Judul buku : Pulang
Penulis :
Tere Liye
Penerbit : Republika
Cetakan : VII, November 2015
Harga buku : Rp. 65.000,-
Tebal buku, jumlah halaman : 13.5 x 20.5 cm, iv + 400 halaman
Tere Liye, makna sebenarnya adalah berupa kata
keterangan tujuan. Frase itu berasal dari bahasa negeri aktor terkenal
Bollywood, Shahrukh Khan. Adalah “untukmu”, seperti yang dijelaskan sendiri
oleh penulis bernama pena Tere Liye dalam salah satu seminar di Yogyakarta,
arti dibalik nama itu. Tere Liye adalah salah satu lagu dalam film lawas
Bollywood Veer Zara, yang dibintangi oleh Preity Zinta dan Shahrukh Khan. Tere
Liye dikenal sebagai penulis novel fiktif yang produktif dalam beberapa tahun
terakhir. Beliau telah menulis puluhan novel dengan penjualan yang masuk dalam
kategori best seller. Beberapa novel yang beliau tulis telah diangkat di
layar lebar, sebut saja Hafalan Sholat Delisa dan Bidadari-Bidadari Surga.
Novel terbaru Tere Liye yang diberi judul “Pulang”
ini, seolah menyuruh para perantau untuk kembali ke kampung halaman
masing-masing. Kata “pulang”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pergi
ke rumah atau ke tempat asal. Sementara itu dalam novel ini, pulang diartikan
oleh Tere Liye sebagai kembali ke kampung halaman tempat seseorang lahir dan
pemahaman makna tentang kata pulang yang berhubungan dengan asal manusia ada.
Perjalanan pulang untuk kembali ke kampung halaman biasanya dilakukan karena
kerinduan seseorang terhadap kampung halaman dan orang-orang yang ada di
kampung halamannya. Makna pulang yang juga ingin dipahamkan oleh Tere Liye
melalui novel ini adalah kembali ke asal manusia ada, tentang hakikat darimana
manusia ada dan pasti akan menuju ke asal manusia ada, yang bahasa sederhananya
adalah kematian. Sebuah proses dari perjalanan panjang manusia tentang masa
transisi dari alam dunia menuju alam barzakh, yaitu alam akhirat. Sebuah
proses yang pasti dialami oleh seluruh manusia di bumi.
Cerita dalam novel ini dibagi dalam 25 (dua puluh
lima) bab. Masing-masing bab mengandung cerita yang berkaitan satu sama lain.
Alur yang digunakan oleh Tere Liye dalam novel kali ini adalah alur maju mundur
atau campuran, yang bercerita tentang peristiwa sekarang dalam novel dan
peristiwa masa lalu yang dituliskan secara berselang-seling hampir di tiap bab
tubuh novel ini. Novel fiktif ini adalah novel tentang akhlak atau budi pekerti
yang dibalut dalam cerita penuh aksi dan strategi yang penuh dengan kejutan dan
dapat memukau pembaca. Kali ini, Tere Liye menyuguhkan bacaan cerdas yang tidak
melulu berkutat pada obyek keluarga, namun juga lebih meluas tentang
persahabatan, kesetiaan dan keikhlasan menerima takdir. Tere Liye berhasil
menunjukkan keluasan pengetahuanya dalam bidang ekonomi, sebagai bahan untuk
penyusunan alur dalam novel ini.
Adalah seorang laki-laki bernama Agam yang akrab
disapa sebagai Bujang, buah hati dari pria keturunan perewa (tukang pukul,
bandit) ulung Mohammad Samad dan wanita keturunan mulia bernama Midah, putri Tuanku
Imam (pejuang yang syahid saat pertempuran melawan Belanda). Setiap hari dia
akrab dipanggil sebagai Bujang. Nama Agam hanya diketahui oleh keluarga
dekatnya, yaitu ayah, ibu dan paman Agam (Tuanku Imam, kakak dari Ibu
Bujang/Midah). Darah tukang pukul dari ayahnya ternyata mengalir ke dalam
dirinya, begitu juga kecerdasan yang diwariskan dari ibunya. Semenjak kecil,
Agam tidak pernah mengetahui tentang latar belakang keluarga ayah dan ibunya.
Hal ini dikarenakan ayah dan ibunya memiliki kenangan yang menurut mereka
berdua harus dilupakan. Bujang sering mendapatkan perlakuan keras dari ayahnya
jika Bujang tertangkap basah sedang belajar agama kepada ibunya. Masa kecil
Bujang sangat berat karena cara didikan kasar ayahnya. Pada usia 15 (lima
belas) tahun, Agam diangkat menjadi anak angkat seorang keluarga besar,
Keluarga Tong, pelaku bisnis dalam shadow economy di sebuah Kota
Provinsi.
Ayah Bujang, Mohammad Samad merupakan mantan tukang
pukul Keluarga Tong. Ayah Samad atau kakek Bujang dari ayah merupakan tukang
pukul nomor wahid yang sangat ditakuti penduduk. Sebenarnya, Keluarga Tong
memiliki hutang budi kepada Samad karena Samad berhasil menyelamatkan Tauke
Besar (pemimpin utama Keluarga Tong saat itu) dalam suatu misi perebutan
kekuasaan. Akan tetapi, Samad memutuskan untuk keluar dari keluarga tersebut
dan berhenti menjadi tukang pukul dengan satu kaki yang patah karena ingin
meminang wanita yang dicintainya, Midah. Selain itu, Samad juga merasa tidak
berhasil melaksanakan tugasnya sebagai hamba Tauke Besar saat itu sehingga
tekadnya semakin bulat untuk memulai hidup yang baru bersama wanita yang
dicintainya di suatu tempat yang jauh dari hiruk pikuk Kota, di pedalaman hutan
rimba Sumatra.
Keluarga Ibu Bujang (Midah) adalah keluarga yang religius.
Ayah Midah atau kakek Bujang dari ibu adalah seorang pemuka agama yang
terkenal. Karena lamaran pertama Samad kepada Midah ditolak oleh keluarga besar
Midah, maka Midah kemudian menikah dengan lelaki lain. Akan tetapi, pernikahan
itu harus berakhir karena suatu hal. Hingga setelah 15 (lima belas) tahun
kemudian, Samad kembali meminang pujaan hatinya. Akhirnya lamaran Bujang
disetujui oleh keluarga Midah yang diwakili oleh kakak Midah. Pernikahan
kontroversial antara ayah dan ibu Bujang kemudian menyisakan luka yang mendalam
di hati mereka. Mereka diusir dari keluarga sehingga kemudian memulai kehidupan
baru yang jauh secara fisik maupun jiwa dari keluarga besar.
Bujang kemudian dibesarkan di Keluarga Tong mulai usia
15 (lima belas) tahun , yang penuh dengan aura kekerasan dan perebutan
kekuasaan. Potensi kecerdasan Bujang telah diketahui oleh pimpinan Keluarga
Tong, Tauke Besar saat itu. Semenjak menjalankan bisnis dalam ekonomi bayangan,
Tauke Besar selalu mengedepankan kekerasan dalam menjalankan aksinya merebut
dan mengambil alih kekuasaan perekonomian. Akan tetapi, potensi kecerdasan yang
dimiliki oleh Bujang dilihat oleh Tauke Besar sebagai aset masa depan yang
dapat membantu memperluas kekuasaan ekonominya. Tauke Besar kemudian mendidik
Bujang melalui Frans, guru dari Amerika yang membantu Bujang mendapatkan ijazah
persamaan hingga Sekolah Menengah Atas. Bujang kemudian mendapatkan ijazah
persamaan SMA nya pada usia 17 (tujuh belas tahun), setahun lebih cepat dari
anak SMA pada umumnya. Selanjutnya, Bujang berhasil mendapatkan gelar sarjana
dari Fakultas Ekonomi dari universitas paling terkenal di Ibu Kota. Gelar double
master kemudian dia dapatkan sekaligus dalam waktu yang bersamaan di
Amerika.
Karena darah tukang pukul atau bandit yang juga
mengalir di dalam dirinya, awalnya Bujang tidak ingin bersekolah. Akan tetapi,
akhirnya Bujang mau bersekolah setelah kalah dalam kesepakatan yang dibuat
dengan Tauke Besar. Bujang kalah dalam pertempuran Amok, pertempuran dimana
Bujang harus bertahan menghadapi berpuluh-puluh tukang pukul profesional dalam
lingkaran dengan ukuran yang ditentukan. Bujang hanya mampu bertahan selama 19
detik padahal kesepakatan yang dibuat dengan Tauke Besar adalah 20 menit
bertahan dalam penyerangan. Hal ini membuat Bujang harus tetap bersekolah.
Namun demikian, Kopong, salah satu tukang pukul paling penting di Keluarga Tong
meminta izin kepada Tauke Besar agar Bujang diperbolehkan untuk belajar ilmu
membela diri. Alhasil Tauke Besar mengizinkan sehingga aktivitas Bujang sangat
sibuk saat itu. Pagi bersekolah, malam berguru kepada Kopong. Setelah Kopong
menganggap Bujang telah menguasai pelajaran yang diberikan Kopong, maka Kopong
berinisiatif untuk memberikan guru baru kepada Bujang. Bujang belajar ilmu samurai
sejati dari Guru Bushi (Jepang) dan teknik menembak jitu dengan pistol dari
Salonga (Filipina). Guru Bushi dan Salonga merupakan rekan setia Keluarga Tong
yang terikat karena kenangan “manis” masa lalu.
Bujang akhirnya dipercaya sebagai penyelesai konflik
tingkat tinggi dalam Keluarga Tong, sehingga membuat Bujang sering ke luar
negeri menyelesaikan konflik besar. Hal ini dikarenakan kelihaian dan
kecerdasan, serta ketegasan yang dimilikinya ketika berbicara. Ketika Keluarga
Tong harus terlibat dalam konflik dengan keluarga pengusaha besar lain di Makau
yaitu Keluarga Lin, Bujang lah yang dipercaya oleh Tauke Besar untuk
bernegosiasi dengan keluarga Lin dalam acara ulang tahun penguasa ekonomi
Asia-Pasifik di Hong Kong, Master Dragon. Keluarga Lin telah mencuri prototype
pemindai tubuh manusia paling mutakhir yang berhasil dikembangkan oleh peneliti
yang didanai oleh Keluarga Tong. Akan tetapi, negosiasi yang kemudian
berlangsung di markas Keluarga Lin di Makau tersebut menuai kemarahan Keluarga
Lin karena pucuk tertinggi keluarga Lin harus meregang nyawa di tangan Bujang
melalui kartu nama beracun yang berhasil Bujang lemparkan dengan tangkas ke
leher pimpinan Keluarga Lin.
Peristiwa itu kemudian membuat naik pitam keluarga Lin
di Makau. Basyir, seorang tukang pukul penting Keluarga Tong keturunan Arab
yang sangat dekat dengan Bujang kemudian membelot menjadi pengkhianat, bekerja
sama dengan putra Keluarga Lin untuk membalas dendam. Basyir ingin membalas
kematian orang tuanya yang meninggal karena dibakar oleh Keluarga Tong saat
perebutan kekuasaan perusahaan tekstil ketika Basyir masih kecil. Sedangkan
bagi putra Keluarga Lin, adalah kehormatan yang tinggi mampu membawa Bujang
(pembunuh ayahnya) ke Makau untuk dipersembahkan sebelum jasad ayahnya
dikremasi. Mereka berdua kemudian merencanakan penyerangan dengan rencana yang
matang secara bersama-sama, dengan memecah konsentrasi para anggota keluarga
Tong agar tidak terkonsentrasi di markas besar Keluarga Tong. Bujang baru
mengetahui bahwa pengkhianatan yang sedang menyerang keluarga Tong adalah
pengkhianatan dari dalam dan dari luar keluarga Tong setelah Basyir dan putra
Keluarga Lin berkumpul bersama di markas besar untuk menyerang Tauke Besar yang
sedang sakit, Bujang, Parwez dan Joni (dua
nama terakhir adalah anggota penting Keluarga Tong). Pertempuran terjadi secara
sengit dengan jumlah yang tidak seimbang. Joni kemudian meninggal pada
pertempuran itu. Akhirnya, ketika hampir tiba di penghujung pertempuran karena
tenaga dan kekuatan Bujang dan Tauke Besar sudah hampir habis, Bujang, Tauke
Besar dan Parwez berhasil menyelamatkan diri melalui lorong kecil di bawah
ranjang tempat tidur Tauke Besar. Lorong tersebut hanya diketahui oleh Kopong
dan Tauke Besar. Lorong tersebut bermuara ke rumah kolega Tauke Besar, yang
tidak diketahui oleh Bujang.
Tauke Besar dan Kopong sudah merencakan hal darurat tersebut
dengan matang. Sayangnya, Kopong telah mendahului mereka menghadap Sang
Pencipta beberapa tahun sebelum insiden itu terjadi. Tauke Besar dan Kopong
membuat kesepakatan dengan Tuanku Imam (paman Bujang/Agam) yang telah berhasil
mendirikan pondok pesantren di kota tersebut. Siapapun yang keluar dari lorong
besi di halaman rumah Tuanku Imam yang terhubung dengan markas Tauke Besar,
berarti keadaan benar-benar darurat dan orang itu harus segera dibawa ke tempat
yang jauh. Tuanku Imam menepati kesepakatan tersebut dengan membawa Bujang,
Tauke Besar dan Parwez ke pondok pesantren milik Tuanku Imam yang berjarak
sekitar 30 km dari Ibu Kota. Bujang dan Parwez akhirnya selamat dengan
sementara disembunyikan di tempat yang jauh dari Ibu Kota. Namun, Tauke Besar akhirnya
menemui ajalnya. Dia meninggal dengan tidak satupun kerabat keluarga Tong yang
mengantarkan kepulangannya dari dunia ini menuju alam lain, bahkan prosesi
pemakamannya dilakukan oleh petugas rumah duka dengan identitas yang bukan
sebenarnya demi kelancaran prosesi pemakaman.
Pertemuan antara Tuanku Imam selaku paman Bujang
merupakan babak baru bagi kehidupan Agam/Bujang. Akhirnya Bujang menemukan
identitas diri dan pemahaman yang utuh dari Tuanku Imam. Bagaimanapun, Tuanku
Imam adalah seorang yang memahami apa yang terjadi di masa lalu. Tuanku Imam
turut menjadi saksi kepiluan ayah dan ibu Bujang saat akan menjalani kehidupan
sendiri, yang dimulai dari nol tanpa bantuan keluarga besar. Bujang akhirnya
memahami perlakuan kasar yang diberikan oleh ayahnya di masa lalu, beserta kepingan-kepingan
teka-teki yang selama ini Bujang berusaha abaikan. Kepingan-kepingan teka-teki
tentang sikap ayahnya dalam mendidiknya, alasan mengapa ibunya berpesan agar
Bujang menghindari minuman keras dan segala makanan dari babi, serta tentang kehidupan ayahnya di masa lalu sebagai
tukang pukul handal di Keluarga Tong. Pertemuan dengan Tuanku Imam saat itu
juga membuat mata hati Bujang terbuka. Bujang yang sebelumnya memiliki rasa
takut setelah sekian lama tidak memiliki rasa takut karena kekalahan di
pertempuran melawan Basyir sebelumnya, akhirnya menemukan pemahaman yang baru
tentang rasa takut dan keberanian. Keberanian Bujang telah dimiliki lagi
setelah sebelumnya sempat hilang. Namun sekarang, dengan orientasi yang berbeda
dibandingkan dengan keberanian Bujang sebelumnya. Pertemuan dengan Tuanku Imam
juga memberikan pemahaman kepada Bujang untuk mau berdamai dengan takdir.
Karena sekuat apapun manusia mampu berusaha dan berkuasa dengan tangannya, ada
Kuasa dibalik kuasa yang berKuasa atas segala kehidupan ini, Tuhan Yang Maha
Pencipta.
Penemuan keberanian Bujang akhirnya membawa Keluarga
Tong kembali menjadi keluarga penguasa ekonomi bayangan di wilayah itu. Kantor
yang telah diduduki oleh Basyir dan kekuatan yang berhasil dihimpunnya harus
tumbang melalui keberanian Bujang yang dibantu oleh White (koki handal putra
Frans) beserta pasukannya, si kembar Yuki dan Kiko (cucu Guru Bushi dari
Jepang), dan Salonga beserta tim penembak jitunya dari Filipina. Peperangan
antara kubu Basyir si pengkhianat dengan Bujang terjadi secara sengit di gedung
perkantoran milik Keluarga Tong. Pengambilalihan kekuasaan keluarga Tong ke
tangan Bujang lagi tersebut membawa arah kapal berlayar keluarga Tong ke arah
yang baru. Arah Keluarga Tong di bawah pimpinan Bujang si Tauke Muda yang baru
dengan keyakinan bahwa apapun yang menimpa mereka, Tuhan akan selalu memanggil
untuk pulang ke pangkuan-Nya. Bahwa apapun yang menimpa mereka, masa lalu
adalah sumber hikmah yang paling bijaksana. Bahwa apapun yang menimpa mereka,
masa lalu ada bukan untuk disesali dan dijauhi, namun untuk dipeluk dan
diterima. Bahwa apapun yang menimpa mereka, mereka pasti akan pulang. Ke
kampung halaman. Ke pangkuan Tuhan. Seperti ayah dan Ibu Bujang yang telah
“berpulang” lebih dulu ke pangkuan Tuhan.
Teknik Tere Liye dalam mengemas cerita yang didalamnya
terdapat prinsip pendidikan akhlak sangat bagus. Pengemasan cerita yang
menyisipkan pemahaman tentang ekonomi bayangan membuat saya teringat dengan
cara penulis novel Zaynur Ridwan (penulis novel Indonesia Incorporated,
Novus Ordo Seclorum dan The Greatest Design) dan Rizki Ridyasmara
(penulis novel Jacatra Secret) menuangkan ide mereka dalam novelnya,
meskipun novel kedua penulis tersebut lebih berbau konspirasi. Jika
dibandingkan dengan kedua penulis novel konspirasi tersebut, karya Tere Liye
ini lebih ringan dipahami karena lebih dititikberatkan pada proses pencarian
jati diri seorang manusia melalui berbagai konflik panjang yang berliku hingga
bermuara kepada judul novel ini, pulang. Novel terbaru Tere Liye ini disajikan
dengan jangkauan segmen pembaca yang luas, dari anak-anak hingga orang dewasa.
Hal ini dikarenakan isi materi novel yang mudah dipahami dengan sajian bahasa
yang tidak berbelit-belit. Jika dibandingkan dengan novel-novel Tere Liye
sebelumnya, makna yang ingin disampaikan oleh Tere Liye adalah sama, yaitu
tentang pendidikan akhlak, namun hanya disajikan dengan materi yang berbeda. Tere
Liye ibarat ingin memberikan nutrisi berupa karbohidrat kepada pembaca, namun
melalui ubi jalar dengan berbagai olahannya menjadi makanan substitusi atau
makanan alternatif dari beras (yang diolah menjadi nasi).
Jika dilihat kembali dari segi isi materinya, novel Tere
Liye ini disampaikan dengan bahasa yang tidak membosankan, terlepas dari benar
atau tidak isi materi tersebut dalam kehidupan nyata. Karena karya ini adalah
karya sastra yang berbentuk novel fiksi, maka sah-sah saja jika penulis membuat
cerita yang didalamnya mengandung unsur yang tidak semua orang berfikir tentang
hal tersebut. Alur maju-mundur yang digunakan oleh penulis membuat pembaca
merasa bersemangat dan penasaran untuk mengetahui hal apa yang akan terjadi
selanjutnya karena dipotong dulu dengan cerita masa lalu, hingga akhirnya
bertemu pada suatu masa kini di akhir cerita. Alur semacam ini juga membuat
pembaca merasa dipenuhi kejutan dengan kejadian masa lalu yang sempat membuat
pembaca bertanya-tanya dan hanya menemukan potongan-potongan teka-teki, hingga
akhirnya pembaca menemukan jawaban lengkapnya di akhir cerita.
Akan tetapi, jenis alur yang maju mundur tersebut dapat
menjadi kelemahan pula bagi novel ini, karena juga dapat berpotensi membuat
pembaca bingung mengkonstruksikan urutan atau kronologi peristiwa dalam novel
tersebut. Pembaca harus jeli menyusun sendiri kronologi peristiwa yang
disajikan dalam novel Tere Liye ini. Selain hal tersebut, beberapa kata yang
berasal dari bahasa asing juga tidak disajikan maknanya melalui catatan kaki. Beberapa
penggunaan bahasa asing tidak semuanya dijelaskan dalam novel ini, misal katana,
shuriken, da shou, miesoa, dan lain-lain. Namun untuk khanjar, sudah
dijelaskan oleh penulis di tubuh tulisan. Makna kata asing yang belum diserap
oleh bahasa Indonesia belum dituliskan secara konsisten di catatan kaki maupun
di tubuh tulisan. Begitu pula dengan konsistensi penggunaan nama tokoh. Nama
tokoh yang dimaksud adalah Tauke dan Tuanku Imam. Pembaca dapat merasa
kebingungan menyimpulkan Tauke dan Tuanku Imam yang mana yang sedang terlibat
dalam peristiwa tertentu karena pembaca harus jeli memahami alur cerita yang
disajikan. Hal ini dapat membuat pembaca merasa bosan jika pembaca tidak jeli
untuk mengingat kronologi peristiwa yang disajikan, karena alur yang digunakan
untuk bercerita juga merupakan alur yang maju dan mundur.
Karena kelebihan yang dimiliki oleh novel ini, saya
merekomendasikan novel ini untuk dapat dibaca oleh pembaca dengan berbagai segmen.
Para anak dan remaja dapat meniru kegigihan dan semangat seorang Agam/Bujang
dalam belajar memahami dinamika kehidupan, baik yang terjadi di sekolah maupun
di lingkungan luar sekolah, seperti keluarga. Para orang tua juga dapat belajar
dari sosok Ibu Bujang yang selalu tabah, setia dan sabar menghadapi ujian hidup
yang menimpanya, begitu pula dengan mengambil pelajaran dari sosok-sosok lain
yang hidupnya tidak seberuntung keluarga Tuanku Imam. Untuk kemudian kita mampu
mengambil pelajaran dan hikmah dari orang lain tanpa perlu mengalaminya
sendiri, sehingga mampu menjadi kereta sebagai pengantar kita menuju tujuan
kehidupan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar