Rabu, 20 Januari 2016

Coretan tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Media Massa

Media, menurut Soraya (2008) adalah sarana transformasi pesan kepada khalayak. Pesan yang dapat disampaikan melalui media bisa beraneka ragam. Penyampaian pesan tersebut merupakan salah satu peran media massa dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Media massa terdiri dari media cetak dan elektronik, yang masing-masing berperan dalam penyebaran informasi tertentu dalam masyarakat.
Media massa atau pers memegang peran penting dalam demokrasi. Salah satu proses yang menjamin keberlangsungan sistem demokrasi di suatu negara adalah pemilihan umum untuk menentukan posisi wakil rakyat yang menentukan nasib rakyat dalam kurun waktu tertentu. Pemilihan umum dalam demokrasi adalah suatu hal yang tidak mungkin tanpa keterlibatan media[1]. Pers, menurut UU No. 40 tahun 1999 didefinisikan sebagai,
“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan Jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

Turow (2009) mendefiniskan media massa atau pers sebagai instrumen teknologi komunikasi massa. Komunikasi massa yang baik harus didukung dengan peraturan-peraturan tertentu agar tidak terjadi ketimpangan komunikasi antar beberapa pihak yang berkepentingan. Beberapa pedoman agar keberlangsungan komunikasi massa berjalan baik dalam suatu negara, yang telah ada adalah Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang sudah disepakati oleh pihak-pihak tertentu. Undang-Undang Pers yang dimaksud adalah UU No. 40 tahun 1999 (Dhanurseto, 2009; Harymurti, 2014), sedangkan Kode Etik Jurnalistik merupakan prinsip etika jurnalis yang menjadi dasar para jurnalis dalam menjalankan profesionalitasnya dalam dunia Jurnalistik (Harymurti, 2014).
Dhanurseto (2009) menuliskan bahwa konsep UU No.40 tahun 1999 tentang Pers mengubah komunikasi massa melalui komunikasi politik. Komunikasi politik sebelum pemberlakuan UU Pers ini masih terpengaruh dengan rezim orde baru. Setelah UU Pers ini dikumandangkan, sistem komunikasi politik diharapkan akan dapat berlangsung lebih seimbang antara pemerintah dengan pers, pemerintah dengan kelompok dalam masyarakat, dan antar berbagai komponen masyarakat dengan media sebagai jembatannya. Sementara itu, Kode Etik Jurnalistik yang merupakan prinsip etika profesi jurnalis (Harymurti, 2014) mengedepankan profesionalitas jurnalis dengan berbagai etika yang harus ditaati.
Sesuai dengan prinsip etika seorang jurnalis, seorang pelaku kegiatan jurnalistik yang biasa disebut sebagai wartawan harus memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik seperti yang tersurat dalam UU Pers No. 40 tahun 1999. Lebih jauh lagi Harymurti (2014) menjelaskan bahwa beberapa prinsip etika yang dimaksud dalam Kode Etik Jurnalistik adalah jujur, akurat, obyektif, berpihak pada kepentingan umum, akuntabel, dan meminimalkan kerusakan. Kode etik tersebut harus dilaksanakan dan ditaati dengan sebenar-benarnya karena merupakan harga diri seorang wartawan di hadapan publik.
Sementara itu, apabila dilihat dari proses demokrasi melalui pemilihan umum nasional yang telah berlangsung tahun 2014 lalu, ada beberapa catatan yang direkap oleh beberapa pihak terkait pelaksanaan pemilu. Catatan-catatan tersebut merupakan catatan yang berhubungan dengan kebersinggungan peran media massa dan beberapa pihak tertentu yang berkompetisi dalam pemilihan umum. Kebersinggungan peran antara media massa dan kepentingan golongan atau individu ini tentu mengurai rapor hitam keberlangsungan pemilu 2014.
Ardipandanto (2014), seorang peneliti bidang politik dalam negeri Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI melakukan analisis tentang konglomerasi media massa oleh kandidat peserta pemilihan umum yang menjadi penguasa perusahaan penyiaran besar di Indonesia. Hal ini ditakutkan, perusahaan penyiaran tersebut menjadi kendaraan bagi kandidat pemilu sehingga perusahaan pers itu sendiri menjadi tidak independen dan tidak mendasarkan isi dan aktivitas penyiarannya pada kepentingan umum. Kondisi ini berpotensi menjadikan proses demokrasi melalui pemilihan umum menjadi tidak berimbang dan tidak adil. Obyektivitas, independensi, keberimbangan, keberpihakan pada kepentingan umum sebagai bagian dari Kode Etik Jurnalistik berpotensi tidak ditaati jika media massa tersebut memang digunakan sebagai kendaraan politik seorang atau beberapa kandidat pemilihan umum.
Selain itu, Prasetya (2014) menuliskan bahwa pemilik media massa memiliki kemampuan untuk bisa bersaing di kancah perpolitikan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perusahaan media massa yang dimilikinya dapat dijadikan sebagai kendaraan politik. Perusahaan media yang dimilikinya dapat dijadikan sebagai tempat untuk melakukan promosi besar-besaran terhadap kandidat tertentu yang akan maju di panggung politik. Promosi yang dimaksud adalah promosi yang tersurat maupun promosi yang tersirat, yang mendeskripsikan kandidat tertentu.
Pengalaman dalam pemilihan umum nasional tahun 2014 lalu memberikan pelajaran bahwa peran media massa harus dikembalikan sesuai dengan Undang-Undang yang mengaturnya. Media massa dalam bentuk perusahaan media massa atau perusahaan pers bertanggung jawab terhadap opini yang berkembang di masyarakat. Sebagai komponen dari perusahaan pers, jurnalis memegang peranan penting dalam pengembalian peran tersebut. Meskipun demikian, pemilik perusahaan pers juga harus mendasarkan seluruh aktivitas pers pada Undang-Undang yang berlaku, karena mengandung sistem nilai dan etika sebagai pedoman demi tewujudnya masyarakat yang adil dan cerdas. Sebagai manusia yang memiliki akal dan rasa, serta berbudaya, sudah selayaknya seorang pemilik perusahaan pers memiliki tanggung jawab besar dalam menentukan jenis masyarakat apa yang timbul akibat kegiatan pers yang diselenggarakannya.
Apabila berkaca dari pelaksanaan pemilihan umum nasional tahun 2014 tersebut di atas, peran media massa dalam pemilihan umum kepala daerah tahun 2015 tidak jauh berbeda dibandingkan dengan peran media massa dalam pemilihan umum nasional. Media massa berperan sebagai pendukung proses transparansi informasi tentang segala hal yang berkaitan dengan kandidat yang maju dalam pilkada. Selain itu, media massa juga berperan sebagai panggung kampanye dan sebagai penyedia forum terbuka untuk debat publik. Ketiga peran tersebut mendukung peran media massa dalam mencerdaskan publik, karena melalui ketiga peran di atas, publik dapat menentukan pilihan tentang kandidat yang akan dijadikan idola. 
Sementara itu, lingkup pemilihan yang lebih sempit di pilkada menyebabkan hanya kandidat yang bermodal besar yang mampu menjadikan media massa nasional sebagai tempat berkampanye melalui iklan-iklan yang ditayangkan. Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 7 tahun 2015 memang memperbolehkan kegiatan kampanye melalui beberapa jenis media massa. Dalam hal ini, media massa harus bisa bersikap merdeka terhadap iklan yang masuk ke media tersebut, karena tetap harus mempertimbangkan asas independen dalam Kode Etik Jurnalistik yang mereka anut dan taati. Media massa, baik nasional maupun lokal harus bersikap adil dan bijaksana menyikapi permintaan salah satu kandidat untuk berkampanye melalui media massa. Untuk menghindari kecenderungan dan ketidakmerdekaan media massa berkaitan dengan fungsi kampanye (Levitsky & Way, 2010) dalam pilkada ini, media massa dapat memberikan ruang dengan porsi yang sama terhadap kandidat-kandidat yang sedang berkompetisi sehingga tidak ada pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil. Media massa sebaiknya memberikan batasan kepada kandidat-kandidat tertentu terhadap besaran biaya yang akan digunakan untuk iklan kandidat tertentu sehingga semua kandidat mendapatkan porsi yang sama. Lebih jauh lagi, jika batasan biaya untuk periklanan kandidat tersebut, terdapat kandidat yang masih berkeberatan karena kepemilikan biaya yang masih kurang, maka sebaiknya media massa mengambil jalan tengah dengan tidak menerima periklanan bagi semua kandidat yang sedang berlaga di pilkada untuk mengiklankan diri sehingga kepentingan semua pihak dapat diatasi dan tercapai keadilan bagi seluruh kandidat.
Selain peran promosi atau kampanye kandidat oleh media massa, peran lain yang dapat diselenggarakan oleh media massa, terutama media massa lokal adalah peran sebagai panggung untuk debat terbuka (Stremlau & Price, 2009). Debat terbuka merupakan cara yang dapat digunakan oleh publik untuk menilai sejauh mana kandidat yang sedang berlaga mengetahui dan memahami peran sebagai pemimpin daerah. Media massa dapat menjadi jembatan dengan menyediakan acara khusus untuk debat antar kandidat. Media massa harus bersikap tidak memihak salah satu pihak yang sedang berlaga karena itulah yang dianut sesuai Kode Etik Jurnalistik dan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Semua proses debat terbuka harus berjalan sealami mungkin, tanpa konspirasi di belakang layar, tanpa suap, tanpa nepotisme, dan tanpa dependensi terhadap salah satu pihak.
Peran lain media massa yang disoroti adalah peran sebagai wadah transparansi kandidat-kandidat (McFaul, 2005) yang sedang maju dalam pilkada . Media massa, terutama media massa lokal harus menjadi jembatan antara publik dan kandidat agar segala hal tentang kandidat dapat diketahui oleh masyarakat luas. Transparansi yang dimaksud adalah keterbukaan tentang segala hal terkait kandidat pilkada. Seluruh prestasi kandidat dan hal-hal yang berhubungan dengan kandidat diinformasikan kepada masyarakat luas agar publik bisa melakukan penilaian. Setelah proses pemungutan suara berlangsung, media dapat hadir dalam perhitungan suara untuk mencegah penipuan dalam pemilihan dan memberikan pemahaman bahwa kebebasan berbicara secara penuh dijamin. Media bebas untuk beraksi secara independen dengan sikap yang tidak memihak.
Seluruh bahasa yang digunakan oleh media massa, yang berhubungan dengan peran dalam pilkada harus santun, tidak provokatif, tidak kasar, dan selalu berpegang teguh pada norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat setempat. Bahasa sebagai alat penyampai informasi antara kandidat dengan publik dan alat komunikasi, harus digunakan secara tepat dan berimbang, dan sebisa mungkin tanpa tendensi, karena salah satu prinsip etika yang dianut dalam profesi jurnalis adalah meminimalisir kerusakan. Bahasa yang beretika dapat dijadikan sebagai sarana untuk meminimalisir kerusakan besar yang mungkin terjadi dalam pilkada itu sendiri.
Seluruh peran media massa, yang dihubungkan dengan norma-norma dan etika melakukan kegiatan Jurnalistik ini dapat mengembalikan peran media massa yang sesuai dengan konsep awal pendiriannya. Bagaimanapun, media massa memegang peranan penting dalam kegiatan berbudaya masyarakat. Masyarakat yang adil adalah tujuan didirikan bangsa ini, sesuai dengan yang tertera dalam pokok pikiran Pembukaan UUD 1945. Masyarakat yang adil dalam negara demokrasi dapat diwujudkan melalui sistem pemilihan umum yang adil. Sebuah pemilihan umum yang bebas dan adil tidak hanya tentang kebebasan untuk memilih dan pengetahuan tentang bagaimana penghitungan suara berlangsung, tetapi juga tentang proses partisipasi para pemilih yang diikutsertakan dalam debat publik dan kepemilikan informasi yang cukup tentang partai, kebijakan-kebijakan, kandidat-kandidat dan proses pemilihan umum itu sendiri.



[1] Media and Parliamentary Elections in Egypt: Evaluation of Media Performance in the Parliamentary Elections” Human Rights Movement Issues 26, (Cairo, Egypt: Cairo Institute for Human Rights Studies, 2011): 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar