi di
Ayat-Ayat Cinta 2 meski hanya sedikit bagian dirinya yang diceritakan. Beberapa
karakter tokoh baru lain di novel Ayat-Ayat Cinta 2 dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa lingkaran, yaitu di dalam rumah Fahri, di dalam keluarga besar
Fahri dan Aisha, di sekitar rumah Fahri (tetangga Fahri), tempat usaha atau
bisnis yang dimiliki Fahri, tempat Fahri beraktivitas di kampus dan di sekitar
kampus, dan tempat Fahri menjalankan aktivitas dakwahnya di United Kingdom.
Secara
keseluruhan, alur yang digunakan untuk penulisan novel ini adalah alur maju,
dengan sedikit bagian atau bab cerita yang menggunakan alur mundur. Penggunaan
alur maju dengan disertai beberapa bagian yang menggunakan alur mundur ini
dapat meningkatkan rasa penasaran pembaca untuk mencari jawaban di setiap
teka-teki cerita yang lihai dimunculkan namun kemudian berhasil disembunyikan
oleh Kang Abik. Ramuan cerita Kang Abik dalam Ayat-Ayat Cinta 2 yang menggunakan
alur cerita yang maju dan mundur ini membuat “masakan” yang dihasilkan sangat
sedap. Kesedapan cerita yang muncul semakin menarik pembaca, lagi dan lagi
mempertahankan rasa penasaran yang timbul ketika menyentuh dan berkonsentrasi
membaca kata demi kata dan halaman demi halaman hingga akhir cerita. Bagian
alur mundur yang mengejutkan terdapat di bagian akhir cerita, yang kemudian
menceritakan secara jelas tentang peristiwa yang menimpa Aisha sehingga
mengakibatkan identitas Aisha yang sebenarnya terkuak. Selain itu, dibumbui
dengan pemahaman makna yang mendalam dan komprehensif tentang problematika umat
Islam yang sedang terjadi saat ini, membuat novel ini semakin layak diacungi
jempol.
Sebagai
seorang manusia, ujian yang dialami Fahri merupakan ujian yang berasal dari
orang-orang di sekitarnya terkait anggapan sebagian besar orang yang
dihadapinya terhadap umat Islam. Karakter Fahri berhasil melewati ujian dengan
bersabar dan kepemilikan fikiran yang jernih untuk menghadapi anggapan tidak
tepat dari orang di luar muslim yang menuduh muslim seperti Fahri. Ujian Fahri
lainnya adalah ujian ketika Fahri kehilangan orang yang disayanginya, yaitu
Aisha. Fahri menghadapi ujian tersebut dengan berbagai usaha yang dilakukan
sebagai ikhtiar dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Firman Allah QS
Al-‘Ankabut 2-3,
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan, “kami telah beriman”,
sedang mereka tidak diuji lagi? (2). Dan sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta (3).
Begitu juga dengan
firman Allah pada QS Al Baqarah ayat 155,
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar.”
Seperti
Maryam binti ‘Imran, manusia pilihan Allah yang taat beribadah, menjaga
kebersihan diri secara lahir batin dan suci dalam pikiran, hati dan perbuatan
diuji oleh Allah dengan diberi bayi tanpa ada pria yang menyentuhnya. Seseorang
akan diuji oleh Allah dengan karunia terkait hal yang paling dijunjung tinggi
oleh jiwanya[2].
Orang yang beriman kepada Allah akan dibimbing dan diberi petunjuk oleh Allah
untuk dapat menghadapi ujian dan atau musibah dari Allah karena segala yang
menimpa manusia (khususnya musibah) terjadi atas izin Allah (QS At-Taghobun
11).
Akan tetapi, dibalik segala sifat dan
sikap Fahri sebagai tokoh utama yang dideskripsikan baik secara tersirat maupun
secara tersurat dalam novel tersebut, ada sedikit ganjalan yang dapat diamati
dalam karakter tersebut. Fahri yang tanpa cela, hampir tidak pernah melakukan
kesalahan. Padahal manusia adalah tempat lupa dan salah. Selain sifat dan sikap
Fahri, cerita yang dibuat oleh Kang Abik juga kurang sesuai dengan cerita non
fiksi atau cerita hidup yang sebenarnya pada umumnya manusia. Manusia akan
selalu diberi ujian oleh Allah di sepanjang waktu hidupnya sampai nyawanya
diambil kembali oleh Allah, dan ujian yang diberi Allah akan selalu berganti
jika manusia telah melewati tahapan ujian tertentu. Hal ini dapat dimaklumi
karena cerita yang dibuat oleh Kang Abik adalah cerita fiksi dan hanya merupakan
bagian dari serangkaian cerita dari seorang dan beberapa orang manusia. Kehidupan
Fahri digambarkan sebagai sosok manusia yang minim ujian dari Allah.
Kisah seorang Fahri yang terlalu sempurna dalam menjalani hidup masih kurang
“greget” dan kurang berwarna, serta cenderung datar dengan posisi dan jabatan
tinggi yang sudah berhasil dicapainya. Padahal semakin tinggi pohon bertumbuh,
maka akan semakin kencang angin yang menerpanya. Dan, jika mengingat dari jalan
hidup yang dipilih oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat nabi setelah
mendapatkan petunjuk dari Allah terkait kezuhudan,
kesederhanaan dan cara hidup, maka cara tokoh Fahri dalam berperilaku
sehari-hari dan menghadapi tantangan hidup kurang sesuai dengan pilihan yang
diambil oleh Nabi dan sahabat Nabi. Dalam menjalankan aktivitas dan tantangan
dakwah di negeri minoritas muslim, tokoh Fahri berusaha total dengan harta
maupun pikiran, serta waktu, membantu sesama muslim maupun non muslim. Namun,
hal tersebut tidak diimbangi dengan penampilan sehari-hari. Kehidupan dan
keseharian Fahri menimbulkan kesan “agak mewah”. Gaya hidup Fahri sehari-hari
sebenarnya masih bisa dikatakan sederhana jika dibandingkan dengan gaya hidup
akademisi atau kolega Fahri di kampus maupun di sekitar tempat tinggalnya. Akan
tetapi, jika dibandingkan dengan gaya hidup Rasulullah SAW dan para sahabat
nabi terdahulu setelah mengenal Islam, maka gaya hidup Fahri terbilang memiliki
tingkatan kezuhudan yang berbeda
dengan Rasulullah dan sahabat Nabi. Hal-hal tersebut dapat dimaklumi mengingat
novel ini adalah novel fiktif yang karakter tokoh dan jalan ceritanya bisa
dibuat sedemikian rupa oleh Kang Abik mengingat perbedaan kondisi geografis dan
perkembangan zaman yang ada.
Terlepas dari bahasan tentang novel ini
di atas, ada banyak pesan moral penting yang disampaikan Kang Abik. Banyak
pesan moral yang disampaikan Kang Abik melalui pesan tersirat maupun tersirat,
sehingga membuat novel ini sarat makna. Makna-makna yang disampaikan Kang Abik
berupa pesan baik yang berhubungan dengan hubungan sesama manusia (dalam
lingkup sesama muslim dan di luar muslim) maupun hubungan manusia dengan Tuhan.
Pesan moral tersebut menyangkut bagaimana seharusnya manusia, khususnya seorang
muslim menjaga hubungan vertikal dengan Allah, yang dapat berdampak terhadap
hubungan horizontal dengan sesama manusia.
Kang Abik berpesan dalam konteks
hubungan dengan sesama manusia, bahwa prasangka buruk atau su’udzon terhadap sesama muslim maupun terhadap orang di luar
muslim tidak diperkenankan. Dalam bergaul dengan sesama manusia, tindakan yang
diambil setiap muslim harus berdasar pada fakta-fakta riil, bukan emosi tanpa
dalil dan gosip. Juga, perlakuan seseorang yang tidak sesuai dengan keinginan
kita, tidak boleh dibalas dengan perlakuan yang menyakitkan. Sebagai muslim,
perlakuan yang menyakitkan dari orang lain harus dibalas dengan kasih sayang
seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika kepala beliau disiram tanah oleh
seorang pandir Quraisy. Akhlak ini memberi pesan kepada kita semua bahwa kita harus
menolak kejahatan dengan kebaikan. Bahkan kebaikan yang dilakukan oleh tokoh
Fahri tidak diketahui oleh Keira dan Jason, kedua orang yang menghina dan
mencaci maki Fahri, yang kemudian dibalas dengan dibantu oleh Fahri untuk
menggapai cita-cita mereka berdua. Kemudian di sisi lain, dalam berbisnis,
Fahri menerapkan konsep ekonomi Islam yang mengedepankan kehalalan materi yang
digunakan dalam berbisnis dan segala metode yang mengutamakan pengamalan
nilai-nilai Islam seperti kejujuran, kepercayaan, ketepatan bertindak, dan
profesionalitas. Konsep berbisnis yang berorientasi akhir pada keselamatan
dunia maupun di akhirat. Selain itu, dengan pegawai yang juga berasal dari
kalangan di luar muslim, implementasi konsep rahmat bagi seluruh alam dalam
Islam semakin jelas. Bahwa Islam juga tetap tidak memandang sebelah mata
kalangan di luar muslim, sebagai wujud perlindungan hak-hak mereka sebagai
sesama manusia. Selain itu, tokoh Fahri juga merupakan simbol pemimpin yang open-minded, yang mau menerima saran dan
nasihat dari orang lain, meski berasal dari kalangan di luar muslim dalam
kehidupan bisnisnya. Pada lingkaran di dalam rumah Fahri di Stoneyhill Grove,
tokoh Fahri menyiratkan pesan moral bahwa seorang muslim harus bertingkah laku
baik kepada sesama meskipun memiliki posisi yang secara status sosial lebih
rendah. Seorang muslim harus memperlakukan sesama dengan tanpa membeda-bedakan
status, apalagi status dunia. Hal ini dikarenakan status setiap muslim di
hadapan Allah bergantung pada ketaqwaan makhluk tersebut, bukan berdasar pada
status sosial di dunia. Selain hal tersebut, seorang muslim juga harus cerdas
dan memiliki emosi yang matang, dan mau melihat suatu permasalahan dengan
kajian dari berbagai aspek, dengan pedoman utama Al Qur’an dan Hadits. Juga,
seorang muslim harus memiliki keshalihan secara sosial, yang tampak dalam
kehidupan sehari-hari untuk berlaku adil, baik, dan bisa bermanfaat untuk
lingkungan sekitar dengan segala apa yang diberikan dari Allah. Segala yang
diberikan Allah menyangkut harta, kelonggaran waktu, dan kesediaan hati untuk
selalu membantu sesama, mendengarkan meskipun berbeda agama dan ras. Karakter
yang suka berderma (filantropis) sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT juga seharusnya dimiliki dalam jiwa setiap
muslim demi keberlangsungan agama Islam dimanapun berada, yang dapat diberikan
melalui bidang pendidikan maupun dalam hal yang berkaitan dengan aspek sosial
lain.
Pesan moral tersebut, sebagian besar
tersirat dalam karakter dan perilaku sehari-hari tokoh utama Fahri. Perilaku
Fahri sehari-hari dimulai dari bangun tidur dan hingga akan tidur lagi yang
digambarkan oleh Kang Abik merupakan perilaku ideal dan impian setiap muslim.
Perilaku seorang muslim yang visioner, yang selalu berdasar pada pemahaman yang
mendalam terhadap dua pedoman utama umat Islam, yaitu Qur’an dan Hadist. Contoh
perilaku tersebut adalah selalu istiqomah mengingat Allah dalam segala situasi,
memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien, tidak mudah menghakimi manusia
lain, suka berderma kepada siapapun, lemah lembut, penyabar, dan penyayang.
Sebagai seorang akademisi (filolog), Fahri dapat dikatakan sebagai seorang yang
cerdas dalam mengupas suatu problematika umat kontemporer. Fahri berhasil
menyajikan perilaku konkret dan analisis yang logis sebagai bantahan terhadap
anggapan sepihak masyarakat di luar Islam terhadap Islam. Anggapan sepihak yang
dimaksud adalah tentang Islam yang menyeramkan dan menakutkan karena deskripsi
yang diberikan oleh media massa melalui berita yang masih perlu dikaji
kebenarannya lagi. Cahaya Islam hanya sedang tertutupi oleh umat Islam.
Disamping itu, dalam tataran hubungan
vertikal antara manusia dengan Tuhan, seorang muslim harus bisa mengingat Allah
dalam keadaan apapun, baik ketika duduk, berdiri maupun berbaring. Pengingatan
terhadap Allah dapat ditunjukkan dengan selalu berdzikir, memuji asma Allah
dimanapun berada dan dalam kondisi apapun. Hal yang harus diyakini oleh seorang
muslim adalah bahwa semua peristiwa yang menimpa manusia selalu terjadi atas
izin Allah. Pesan lain yang tersirat dalam novel ini adalah ke”legawa”an atau keikhlasan hati menerima
takdir yang harus dimiliki oleh muslim jika apa yang terjadi tidak sesuai
harapan (karena merupakan takdir Allah). Seorang muslim juga harus produktif.
Produktif dengan jalan harus bisa memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien
sehingga menjadi cikal bakal peran muslim sebagai rahmatan lil ‘alamin di bumi. Waktu 24 jam sehari yang diberikan
dari Allah harus bisa dibagi, antara beribadah kepada Allah dan bermuamalah
dengan manusia. Karena keseimbangan dunia akhirat adalah target seorang muslim ketika
hidup di dunia. Hidup di dunia harus dijadikan bekal untuk mempersiapkan diri
menghadapi kehidupan akhirat. Seorang muslim juga harus menyerahkan semua
urusan kepada Yang Diatas jika semua yang terjadi dan diharapkan tidak sesuai
keinginan. Penyerahan diri total kepada Allah agar semua keputusan dan jalan
yang diambil selalu berada di dalam koridor-Nya dan diridhoi-Nya.
Seperti dikutip dalam komentar tentang
novel ini dari Muhammad Elvandi (pakar kebijakan publik, alumnus Al Azhar University Mesir dan The University of Manchester Inggris) di
bagian awal halaman Ayat-Ayat Cinta 2, benar bahwa novel ini ditulis oleh novelis yang visioner. Novel bervisi besar
dengan cita-cita yang berdasarkan pada dua pedoman utama umat Islam, yaitu Al
Qur’an dan Hadits. Novel dengan identitas bahasa sastra yang mumpuni, mudah dipahami dan isi yang penuh visi misi besar, sehingga merupakan karya roman yang berbobot. Begitulah kekhasan Kang Abik dalam meramu cerita Ayat-Ayat Cinta 2 ini. Kang Abik berhasil menyajikan bidang ilmu yang beliau pahami
dalam karya sastra fiktif yang santun dan enak dibaca. Bidang ilmu yang
menghubungkan peristiwa di masa lalu untuk dipetik hikmah dan kebenarannya di masa kini. Apabila dibandingkan dengan novel-novel Kang Abik sebelumnya, tema cerita yang diangkat oleh Kang Abik kurang lebih sama. Ayat-Ayat Cinta 2 berbeda dalam hal setting tempat sehingga tantangan dakwah dan rentetan konflik yang dialami juga berbeda. Secara keseluruhan, penulis merekomendasikan novel ini
untuk dibaca berbagai kalangan masyarakat karena figur yang ditampilkan tidak
hanya mengandung cita-cita yang membumi, namun juga melangit.
Referensi
Abdullah, A. 1996. Studi Agama; Normativitas
atau
Historisitas.
Yogyakarta; PustakaPelajar
Fillah,
S.A. 2014. Lapis-Lapis Keberkahan.
Yogyakarta : Pro-U Media
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Filologi.
Diakses tanggal 21 Februari 2016
Lubis,
Nabilah. 2001. Naskah, Teks dan Metode
Penelitian Filologi. Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia.
zukrasmpu.blogspot.com/2013/02/filologi-dalam-kajian-islam.html.
Diakses tanggal 21 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar