Media, menurut Soraya (2008) adalah sarana transformasi
pesan kepada khalayak. Pesan yang dapat disampaikan melalui media bisa beraneka
ragam. Penyampaian pesan tersebut merupakan salah satu peran media massa dalam
kehidupan masyarakat dan bernegara. Media massa terdiri dari media cetak dan
elektronik, yang masing-masing berperan dalam penyebaran informasi tertentu
dalam masyarakat.
Media massa atau pers memegang peran penting dalam demokrasi.
Salah satu proses yang menjamin keberlangsungan sistem demokrasi di suatu
negara adalah pemilihan umum untuk menentukan posisi wakil rakyat yang
menentukan nasib rakyat dalam kurun waktu tertentu. Pemilihan umum dalam
demokrasi adalah suatu hal yang tidak mungkin tanpa keterlibatan media[1].
Pers, menurut UU No. 40 tahun 1999 didefinisikan sebagai,
“Pers adalah lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan Jurnalistik
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Turow (2009) mendefiniskan media massa atau pers sebagai instrumen
teknologi komunikasi massa. Komunikasi massa yang baik harus
didukung dengan peraturan-peraturan tertentu agar tidak terjadi ketimpangan
komunikasi antar beberapa pihak yang berkepentingan. Beberapa pedoman agar
keberlangsungan komunikasi massa berjalan baik dalam suatu negara, yang telah
ada adalah Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang sudah disepakati
oleh pihak-pihak tertentu. Undang-Undang Pers yang dimaksud adalah UU No. 40
tahun 1999 (Dhanurseto, 2009; Harymurti, 2014), sedangkan Kode Etik Jurnalistik
merupakan prinsip etika jurnalis yang menjadi dasar para jurnalis dalam
menjalankan profesionalitasnya dalam dunia Jurnalistik (Harymurti, 2014).
Dhanurseto
(2009) menuliskan bahwa konsep UU No.40 tahun 1999 tentang Pers mengubah
komunikasi massa melalui komunikasi politik. Komunikasi politik sebelum
pemberlakuan UU Pers ini masih terpengaruh dengan rezim orde baru. Setelah UU
Pers ini dikumandangkan, sistem komunikasi politik diharapkan akan dapat
berlangsung lebih seimbang antara pemerintah dengan pers, pemerintah dengan
kelompok dalam masyarakat, dan antar berbagai komponen masyarakat dengan media
sebagai jembatannya. Sementara itu, Kode Etik Jurnalistik yang merupakan
prinsip etika profesi jurnalis (Harymurti, 2014) mengedepankan profesionalitas
jurnalis dengan berbagai etika yang harus ditaati.
Sesuai
dengan prinsip etika seorang jurnalis, seorang pelaku kegiatan jurnalistik yang
biasa disebut sebagai wartawan harus memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik
seperti yang tersurat dalam UU Pers No. 40 tahun 1999. Lebih jauh lagi
Harymurti (2014) menjelaskan bahwa beberapa prinsip etika yang dimaksud dalam
Kode Etik Jurnalistik adalah jujur, akurat, obyektif, berpihak pada kepentingan
umum, akuntabel, dan meminimalkan kerusakan. Kode etik tersebut harus
dilaksanakan dan ditaati dengan sebenar-benarnya karena merupakan harga diri
seorang wartawan di hadapan publik.
Sementara
itu, apabila dilihat dari proses demokrasi melalui pemilihan umum nasional yang
telah berlangsung tahun 2014 lalu, ada beberapa catatan yang direkap oleh
beberapa pihak terkait pelaksanaan pemilu. Catatan-catatan tersebut merupakan
catatan yang berhubungan dengan kebersinggungan peran media massa dan beberapa
pihak tertentu yang berkompetisi dalam pemilihan umum. Kebersinggungan peran
antara media massa dan kepentingan golongan atau individu ini tentu mengurai
rapor hitam keberlangsungan pemilu 2014.
Ardipandanto
(2014), seorang peneliti bidang politik dalam negeri Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI melakukan analisis tentang
konglomerasi media massa oleh kandidat peserta pemilihan umum yang menjadi
penguasa perusahaan penyiaran besar di Indonesia. Hal ini ditakutkan,
perusahaan penyiaran tersebut menjadi kendaraan bagi kandidat pemilu sehingga
perusahaan pers itu sendiri menjadi tidak independen dan tidak mendasarkan isi
dan aktivitas penyiarannya pada kepentingan umum. Kondisi ini berpotensi menjadikan
proses demokrasi melalui pemilihan umum menjadi tidak berimbang dan tidak adil.
Obyektivitas, independensi, keberimbangan, keberpihakan pada kepentingan umum
sebagai bagian dari Kode Etik Jurnalistik berpotensi tidak ditaati jika media
massa tersebut memang digunakan sebagai kendaraan politik seorang atau beberapa
kandidat pemilihan umum.
Selain
itu, Prasetya (2014) menuliskan bahwa pemilik media massa memiliki kemampuan
untuk bisa bersaing di kancah perpolitikan di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena perusahaan media massa yang dimilikinya dapat dijadikan sebagai
kendaraan politik. Perusahaan media yang dimilikinya dapat dijadikan sebagai
tempat untuk melakukan promosi besar-besaran terhadap kandidat tertentu yang
akan maju di panggung politik. Promosi yang dimaksud adalah promosi yang
tersurat maupun promosi yang tersirat, yang mendeskripsikan kandidat tertentu.
Pengalaman
dalam pemilihan umum nasional tahun 2014 lalu memberikan pelajaran bahwa peran
media massa harus dikembalikan sesuai dengan Undang-Undang yang mengaturnya.
Media massa dalam bentuk perusahaan media massa atau perusahaan pers
bertanggung jawab terhadap opini yang berkembang di masyarakat. Sebagai
komponen dari perusahaan pers, jurnalis memegang peranan penting dalam
pengembalian peran tersebut. Meskipun demikian, pemilik perusahaan pers juga
harus mendasarkan seluruh aktivitas pers pada Undang-Undang yang berlaku,
karena mengandung sistem nilai dan etika sebagai pedoman demi tewujudnya
masyarakat yang adil dan cerdas. Sebagai manusia yang memiliki akal dan rasa,
serta berbudaya, sudah selayaknya seorang pemilik perusahaan pers memiliki
tanggung jawab besar dalam menentukan jenis masyarakat apa yang timbul akibat
kegiatan pers yang diselenggarakannya.
Apabila
berkaca dari pelaksanaan pemilihan umum nasional tahun 2014 tersebut di atas,
peran media massa dalam pemilihan umum kepala daerah tahun 2015 tidak jauh
berbeda dibandingkan dengan peran media massa dalam pemilihan umum nasional.
Media massa berperan sebagai pendukung proses transparansi informasi tentang
segala hal yang berkaitan dengan kandidat yang maju dalam pilkada. Selain itu,
media massa juga berperan sebagai panggung kampanye dan sebagai penyedia forum
terbuka untuk debat publik. Ketiga peran tersebut mendukung peran media massa
dalam mencerdaskan publik, karena melalui ketiga peran di atas, publik dapat
menentukan pilihan tentang kandidat yang akan dijadikan idola.
Sementara
itu, lingkup pemilihan yang lebih sempit di pilkada menyebabkan hanya kandidat
yang bermodal besar yang mampu menjadikan media massa nasional sebagai tempat
berkampanye melalui iklan-iklan yang ditayangkan. Peraturan Komisi Pemilihan
Umum No 7 tahun 2015 memang memperbolehkan kegiatan kampanye melalui beberapa
jenis media massa. Dalam hal ini, media massa harus bisa bersikap merdeka
terhadap iklan yang masuk ke media tersebut, karena tetap harus
mempertimbangkan asas independen dalam Kode Etik Jurnalistik yang mereka anut
dan taati. Media massa, baik nasional maupun lokal harus bersikap adil dan
bijaksana menyikapi permintaan salah satu kandidat untuk berkampanye melalui
media massa. Untuk menghindari kecenderungan dan ketidakmerdekaan media massa
berkaitan dengan fungsi kampanye (Levitsky & Way,
2010) dalam pilkada ini, media massa dapat memberikan ruang dengan porsi
yang sama terhadap kandidat-kandidat yang sedang berkompetisi sehingga tidak
ada pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil. Media massa sebaiknya
memberikan batasan kepada kandidat-kandidat tertentu terhadap besaran biaya
yang akan digunakan untuk iklan kandidat tertentu sehingga semua kandidat
mendapatkan porsi yang sama. Lebih jauh lagi, jika batasan biaya untuk
periklanan kandidat tersebut, terdapat kandidat yang masih berkeberatan karena
kepemilikan biaya yang masih kurang, maka sebaiknya media massa mengambil jalan
tengah dengan tidak menerima periklanan bagi semua kandidat yang sedang berlaga
di pilkada untuk mengiklankan diri sehingga kepentingan semua pihak dapat
diatasi dan tercapai keadilan bagi seluruh kandidat.
Selain
peran promosi atau kampanye kandidat oleh media massa, peran lain yang dapat
diselenggarakan oleh media massa, terutama media massa lokal adalah peran
sebagai panggung untuk debat terbuka (Stremlau & Price,
2009). Debat terbuka merupakan cara yang dapat digunakan oleh publik
untuk menilai sejauh mana kandidat yang sedang berlaga mengetahui dan memahami
peran sebagai pemimpin daerah. Media massa dapat menjadi jembatan dengan
menyediakan acara khusus untuk debat antar kandidat. Media massa harus bersikap
tidak memihak salah satu pihak yang sedang berlaga karena itulah yang dianut
sesuai Kode Etik Jurnalistik dan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Semua proses
debat terbuka harus berjalan sealami mungkin, tanpa konspirasi di belakang
layar, tanpa suap, tanpa nepotisme, dan tanpa dependensi terhadap salah satu
pihak.
Peran
lain media massa yang disoroti adalah peran sebagai wadah transparansi
kandidat-kandidat (McFaul, 2005) yang sedang maju dalam pilkada . Media massa,
terutama media massa lokal harus menjadi jembatan antara publik dan kandidat
agar segala hal tentang kandidat dapat diketahui oleh masyarakat luas.
Transparansi yang dimaksud adalah keterbukaan tentang segala hal terkait
kandidat pilkada. Seluruh prestasi kandidat dan hal-hal yang berhubungan dengan
kandidat diinformasikan kepada masyarakat luas agar publik bisa melakukan
penilaian. Setelah proses pemungutan suara berlangsung, media dapat hadir dalam
perhitungan suara untuk mencegah penipuan dalam pemilihan dan memberikan pemahaman bahwa
kebebasan berbicara secara penuh dijamin. Media bebas untuk beraksi secara
independen dengan sikap yang tidak memihak.
Seluruh bahasa yang digunakan oleh media massa, yang
berhubungan dengan peran dalam pilkada harus santun, tidak provokatif, tidak
kasar, dan selalu berpegang teguh pada norma-norma dan nilai-nilai yang dianut
oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat setempat. Bahasa sebagai alat
penyampai informasi antara kandidat dengan publik dan alat komunikasi, harus
digunakan secara tepat dan berimbang, dan sebisa mungkin tanpa tendensi, karena
salah satu prinsip etika yang dianut dalam profesi jurnalis adalah
meminimalisir kerusakan. Bahasa yang beretika dapat dijadikan sebagai sarana
untuk meminimalisir kerusakan besar yang mungkin terjadi dalam pilkada itu sendiri.
Seluruh peran media massa, yang dihubungkan dengan
norma-norma dan etika melakukan kegiatan Jurnalistik ini dapat mengembalikan peran
media massa yang sesuai dengan konsep awal pendiriannya. Bagaimanapun, media
massa memegang peranan penting dalam kegiatan berbudaya masyarakat. Masyarakat
yang adil adalah tujuan didirikan bangsa ini, sesuai dengan yang tertera dalam
pokok pikiran Pembukaan UUD 1945. Masyarakat yang adil dalam negara demokrasi
dapat diwujudkan melalui sistem pemilihan umum yang adil. Sebuah pemilihan umum yang bebas dan adil tidak hanya tentang kebebasan
untuk memilih dan pengetahuan tentang bagaimana penghitungan suara berlangsung,
tetapi juga tentang proses partisipasi para pemilih yang diikutsertakan dalam
debat publik dan kepemilikan informasi yang cukup tentang partai,
kebijakan-kebijakan, kandidat-kandidat dan proses pemilihan umum itu sendiri.
[1] Media and Parliamentary Elections in Egypt: Evaluation of Media Performance
in the Parliamentary Elections” Human Rights Movement Issues 26, (Cairo,
Egypt: Cairo Institute for Human Rights Studies, 2011): 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar