Senin, 29 Februari 2016

Sekatenan, Dulu dan Sekarang




Sejarah, merupakan satu  kata yang menjadi momok bagi saya dulu sekitar 10 tahun yang lalu ketika saya masih berada di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Bagaimana tidak? Kala itu, saya berjuang dengan sepenuh tenaga dan pikiran untuk menghafal berbagai detail tentang peristiwa masa lampau, nama-nama tokoh dan tahun peristiwa tertentu terjadi di masa lalu. Sebagai orang introvert yang sangat tidak menyukai detail, saya sangat terganggu dengan keinginan guru sejarah saya waktu itu. Ya. Saya mengalami kesulitan belajar sejarah saat itu.
Maka, lambat laun saya mulai menghindari bidang ilmu itu. Beberapa tahun setelahnya saya pergi dari bahasan tentang sejarah. Mencoba menutup mata dan telinga, serta pikiran tentang segala hal berbau sejarah. Karena bagi saya, ilmu itu sangat mengekang jiwa karena telah terjadi di masa lampau, ketika bahkan saya belum lahir dan tidak menjadi bagian di dalamnya, sehingga saya merasa diberi beban untuk memanggulnya. Pergilah diri saya dari ilmu sejarah. Hingga suatu hari.
Saya diberi tugas untuk mempelajari tentang semangat nasionalisme untuk Indonesia pada suatu seminar menulis. Saya terpaksa saat itu menyisakan sedikit ruang membaca saya untuk cerita tentang peristiwa masa lalu di Indonesia, terutama ketika zaman perjuangan para pahlawan membela negeri indah gemah ripah loh jinawi ini. Namun kemudian, saya menemukan angin sejuk yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Entahlah, saya mulai mencintai sejarah. Entah darimana sejarah itu ditulis. Entah ada kepentingan apa dibalik penullisan sejarah tersebut. Entah sejarah yang ditulis itu merupakan suatu kebenaran atau gosip yang penuh bumbu penyedap. Namun demikian, setiap jengkal peristiwa yang saya baca saat itu seperti menyiratkan pesan yang mendalam. Meski tetap saja, sebagai seorang yang memiliki kecenderungan kepribadian introvert, saya mengalami kesulitan dalam menghafal detail setiap komponen yang terdapat dalam cerita masa lampau tersebut. Kecintaan saya terhadap sejarah adalah karena saya mendapatkan sedikit peringatan melalui apa yang saya baca. Saya seperti mendapatkan guru masa kini yang berasal dari masa lalu, serta menjadi saksi bisu tentang peristiwa masa lalu. Untuk kemudian saya petik esensi dari peristiwa yang sudah terjadi. Sehingga sebagai pribadi khususnya, saya berharap dapat meniru tokoh-tokoh perjuangan bangsa Indonesia di masa lalu untuk hal yang lebih baik di masa depan. Rasulullah SAW bersabda,
 “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi)
Berkaitan dengan hal di atas, para ahli telah membuat pengertian tentang sejarah. Salah satu pengertian yang terkenal ditulis oleh Roeslan Abdulgani. Menurutnya,
“ilmu sejarah adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan pada masa lampau beserta kejadian-kejadian dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitiannya tersebut, untuk selanjutnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses masa depan.”
Betapa panjang definisi ini jika saya harus menghafalnya. Maka, saya biasa menyingkatnya dengan ilmu tentang berbagai kajian peristiwa di masa lalu untuk kemudian dapat kita ambil pelajaran dan hikmahnya untuk kehidupan sekarang dan di masa yang akan datang.
Ketika saya diberi kesempatan oleh Allah Yang Maha Pemberi Takdir untuk tinggal sementara waktu di Yogyakarta, saya merasa kota yang pernah menjadi ibukota negara Indonesia pada kurun waktu antara tanggal 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949 adalah kota yang sarat dengan makna. Makna-makna yang saya maksud adalah makna kehidupan masa lampau yang tetap diuri-uri[1] sampai abad 21 sekarang ini. Jika dilihat dari pemimpin Ngayogyakarta, melalui Sri Sultan Hamengku Buwono IX lah persoalan politik bangsa pada saat roda pemerintahan RI macet total saat itu dikoordinasikan kembali[2]. Hal ini mengingat Sri Sultan HB IX merupakan aktor intelektualis yang memiliki multi status, selain sebagai raja juga sebagai kepala daerah dan menteri pertahanan. Maka dari itu, makna pemimpin dengan dasar kepribadian yang mengutamakan kejujuran dan kesederhanaan demi kemanunggalan antara Sultan dan kawula (rakyatnya) patut diteladani, dan masih relevan hingga saat ini. Juga, apabila dilihat dari rakyat yang mendiami Yogyakarta, bagi saya, Yogya adalah cerminan kemewahan dalam kesederhanaan hidup. Masyarakat Yogya adalah masyarakat yang pluralis karena terdiri dari beberapa agama dan ras, namun tetap humanis. Kemewahan yang saya maksud disini adalah bagaimana masyarakat Yogya memandang kehidupan dari berbagai aspek, yang dengan pandangannya tersebut, mereka tetap bersahaja dalam meniti hidup. Masyarakat Yogya tidak hanya melihat segala sesuatu dari satu sisi seperti materi, namun juga dari sisi spiritual yang lain.
Salah satu makna peristiwa masa lalu yang masih dilestarikan di Daerah Istimewa Yogyakarta sampai sekarang adalah peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap tanggal 12 Rabiul Awal. Peringatan Maulud Nabi di Yogyakarta diselenggarakan dalam serangkaian acara yang dinamakan sekatenan. Konon, dua keraton “anak” Kerajaan Mataram yakni Ngayogyakarto Hadiningrat (Yogyakarta) dan Surakarta Hadiningrat (Solo), terdapat sejumlah kesamaan dan perbedaan dalam upacara di dua keraton tersebut. Versi sejarah masing-masing menuliskan bahwa tradisi sekaten tersebut dimulai pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16), dan merupakan sebentuk upaya dakwah yang dilakukan para Wali melalui pendekatan seni budaya.
Gamelan menjadi unsur penting dalam upacara adat sekatenan di kedua keraton. Terdapat perbedaan waktu dimulainya prosesi gamelan pada kedua keraton tersebut. Di keraton Yogyakarta, prosesi dimulai pada tanggal 6 Rabiul Awal (Maulud), sementara di keraton Surakarta sehari lebih awal, yakni 5 Rabiul Awal (Maulud). Selain itu, perbedaan lain yang ada adalah pada nama perangkat gamelan yang digunakan di dua keraton tersebut. Di keraton Yogyakarta, gamelan Sekaten terdiri dari dua perangkat, yakni gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Di keraton Surakarta, dua perangkat gamelan yang menjadi bagian dalam ritual Sekaten bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. 
Berdasarkan kajian sejarah tentang asal-usul tradisi sekaten, upacara adat yang dinamai dari asal kata yang sarat makna seperti syahadatain, sahutain, sakhatain, sakhotain, sekati, dan sekat ini sudah dijadikan tradisi yang berlangsung setiap tahun di Yogyakarta dan Surakarta. Beberapa asal nama ini memiliki makna yang masih sesuai jika diterapkan saat ini. Hal tersebut berhubungan dengan sejarah diadakannya upacara keagamaan di dua keraton tersebut. Syahadatain merupakan kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang memiliki arti Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat ini merupakan kalimat akad antara manusia dengan Allah yang menunjukkan ketundukan sepenuhnya manusia kepada Allah, Yang Maha Memiliki Kehidupan. Bahwa manusia adalah makhluk lemah yang selalu berada dalam kuasa Allah dalam segala urusannya di dunia. Serta sebagai bentuk pengikraran bahwa manusia akan selalu menggunakan dua pedoman umat Islam dalam menjalani kehidupan, yakni Al Qur’an yang merupakan Kalam Allah dan Hadits yang merujuk kepada segala tingkah laku, ucapan serta perbuatan Rasulullah SAW. Kata sahutain yang juga menjadi rujukan asal muasal nama tradisi Sekaten bermakna menghentikan atau menghindari dua perkara, yakni sifat lacur dan menyeleweng. Makna ini menyiratkan pesan kepada kita bahwa dengan diadakan upacara keagamaan tersebut, maka diharapkan akan mampu terhindar dari sifat yang melenceng dan pembelok karena penggunaan dua pedoman yang digunakan oleh umat Islam, sehingga berperan dalam penyempurnaan akhlak manusia. Selanjutnya, tujuan agar watak kehewanan dan sifat syetan bisa hilang tersurat dalam asal kata sakhatain. Hal ini dikarenakan kedua watak tersebut merupakan watak yang merupakan sumber kerusakan. Tujuan ini juga bermuara pada penyempurnaan akhlak manusia. Selanjutnya, penggunaan kata sakhotain, lebih merupakan ajakan untuk menanamkan perkara yang selalu memelihara budi suci atau budi luhur, serta selalu menghambakan diri kepada Tuhan. Ajakan kepada manusia sebagai manusia yang hidup, yang harus selalu menimbang atau menilai hal-hal baik maupun buruk tersurat dalam kata sekati. Dan kata yang terakhir, sekat, yang berarti batas. Kata ini bermakna bahwa orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan di dunia.
Dari sumber sejarah yang ada, upacara adat keagamaan ini dimulai ketika dakwah Islam di kerajaan Demak pada masa pemerintahan Raden Patah belum menunjukkan peningkatan pengikut yang signifikan meskipun telah dibangun Masjid Agung sebagai tempat ibadah dan para Wali Songo telah giat berdakwah. Sebagian besar rakyat terutama yang berdomisili di desa masih enggan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai pernyataan memeluk agama Islam, begitu pula dengan jumlah santri yang masih sedikit. Menyikapi hal tersebut, para Wali Songo kemudian bermusyawarah dan menghasilkan kesamaan misi bahwa dakwah Islam harus dilakukan secara bertahap dan penuh kearifan. Implementasi sikap tersebut ditunjukkan dengan sikap yang sopan-santun, ramah tamah, dan dakwah yang tanpa celaan kepada adat serta unsur-unsur kebudayaan rakyat, bahkan memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan rakyat itu sendiri sebagai sarana dakwah. Unsur-unsur kebudayaan rakyat yang dimaksud dapat berupa bahasa, adat-istiadat maupun kesenian rakyat.
Sebagai seorang Sunan yang mengetahui kebutuhan rakyat, Sunan Kalijogo memahami bahwa rakyat menyukai perayaan berwujud keramaian yang dihubungkan dengan upacara-upacara keagamaan, apalagi jika perayaan tersebut disertai dengan irama gamelan. Maka dari itu, timbul gagasan Sunan Kalijogo agar kerajaan menyelenggarakan perayaan berwujud keramaian setiap menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awal. Gamelan yang ditempatkan di halaman masjid kemudian dibunyikan untuk menarik perhatian rakyat agar mau masuk ke Masjid Besar.
Demi kelancaran syiar Islam, gagasan Sunan Kalijogo diterima majelis Wali Songo meskipun bebunyian gamelan di halaman masjid ditafsirkan sebagai hal yang makruh. Raden Patah kemudian menyetujui pelaksanaan gagasan Sunan Kalijogo sehingga pada bulan Rabiul Awal, seminggu sebelum hari kelahiran Nabi, diselenggarakan perayaan keramaian yang disebut sekaten. Di halaman Masjid Besar didirikan tempat khusus untuk meletakkan dan membunyikan gamelan, yang disebut pagongan. Pagongan bermakna tempat gong (gamelan) yang dibuat oleh Sunan Giri. Sebagian dari gendhing-gendhing (lagu) gamelan diciptakan oleh Sunan Giri pula dan sebagian lagi oleh Sunan Kalijogo. Gamelan diperdengarkan secara terus-menerus selama satu minggu, kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada malam Jumat sampai lewat sholat Jumat.
Pada malam menjelang hari kelahiran Nabi yang bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal, Sultan berkenan mengikuti upacara keagamaan di Masjid Besar untuk lebih menarik simpati rakyat. Kemudian, Sultan keluar dari keraton diiring para putra dan segenap pembesar kerajaan. Selepas sholat Isya, Sultan dan para pengiringnya duduk di serambi masjid untuk mendengarkan riwayat hidup nabi yang diuraikan oleh para wali disusul dengan selawatan. Sultan dan para pengiringnya kembali ke keraton baru pada tengah malam. Gamelan yang selama seminggu diletakkan dan dibunyikan di halaman Masjid Besar, juga dibawa ke keraton sebagai tanda berakhirnya perayaan, keramaian sekaten dan upacara peringatan hari kelahiran nabi.
Nilai-nilai yang ada sebagai dasar dalam pelaksanaan upacara adat sekaten tersebut patut untuk ditilik lagi di zaman sekarang. Sekarang ini, banyak masyarakat cenderung lebih memilih figur tertentu untuk dijadikan panutan berkehidupan. Padahal, agama Islam mengajarkan bahwa sumber utama sebagai pedoman berkehidupan bagi umat adalah Qur’an dan Hadits. Kemudian, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat pada zaman sekarang dititikberatkan pada tren yang sedang berkembang di masyarakat. Hal inilah yang membuat masyarakat zaman sekarang mengalami pergeseran nilai dalam bergaul dan bertingkah laku. Banyak pemuda-pemudi zaman sekarang berkiblat pada budaya barat dan budaya negara lain yang mengakibatkan munculnya tatanan masyarakat yang semrawut, cenderung susah diatur dan amburadul, sehingga tidak sesuai pada porsi dan tempatnya masing-masing. Hal ini membuat pemuda sekarang, sudah tidak sama lagi dengan pemuda tahun 45 an dulu. Nilai-nilai baik yang harus dipertahankan sampai sekarang menjadi barang mahal yang kemudian ditinggalkan oleh para pemuda. Pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam makna “sekaten” menjadi luntur sekarang karena pergeseran nilai budaya yang masuk ke Indonesia. Batasan dan aturan main berkehidupan yang terkandung dalam nilai-nilai acara “sekaten” telah hilang ditelan “perkembangan” zaman.
Maka, dari hal ini kita melihat bahwa nilai-nilai dalam sekaten harus dikembalikan seperti ketika sejarah tradisi tersebut dibentuk. Akhlak yang baik sesuai tuntutan Qur’an dan Hadits (khusus Muslim) harus diwujudkan sehingga mampu membedakan perkara yang baik dan batil. Perwujudan kondisi masyarakat yang sesuai dengan tatanan namun memiliki batasan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada Allah Yang Maha Memiliki Kehidupan. Maka, semoga nilai dari sekaten tidak hanya melulu pada keuntungan yang didapat oleh para pemilik wahana permainan dan para pedagang yang menjajakan dagangannya di alun-alun, namun dimaknai lebih dari materi semata. Sama seperti bagaimana ketika saya memandang bahwa masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat yang memiliki kemewahan dalam balutan kesederhanaan dan kebersahajaan. Semoga sejarah sekaten di masa lalu tersebut tidak hanya menjadi coretan hitam di atas kertas putih yang diletakkan di etalase museum, namun juga dimaknai masyarakat Yogyakarta pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya hingga ke relung jiwa yang paling dalam.


[1] Dilestarikan
[2] Orasi Prof Dr Suhartono Wiryopranoto di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM pada 29 Desember 2007

Referensi
Anonim. 2014. Islam dalam Tradisi Dua Keraton Mataram. http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1137/sekaten. Diakses tanggal 29 Februari 2016.
Isnaeni, M. 2012. Asal Mula Sekaten. http://rizki-nisa.blogspot.co.id/2013/06/asal-mula-sekaten.html. Diakses tanggal 29 Februari 2016.
Rizki, D. 2010. Tradisi Sekaten di Yogyakarta. http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisi-sekaten-di-yogyakarta/. Diakses tanggal 29 Februari 2016.

NB : Tulisan ini diikutsertakan dalam Blogger Gramedia Competition 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar