Rabu, 20 Januari 2016

Kuasa Tuhan Di Balik Perjalanan Panjang Pulang : Sebuah Resensi Novel



Judul buku                              : Pulang
Penulis                                     : Tere Liye
Penerbit                                   : Republika
Cetakan                                   : VII, November 2015
Harga buku                             : Rp. 65.000,-
Tebal buku, jumlah halaman   : 13.5 x 20.5 cm, iv + 400 halaman

Tere Liye, makna sebenarnya adalah berupa kata keterangan tujuan. Frase itu berasal dari bahasa negeri aktor terkenal Bollywood, Shahrukh Khan. Adalah “untukmu”, seperti yang dijelaskan sendiri oleh penulis bernama pena Tere Liye dalam salah satu seminar di Yogyakarta, arti dibalik nama itu. Tere Liye adalah salah satu lagu dalam film lawas Bollywood Veer Zara, yang dibintangi oleh Preity Zinta dan Shahrukh Khan. Tere Liye dikenal sebagai penulis novel fiktif yang produktif dalam beberapa tahun terakhir. Beliau telah menulis puluhan novel dengan penjualan yang masuk dalam kategori best seller. Beberapa novel yang beliau tulis telah diangkat di layar lebar, sebut saja Hafalan Sholat Delisa dan Bidadari-Bidadari Surga.  
Novel terbaru Tere Liye yang diberi judul “Pulang” ini, seolah menyuruh para perantau untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Kata “pulang”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pergi ke rumah atau ke tempat asal. Sementara itu dalam novel ini, pulang diartikan oleh Tere Liye sebagai kembali ke kampung halaman tempat seseorang lahir dan pemahaman makna tentang kata pulang yang berhubungan dengan asal manusia ada. Perjalanan pulang untuk kembali ke kampung halaman biasanya dilakukan karena kerinduan seseorang terhadap kampung halaman dan orang-orang yang ada di kampung halamannya. Makna pulang yang juga ingin dipahamkan oleh Tere Liye melalui novel ini adalah kembali ke asal manusia ada, tentang hakikat darimana manusia ada dan pasti akan menuju ke asal manusia ada, yang bahasa sederhananya adalah kematian. Sebuah proses dari perjalanan panjang manusia tentang masa transisi dari alam dunia menuju alam barzakh, yaitu alam akhirat. Sebuah proses yang pasti dialami oleh seluruh manusia di bumi.
Cerita dalam novel ini dibagi dalam 25 (dua puluh lima) bab. Masing-masing bab mengandung cerita yang berkaitan satu sama lain. Alur yang digunakan oleh Tere Liye dalam novel kali ini adalah alur maju mundur atau campuran, yang bercerita tentang peristiwa sekarang dalam novel dan peristiwa masa lalu yang dituliskan secara berselang-seling hampir di tiap bab tubuh novel ini. Novel fiktif ini adalah novel tentang akhlak atau budi pekerti yang dibalut dalam cerita penuh aksi dan strategi yang penuh dengan kejutan dan dapat memukau pembaca. Kali ini, Tere Liye menyuguhkan bacaan cerdas yang tidak melulu berkutat pada obyek keluarga, namun juga lebih meluas tentang persahabatan, kesetiaan dan keikhlasan menerima takdir. Tere Liye berhasil menunjukkan keluasan pengetahuanya dalam bidang ekonomi, sebagai bahan untuk penyusunan alur dalam novel ini.
Adalah seorang laki-laki bernama Agam yang akrab disapa sebagai Bujang, buah hati dari pria keturunan perewa (tukang pukul, bandit) ulung Mohammad Samad dan wanita keturunan mulia bernama Midah, putri Tuanku Imam (pejuang yang syahid saat pertempuran melawan Belanda). Setiap hari dia akrab dipanggil sebagai Bujang. Nama Agam hanya diketahui oleh keluarga dekatnya, yaitu ayah, ibu dan paman Agam (Tuanku Imam, kakak dari Ibu Bujang/Midah). Darah tukang pukul dari ayahnya ternyata mengalir ke dalam dirinya, begitu juga kecerdasan yang diwariskan dari ibunya. Semenjak kecil, Agam tidak pernah mengetahui tentang latar belakang keluarga ayah dan ibunya. Hal ini dikarenakan ayah dan ibunya memiliki kenangan yang menurut mereka berdua harus dilupakan. Bujang sering mendapatkan perlakuan keras dari ayahnya jika Bujang tertangkap basah sedang belajar agama kepada ibunya. Masa kecil Bujang sangat berat karena cara didikan kasar ayahnya. Pada usia 15 (lima belas) tahun, Agam diangkat menjadi anak angkat seorang keluarga besar, Keluarga Tong, pelaku bisnis dalam shadow economy di sebuah Kota Provinsi.
Ayah Bujang, Mohammad Samad merupakan mantan tukang pukul Keluarga Tong. Ayah Samad atau kakek Bujang dari ayah merupakan tukang pukul nomor wahid yang sangat ditakuti penduduk. Sebenarnya, Keluarga Tong memiliki hutang budi kepada Samad karena Samad berhasil menyelamatkan Tauke Besar (pemimpin utama Keluarga Tong saat itu) dalam suatu misi perebutan kekuasaan. Akan tetapi, Samad memutuskan untuk keluar dari keluarga tersebut dan berhenti menjadi tukang pukul dengan satu kaki yang patah karena ingin meminang wanita yang dicintainya, Midah. Selain itu, Samad juga merasa tidak berhasil melaksanakan tugasnya sebagai hamba Tauke Besar saat itu sehingga tekadnya semakin bulat untuk memulai hidup yang baru bersama wanita yang dicintainya di suatu tempat yang jauh dari hiruk pikuk Kota, di pedalaman hutan rimba Sumatra.
Keluarga Ibu Bujang (Midah) adalah keluarga yang religius. Ayah Midah atau kakek Bujang dari ibu adalah seorang pemuka agama yang terkenal. Karena lamaran pertama Samad kepada Midah ditolak oleh keluarga besar Midah, maka Midah kemudian menikah dengan lelaki lain. Akan tetapi, pernikahan itu harus berakhir karena suatu hal. Hingga setelah 15 (lima belas) tahun kemudian, Samad kembali meminang pujaan hatinya. Akhirnya lamaran Bujang disetujui oleh keluarga Midah yang diwakili oleh kakak Midah. Pernikahan kontroversial antara ayah dan ibu Bujang kemudian menyisakan luka yang mendalam di hati mereka. Mereka diusir dari keluarga sehingga kemudian memulai kehidupan baru yang jauh secara fisik maupun jiwa dari keluarga besar.
Bujang kemudian dibesarkan di Keluarga Tong mulai usia 15 (lima belas) tahun , yang penuh dengan aura kekerasan dan perebutan kekuasaan. Potensi kecerdasan Bujang telah diketahui oleh pimpinan Keluarga Tong, Tauke Besar saat itu. Semenjak menjalankan bisnis dalam ekonomi bayangan, Tauke Besar selalu mengedepankan kekerasan dalam menjalankan aksinya merebut dan mengambil alih kekuasaan perekonomian. Akan tetapi, potensi kecerdasan yang dimiliki oleh Bujang dilihat oleh Tauke Besar sebagai aset masa depan yang dapat membantu memperluas kekuasaan ekonominya. Tauke Besar kemudian mendidik Bujang melalui Frans, guru dari Amerika yang membantu Bujang mendapatkan ijazah persamaan hingga Sekolah Menengah Atas. Bujang kemudian mendapatkan ijazah persamaan SMA nya pada usia 17 (tujuh belas tahun), setahun lebih cepat dari anak SMA pada umumnya. Selanjutnya, Bujang berhasil mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Ekonomi dari universitas paling terkenal di Ibu Kota. Gelar double master kemudian dia dapatkan sekaligus dalam waktu yang bersamaan di Amerika.
Karena darah tukang pukul atau bandit yang juga mengalir di dalam dirinya, awalnya Bujang tidak ingin bersekolah. Akan tetapi, akhirnya Bujang mau bersekolah setelah kalah dalam kesepakatan yang dibuat dengan Tauke Besar. Bujang kalah dalam pertempuran Amok, pertempuran dimana Bujang harus bertahan menghadapi berpuluh-puluh tukang pukul profesional dalam lingkaran dengan ukuran yang ditentukan. Bujang hanya mampu bertahan selama 19 detik padahal kesepakatan yang dibuat dengan Tauke Besar adalah 20 menit bertahan dalam penyerangan. Hal ini membuat Bujang harus tetap bersekolah. Namun demikian, Kopong, salah satu tukang pukul paling penting di Keluarga Tong meminta izin kepada Tauke Besar agar Bujang diperbolehkan untuk belajar ilmu membela diri. Alhasil Tauke Besar mengizinkan sehingga aktivitas Bujang sangat sibuk saat itu. Pagi bersekolah, malam berguru kepada Kopong. Setelah Kopong menganggap Bujang telah menguasai pelajaran yang diberikan Kopong, maka Kopong berinisiatif untuk memberikan guru baru kepada Bujang. Bujang belajar ilmu samurai sejati dari Guru Bushi (Jepang) dan teknik menembak jitu dengan pistol dari Salonga (Filipina). Guru Bushi dan Salonga merupakan rekan setia Keluarga Tong yang terikat karena kenangan “manis” masa lalu.
Bujang akhirnya dipercaya sebagai penyelesai konflik tingkat tinggi dalam Keluarga Tong, sehingga membuat Bujang sering ke luar negeri menyelesaikan konflik besar. Hal ini dikarenakan kelihaian dan kecerdasan, serta ketegasan yang dimilikinya ketika berbicara. Ketika Keluarga Tong harus terlibat dalam konflik dengan keluarga pengusaha besar lain di Makau yaitu Keluarga Lin, Bujang lah yang dipercaya oleh Tauke Besar untuk bernegosiasi dengan keluarga Lin dalam acara ulang tahun penguasa ekonomi Asia-Pasifik di Hong Kong, Master Dragon. Keluarga Lin telah mencuri prototype pemindai tubuh manusia paling mutakhir yang berhasil dikembangkan oleh peneliti yang didanai oleh Keluarga Tong. Akan tetapi, negosiasi yang kemudian berlangsung di markas Keluarga Lin di Makau tersebut menuai kemarahan Keluarga Lin karena pucuk tertinggi keluarga Lin harus meregang nyawa di tangan Bujang melalui kartu nama beracun yang berhasil Bujang lemparkan dengan tangkas ke leher pimpinan Keluarga Lin.
Peristiwa itu kemudian membuat naik pitam keluarga Lin di Makau. Basyir, seorang tukang pukul penting Keluarga Tong keturunan Arab yang sangat dekat dengan Bujang kemudian membelot menjadi pengkhianat, bekerja sama dengan putra Keluarga Lin untuk membalas dendam. Basyir ingin membalas kematian orang tuanya yang meninggal karena dibakar oleh Keluarga Tong saat perebutan kekuasaan perusahaan tekstil ketika Basyir masih kecil. Sedangkan bagi putra Keluarga Lin, adalah kehormatan yang tinggi mampu membawa Bujang (pembunuh ayahnya) ke Makau untuk dipersembahkan sebelum jasad ayahnya dikremasi. Mereka berdua kemudian merencanakan penyerangan dengan rencana yang matang secara bersama-sama, dengan memecah konsentrasi para anggota keluarga Tong agar tidak terkonsentrasi di markas besar Keluarga Tong. Bujang baru mengetahui bahwa pengkhianatan yang sedang menyerang keluarga Tong adalah pengkhianatan dari dalam dan dari luar keluarga Tong setelah Basyir dan putra Keluarga Lin berkumpul bersama di markas besar untuk menyerang Tauke Besar yang sedang sakit, Bujang, Parwez  dan Joni (dua nama terakhir adalah anggota penting Keluarga Tong). Pertempuran terjadi secara sengit dengan jumlah yang tidak seimbang. Joni kemudian meninggal pada pertempuran itu. Akhirnya, ketika hampir tiba di penghujung pertempuran karena tenaga dan kekuatan Bujang dan Tauke Besar sudah hampir habis, Bujang, Tauke Besar dan Parwez berhasil menyelamatkan diri melalui lorong kecil di bawah ranjang tempat tidur Tauke Besar. Lorong tersebut hanya diketahui oleh Kopong dan Tauke Besar. Lorong tersebut bermuara ke rumah kolega Tauke Besar, yang tidak diketahui oleh Bujang.
Tauke Besar dan Kopong sudah merencakan hal darurat tersebut dengan matang. Sayangnya, Kopong telah mendahului mereka menghadap Sang Pencipta beberapa tahun sebelum insiden itu terjadi. Tauke Besar dan Kopong membuat kesepakatan dengan Tuanku Imam (paman Bujang/Agam) yang telah berhasil mendirikan pondok pesantren di kota tersebut. Siapapun yang keluar dari lorong besi di halaman rumah Tuanku Imam yang terhubung dengan markas Tauke Besar, berarti keadaan benar-benar darurat dan orang itu harus segera dibawa ke tempat yang jauh. Tuanku Imam menepati kesepakatan tersebut dengan membawa Bujang, Tauke Besar dan Parwez ke pondok pesantren milik Tuanku Imam yang berjarak sekitar 30 km dari Ibu Kota. Bujang dan Parwez akhirnya selamat dengan sementara disembunyikan di tempat yang jauh dari Ibu Kota. Namun, Tauke Besar akhirnya menemui ajalnya. Dia meninggal dengan tidak satupun kerabat keluarga Tong yang mengantarkan kepulangannya dari dunia ini menuju alam lain, bahkan prosesi pemakamannya dilakukan oleh petugas rumah duka dengan identitas yang bukan sebenarnya demi kelancaran prosesi pemakaman.
Pertemuan antara Tuanku Imam selaku paman Bujang merupakan babak baru bagi kehidupan Agam/Bujang. Akhirnya Bujang menemukan identitas diri dan pemahaman yang utuh dari Tuanku Imam. Bagaimanapun, Tuanku Imam adalah seorang yang memahami apa yang terjadi di masa lalu. Tuanku Imam turut menjadi saksi kepiluan ayah dan ibu Bujang saat akan menjalani kehidupan sendiri, yang dimulai dari nol tanpa bantuan keluarga besar. Bujang akhirnya memahami perlakuan kasar yang diberikan oleh ayahnya di masa lalu, beserta kepingan-kepingan teka-teki yang selama ini Bujang berusaha abaikan. Kepingan-kepingan teka-teki tentang sikap ayahnya dalam mendidiknya, alasan mengapa ibunya berpesan agar Bujang menghindari minuman keras dan segala makanan dari babi, serta  tentang kehidupan ayahnya di masa lalu sebagai tukang pukul handal di Keluarga Tong. Pertemuan dengan Tuanku Imam saat itu juga membuat mata hati Bujang terbuka. Bujang yang sebelumnya memiliki rasa takut setelah sekian lama tidak memiliki rasa takut karena kekalahan di pertempuran melawan Basyir sebelumnya, akhirnya menemukan pemahaman yang baru tentang rasa takut dan keberanian. Keberanian Bujang telah dimiliki lagi setelah sebelumnya sempat hilang. Namun sekarang, dengan orientasi yang berbeda dibandingkan dengan keberanian Bujang sebelumnya. Pertemuan dengan Tuanku Imam juga memberikan pemahaman kepada Bujang untuk mau berdamai dengan takdir. Karena sekuat apapun manusia mampu berusaha dan berkuasa dengan tangannya, ada Kuasa dibalik kuasa yang berKuasa atas segala kehidupan ini, Tuhan Yang Maha Pencipta.
Penemuan keberanian Bujang akhirnya membawa Keluarga Tong kembali menjadi keluarga penguasa ekonomi bayangan di wilayah itu. Kantor yang telah diduduki oleh Basyir dan kekuatan yang berhasil dihimpunnya harus tumbang melalui keberanian Bujang yang dibantu oleh White (koki handal putra Frans) beserta pasukannya, si kembar Yuki dan Kiko (cucu Guru Bushi dari Jepang), dan Salonga beserta tim penembak jitunya dari Filipina. Peperangan antara kubu Basyir si pengkhianat dengan Bujang terjadi secara sengit di gedung perkantoran milik Keluarga Tong. Pengambilalihan kekuasaan keluarga Tong ke tangan Bujang lagi tersebut membawa arah kapal berlayar keluarga Tong ke arah yang baru. Arah Keluarga Tong di bawah pimpinan Bujang si Tauke Muda yang baru dengan keyakinan bahwa apapun yang menimpa mereka, Tuhan akan selalu memanggil untuk pulang ke pangkuan-Nya. Bahwa apapun yang menimpa mereka, masa lalu adalah sumber hikmah yang paling bijaksana. Bahwa apapun yang menimpa mereka, masa lalu ada bukan untuk disesali dan dijauhi, namun untuk dipeluk dan diterima. Bahwa apapun yang menimpa mereka, mereka pasti akan pulang. Ke kampung halaman. Ke pangkuan Tuhan. Seperti ayah dan Ibu Bujang yang telah “berpulang” lebih dulu ke pangkuan Tuhan.
Teknik Tere Liye dalam mengemas cerita yang didalamnya terdapat prinsip pendidikan akhlak sangat bagus. Pengemasan cerita yang menyisipkan pemahaman tentang ekonomi bayangan membuat saya teringat dengan cara penulis novel Zaynur Ridwan (penulis novel Indonesia Incorporated, Novus Ordo Seclorum dan The Greatest Design) dan Rizki Ridyasmara (penulis novel Jacatra Secret) menuangkan ide mereka dalam novelnya, meskipun novel kedua penulis tersebut lebih berbau konspirasi. Jika dibandingkan dengan kedua penulis novel konspirasi tersebut, karya Tere Liye ini lebih ringan dipahami karena lebih dititikberatkan pada proses pencarian jati diri seorang manusia melalui berbagai konflik panjang yang berliku hingga bermuara kepada judul novel ini, pulang. Novel terbaru Tere Liye ini disajikan dengan jangkauan segmen pembaca yang luas, dari anak-anak hingga orang dewasa. Hal ini dikarenakan isi materi novel yang mudah dipahami dengan sajian bahasa yang tidak berbelit-belit. Jika dibandingkan dengan novel-novel Tere Liye sebelumnya, makna yang ingin disampaikan oleh Tere Liye adalah sama, yaitu tentang pendidikan akhlak, namun hanya disajikan dengan materi yang berbeda. Tere Liye ibarat ingin memberikan nutrisi berupa karbohidrat kepada pembaca, namun melalui ubi jalar dengan berbagai olahannya menjadi makanan substitusi atau makanan alternatif dari beras (yang diolah menjadi nasi).
Jika dilihat kembali dari segi isi materinya, novel Tere Liye ini disampaikan dengan bahasa yang tidak membosankan, terlepas dari benar atau tidak isi materi tersebut dalam kehidupan nyata. Karena karya ini adalah karya sastra yang berbentuk novel fiksi, maka sah-sah saja jika penulis membuat cerita yang didalamnya mengandung unsur yang tidak semua orang berfikir tentang hal tersebut. Alur maju-mundur yang digunakan oleh penulis membuat pembaca merasa bersemangat dan penasaran untuk mengetahui hal apa yang akan terjadi selanjutnya karena dipotong dulu dengan cerita masa lalu, hingga akhirnya bertemu pada suatu masa kini di akhir cerita. Alur semacam ini juga membuat pembaca merasa dipenuhi kejutan dengan kejadian masa lalu yang sempat membuat pembaca bertanya-tanya dan hanya menemukan potongan-potongan teka-teki, hingga akhirnya pembaca menemukan jawaban lengkapnya di akhir cerita.
Akan tetapi, jenis alur yang maju mundur tersebut dapat menjadi kelemahan pula bagi novel ini, karena juga dapat berpotensi membuat pembaca bingung mengkonstruksikan urutan atau kronologi peristiwa dalam novel tersebut. Pembaca harus jeli menyusun sendiri kronologi peristiwa yang disajikan dalam novel Tere Liye ini. Selain hal tersebut, beberapa kata yang berasal dari bahasa asing juga tidak disajikan maknanya melalui catatan kaki. Beberapa penggunaan bahasa asing tidak semuanya dijelaskan dalam novel ini, misal katana, shuriken, da shou, miesoa, dan lain-lain. Namun untuk khanjar, sudah dijelaskan oleh penulis di tubuh tulisan. Makna kata asing yang belum diserap oleh bahasa Indonesia belum dituliskan secara konsisten di catatan kaki maupun di tubuh tulisan. Begitu pula dengan konsistensi penggunaan nama tokoh. Nama tokoh yang dimaksud adalah Tauke dan Tuanku Imam. Pembaca dapat merasa kebingungan menyimpulkan Tauke dan Tuanku Imam yang mana yang sedang terlibat dalam peristiwa tertentu karena pembaca harus jeli memahami alur cerita yang disajikan. Hal ini dapat membuat pembaca merasa bosan jika pembaca tidak jeli untuk mengingat kronologi peristiwa yang disajikan, karena alur yang digunakan untuk bercerita juga merupakan alur yang maju dan mundur.
Karena kelebihan yang dimiliki oleh novel ini, saya merekomendasikan novel ini untuk dapat dibaca oleh pembaca dengan berbagai segmen. Para anak dan remaja dapat meniru kegigihan dan semangat seorang Agam/Bujang dalam belajar memahami dinamika kehidupan, baik yang terjadi di sekolah maupun di lingkungan luar sekolah, seperti keluarga. Para orang tua juga dapat belajar dari sosok Ibu Bujang yang selalu tabah, setia dan sabar menghadapi ujian hidup yang menimpanya, begitu pula dengan mengambil pelajaran dari sosok-sosok lain yang hidupnya tidak seberuntung keluarga Tuanku Imam. Untuk kemudian kita mampu mengambil pelajaran dan hikmah dari orang lain tanpa perlu mengalaminya sendiri, sehingga mampu menjadi kereta sebagai pengantar kita menuju tujuan kehidupan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar