Ketika Indonesia dinobatkan sebagai negara terkorup se-Asia oleh The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC)
pada tahun 2005 (1), masihkah masyarakat dan pemerintah Indonesia
membusungkan dada atas “prestasi” ini? Ketika Indonesia didaulat sebagai
negara terkorup se-Asia Tenggara oleh Transparency International
pada tahun 2009 (2), masihkah pemerintah pantas untuk bersantai-santai
menikmati kekuasaannya? Ketika masyarakat Indonesia berada jauh di bawah
predikat “sejahtera secara merata” di dalam negeri zamrud khatulistiwa
dengan segala sumber kekayaan yang dimilikinya, masihkah pemerintah
merasa bangga terhadap hasil amanah yang diembannya? Ketika korupsi
telah menjadi budaya dan dianggap biasa di negara ini serta merugikan
berbagai lapisan masyarakat, masihkah kita sebagai masyarakat Indonesia
yang sedih ketika Indonesia kalah dalam pertandingan sepak bola melawan
negara lain itu, tidak peduli dan tetap merasa nyaman dengan masalah
besar yang tidak tau kapan dan bagaimana ujungnya ini?
Secuil Makna Korupsi
Kata korupsi telah menjadi kian akrab di telinga kita akhir-akhir ini
karena sumbangan media massa dan elektronik. Kata ini sering
didengungkan dalam uraian dan ulasan berita di media tersebut. Korupsi,
berdasarkan penjelasan dari M. Busyro Muqoddas selaku ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi tahun 2011 lalu, dikategorikan sebagai seluruh
tindakan yang berakibat merugikan negara secara langsung, berbeda dengan
tindakan koruptif (3). Tindakan kecil yang belum berujung pada kerugian
negara didefinisikan sebagai tindakan koruptif (3). Tindakan curang dan
tidak jujur yang sebenarnya bisa dilakukan oleh semua orang dari usia
yang muda hingga tua dan semua kalangan profesi dari pemulung sampah,
pedagang bakso keliling, guru, murid sekolah, mahasiswa, dosen, dokter,
perawat, teknisi hingga pimpinan perusahaan. Tindakan koruptif bisa
dilihat saat ulangan umum oleh para murid yang melakukan pencontekan,
atau oleh pedagang bakso keliling ketika menggunakan formalin sebagai
pengawet bakso agar dapat bertahan lebih lama. Ketika seseorang telah
berkata tidak jujur tentang suatu permasalahan kecil, ia telah melakukan
tindakan koruptif meskipun tindakan itu tidak merugikan negara secara
langsung. Apapun perbedaan definisi kedua kata ini, saya sendiri
mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan tidak baik dan tercela yang
dapat merugikan orang lain. Paling tidak kalimat itulah yang keluar jika
saya ditanya tentang hakikat korupsi itu sendiri.
Jika kita menggunakan definisi dari M. Busyro Muqoddas tersebut, apa
yang terjadi sekarang ini adalah tindakan koruptif yang telah
mengurat-akar dalam moral bangsa Indonesia. Tindakan koruptif adalah
penyebab mendasar perkembangan korupsi di Indonesia. Masyarakat telah
patuh dan menjadi budak atas tindakan koruptif itu sendiri demi
kesejahteraan mereka. Apakah masyarakat umum bisa diletakkan dalam
posisi yang salah? Mereka sebenarnya adalah korban sekaligus pelaku.
Masyarakat di level bawah adalah korban tindakan korupsi yang dilakukan
oleh masyarakat level atas karena hak-hak yang tidak terpenuhi.
Masyarakat level bawah berpotensi menjadi pelaku tindakan koruptif yang
dapat mengarah dan menjadi dasar perkembangan korupsi di level atas
pemerintahan. Mengapa tidak? Hal ini bisa terjadi karena masyarakat
level bawah merupakan awal dari kehidupan masyarakat level atas. Hal ini
dapat dipahami dengan peran sebuah keluarga dalam masyarakat level
bawah sebagai pencetak generasi masyarakat level atas pemerintahan.
Masyarakat pemegang kekuasaan di level atas pemerintahan rentan sebagai
pelaku korupsi yang merugikan negara. Kerugian negara yang diakibatkan
oleh tindakan korupsi para pejabat pemerintah dan pengusaha besar sudah
mencapai angka dengan jumlah digit nol terakhir sebanyak dua belas.
Apakah belum cukup dan masih akan ditingkatkan hingga lima belas atau
delapan belas digit?
Metode Pencegahan di Instansi Sekolah?
Ketika metode pencegahan terhadap tindakan koruptif dianggap sebagai
tindakan yang tidak efisien untuk memberantas korupsi pada level atas di
tingkat pemerintah, maka saat itulah kita telah mempertahankan dan
memupuk akar korupsi hingga menjadi pohon yang subur dan tinggi seperti
sekarang ini, bahkan menghasilkan bibit-bibit baru. Pendidikan moral
yang merupakan salah satu upaya pencegahan terjadinya tindakan koruptif
hampir dilupakan untuk diwacanakan dan direalisasikan. Penyusunan
undang-undang dan penegasan terhadap hukum yang berlaku menjadi metode
yang dikoar-koarkan oleh pejabat pemerintahan dengan sedikit diiringi
realisasi nyata undang-undang yang ada dan bentuk ketegasannya. Moral
dan akhlak yang baik sebagai landasan utama untuk bersikap dan
bertingkah laku, oleh sebagian besar bangsa Indonesia ternyata tidak
digunakan secara menyeluruh dalam konsep hidup manusia. Budaya korupsi
yang terjadi sekarang ini adalah sebagai akibat dari penyingkiran
nilai-nilai moral dan akhlak oleh masyarakat serta didukung oleh
ketidaktegasan hukum yang sudah ditetapkan.
Sedikit
mengutip semboyan pemeliharaan kesehatan di Indonesia, bahwa mencegah
lebih baik daripada mengobati. Metode untuk mencegah adanya tindakan
koruptif pada masyarakat di tingkat bawah seyogyanya menjadi alternatif
metode yang dapat mengurangi kerugian negara akibat korupsi pada
masyarakat di level atas pemerintahan. Pencegahan tindakan koruptif
dapat dilakukan dengan penanaman moral dan akhlak yang baik untuk
anak-anak dan remaja. Beberapa informasi menyebutkan bahwa pendidikan
moral dan akhlak dapat dilakukan oleh para guru dan para pendidik di
lingkungan sekolah baik dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) (4,5). Salah satu cara yang dilakukan
dalam lingkup pendidikan di instansi sekolah tersebut adalah dengan
memasukkan antikorupsi ke dalam kurikulum resmi sekolah meskipun
terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan lagi, termasuk
tentang wujud nyata tindakan antikoruptif yang dihasilkan (5) seperti
jujur, amanah terhadap tanggung jawab, peduli terhadap lingkungan
sekitar, memahami hak dan kewajiban masing-masing manusia serta tidak
bertindak sewenang-wenang terhadap manusia dan alam ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa.
Wujud nyata tindakan antikoruptif masih
dipertanyakan mengingat keterikatan sistem nilai yang terdapat dalam
sistem pendidikan instansi sekolah di Indonesia. Sistem nilai yang
menggunakan angka-angka dengan tolok ukur seperti dalam mata pelajaran
lain di sekolah tidak bisa dijadikan alat ukur yang pasti terhadap
keberhasilan kurikulum yang ditetapkan dan diterapkan. Penerapan metode
antikoruptif di instansi sekolah-sekolah layaknya tak perlu selalu
bertendensi terhadap adanya legalisasi nama “mata pelajaran
antikoruptif” dalam kurikulum sekolah hingga bersistem sama dengan mata
pelajaran-mata pelajaran lain. Sedikit mengutip secuil kalimat dari guru
Sekolah Menengah Pertama (SMP) saya saat masih bersekolah di SMP yang
bernama Pak Eko (6), “Mengapa harus repot-repot ada ujian akhir sekolah
ataupun ulangan umum kenaikan kelas secara tertulis untuk ujian mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama? Jatuhkan saja
dompet di depan kantor, atau buat saja konsep kantin kejujuran yang
tidak ditunggui oleh para pedagang atau dengan metode uji yang lain,
yang tidak diketahui oleh para murid, kemudian nilai murid-murid yang
tetap bersikukuh dengan nilai kejujuran yang dianutnya maupun
murid-murid yang goyah dengan ketidakjujuran. Setelah itu beri bimbingan
mental dan spiritual yang lebih intensif untuk murid-murid yang masih
tidak menghargai makna kejujuran dalam ujian praktek yang dilakukan.
Selesai”. Ujian tulis telah menjadi metode yang hasil konkretnya
dipertanyakan terhadap pembentukan kepribadian dalam sistem penilaian
antikoruptif di instansi sekolah.
Jika melihat metode
pendidikan melalui instansi sekolah tersebut, tampaknya kita melupakan
pendidikan awal yang sebenarnya telah kita terima sebelum memasuki
pendidikan di instansi sekolah. Hakikat asal kita sendiri sebagai
seorang manusia yang sedang duduk untuk membaca tulisan ini sepertinya
perlu direnungi lagi. Kita adalah makhluk ciptaan Sang Pencipta seluruh
kehidupan alam semesta. Kita adalah manusia yang dilahirkan oleh ibu
yang mulia. Saya masih ingat dulu ketika ada pertanyaan dalam mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial saat masih bersekolah di Madrasah
Ibtidaiyah (MI) tentang bentuk aturan kehidupan terkecil dalam suatu
masyarakat di suatu negara. Jawaban pertanyaan itu adalah sebuah
keluarga. Keluarga merupakan pondasi utama pembangunan moral dan akhlak
manusia. Keluarga adalah bentuk interaksi dan wadah komunikasi,
organisasi dan tatanan paling kecil dalam suatu negara yang menentukan
masa depan organisasi besar seperti sebuah negara. Definisi ini bukanlah
dari definisi seorang sosiolog atau negarawan. Keluarga yang didalamnya
terdapat ayah, ibu dan anak-anak mereka. Keluarga adalah tempat untuk
mendidik dan mengajarkan, serta belajar tentang nilai-nilai apapun,
entah nilai yang baik maupun buruk atau benar maupun salah.
Keluarga Bahagia
Keluarga harmonis dan bahagia secara jasmani dan rohani akan
menghasilkan generasi-generasi yang berkualitas. Generasi-generasi yang
berakhlak mulia, berbudi luhur dan bermoral indah. Generasi-generasi
yang dilahirkan dari proses belajar yang paling utama dalam rentang
waktu satu siklus kehidupan seorang manusia di dunia. Generasi-generasi
yang dididik dan diajar oleh orang tua yang berakhlak mulia akan menjadi
manusia yang utuh, dan seutuh-utuhnya manusia meskipun tak bisa menjadi
sempurna di mata manusia maupun dalam pandangan Sang Pencipta. Akhlak
mulia yang akan menjadi bekal utama untuk kehidupan manusia kelak ketika
dia sudah dewasa. Generasi-generasi berkarakter kuat yang tidak mudah
goyah dengan goncangan buruk apapun di dunia dan memiliki landasan
bersikap yang kokoh. Generasi-generasi yang memiliki kejelasan tujuan
hidup dan paham tentang hakikat hidup di dunia ini. Generasi-generasi
yang dapat menjadi pemimpin, terutama untuk dirinya sendiri dan orang
lain. Generasi yang selalu menebarkan kebaikan di tempat ia tinggal dan
bermukim. Mungkinkah Indonesia memiliki generasi-generasi seperti itu?
Secara ideal, ayah dan ibu yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi
anak-anaknya akan membuat anak-anak dalam keluarga tersebut merasa aman
dan nyaman pula. Ayah dan ibu yang selalu menanamkan berbagai disiplin
akhlak yang mulia melalui cara yang lemah lembut dan tanpa kekerasan
akan memanen anak-anak yang berakhlak mulia, serta memiliki akhlak yang
lemah lembut pula. Ayah dan ibu yang selalu menyediakan kesempatan
untuk bercengkerama dan berdiskusi akan membuat anak-anaknya merasa
menjadi orang yang bahagia saat berada di tengah-tengah keluarga. Ayah
dan ibu yang selalu memperhatikan dan memahami perkembangan anak-anaknya
akan membuat anak-anak berkembang sesuai dengan potensi yang ada dalam
diri mereka sendiri. Ayah dan ibu yang selalu membimbing dan mengarahkan
anak-anaknya ke dalam jalan hidup yang lurus akan membuat anak-anaknya
menjadi orang yang berada di jalan yang lurus, yang diridhoi Tuhan Yang
Maha Kuasa. Ayah dan ibu yang bisa berperan ganda dalam keluarga,
sebagai teman, sahabat, guru sekaligus pengayom kehidupan anak-anaknya.
Bukan ayah dan ibu yang selalu menuruti keinginan anak-anaknya ketika
si buah hati menginginkan sesuatu. Bukan ayah dan ibu yang selalu
memberikan uang jajan lebih kepada anaknya. Bukan ayah dan ibu yang
selalu tidak pernah ada di rumah ketika anak-anak membutuhkan bantuan
untuk hanya menemani ataupun memandu pekerjaan rumah sekolah. Bukan ayah
dan ibu yang terkadang mengeluarkan suara yang lantang ketika anak
melakukan kesalahan. Bukan ayah dan ibu yang tidak pernah menemani makan
di meja makan saat waktu makan tiba. Bukan ayah dan ibu yang selalu
tidak pernah mengantar anak-anaknya sekedar berangkat ke sekolah. Bukan
ayah dan ibu yang tidak pernah tau dengan siapa saja anaknya bergaul dan
berinteraksi. Bukan ayah dan ibu yang tidak pernah tau apa yang
dilakukan oleh anak-anaknya sehari-hari dengan teman bermain mereka.
Sekolah dan keluarga ibarat dua wajah yang berbeda namun sebenarnya
memiliki goresan niat yang sama. Sekolah adalah tempat untuk mempelajari
berbagai macam ilmu pengetahuan dasar dari lingkungan sekitar dan
manusia sekitar secara formal, tertulis dan terikat oleh aturan-aturan
yang dibuat oleh instansi yang bersangkutan. Sekolah, di negara ini
merupakan pendidikan formal yang secara tidak langsung dan mau tidak mau
menghasilkan pemikiran bahwa pendidikan formal semacam sekolah
ditujukan untuk mencari penghidupan, atau dengan bahasa lugasnya saya
katakan mencari uang. Hakikat dari pendidikan formal itu sendiri sudah
bergeser dari mencari ilmu menjadi mencari uang. Hal tersebut memang
merupakan sebuah pemikiran yang realistis mengingat penghargaan terhadap
ilmu pengetahuan di negeri ini yang tidak sama dengan negara maju.
Keluarga sendiri adalah tempat untuk mempelajari berbagai macam disiplin
ilmu dengan peran utama ibu dan ayah sebagai pendidik utama. Hanya saja
memiliki sistem tolak ukur nilai dan mekanisme penegakan peraturan yang
berbeda dengan pendidikan formal seperti sekolah. Peraturan di dalam
pendidikan yang bernama keluarga tidak selalu berdasarkan pada coretan
dan persetujuan hitam di atas putih, yang hal tersebut ditemukan di
dalam pendidikan formal seperti sekolah.
Keluarga
adalah tempat pembentukan karakter dan kepribadian anak yang penting di
samping sekolah, bahkan bisa jadi lebih penting. Aturan-aturan tidak
tertulis dalam keluarga hendaknya mendorong anggota dalam keluarga untuk
melakukan berbagai hal yang lurus dan tidak terikat dengan adanya
penghargaan dan sanksi (reward and punishment). Penghargaan dan
sanksi tidak tertulis tersebut hendaknya mendorong anak untuk melakukan
hal-hal yang baik dengan tanpa tujuan untuk mendapatkan penghargaan
dari orang tua, namun memang karena kesadaran dari dalam diri terhadap
kewajiban berbuat baik untuk sesama manusia. Kesadaran tersebut akan
memicu perbuatan-perbuatan baik lainnya sehingga keluarga sebagai wadah
pendidikan yang penting memiliki realisasi fungsi. Perbuatan-perbuatan
baik yang dimaksud adalah tentang hubungan dengan sesama manusia, alam
sekitar dan Sang Pencipta. Bukan tidak mungkin ketika ketiga hubungan
ini baik, maka bukan hanya korupsi yang tidak dilakukan, namun juga
tindakan-tindakan buruk lainnya.
Apabila tiap-tiap
anggota keluarga menyadari peran dan hakikat dalam posisi mereka,
generasi yang tangguh dan berkarakter akan mewarnai kemudian mengubah
negeri yang kata orang sedang carut-marut akibat ketidakjujuran para
pejabatnya ini. Usaha tersebut memang membutuhkan waktu yang tidak cepat
untuk memiliki generasi pembangun bangsa dan beridentitas seperti itu,
namun jika semuanya untuk Indonesia yang lebih baik dan kemaslahatan
bersama, mengapa tidak? Jika kita adalah manusia yang berumur antara 15
hingga 22 tahun dan belum membentuk sebuah tatanan negara kecil yang
disebut keluarga, cukup sekiranya kita memiliki bekal dan menanamkan
dengan tegas terhadap diri kita sendiri untuk bersikap dan bertingkah
laku sesuai dengan ajaran agama kita masing-masing. Saya percaya, semua
agama mengajarkan hal yang baik untuk pemeluknya dan umat manusia secara
keseluruhan. Seandainya kita adalah orang yang sudah memiliki ikatan
hidup berbentuk keluarga, marilah kita bersama-sama disamping membekali
diri sendiri dan terus belajar tentang hakikat kehidupan di dunia ini,
kita juga berkewajiban mengajarkan hal-hal yang telah kita peroleh
tersebut kepada anak-anak kita dengan cara yang lemah lembut dan santun,
tapi tetap masuk ke dalam otak dan hati generasi-generasi penerus itu.
Indonesia Bisa!!!
Mari mengubah Indonesia. Mari membuat Indonesia menjadi lebih baik.
Mari bersama-sama membuat Indonesia menjadi lebih terang. Kewajiban
untuk me”nerang”kan Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah di
garis atas kebijakan saja, namun juga tugas para penduduk negeri ini,
terutama para pemuda. Hal ini menjadi tugas kita bersama-sama karena
Indonesia masih belum bisa seperti Hongkong yang dengan lembaga Independent Commision Against Corruption (ICAC)
telah bekerja keras memberantas korupsi dan sindikatnya hingga menjadi
negara yang bersih dari kotoran yang disebut korupsi (2). Pemuda adalah
pemimpin masa depan bangsa. Pemuda yang bermartabat, berkarakter dan
bermoral akan menjadi pemimpin yang baik terutama untuk dirinya sendiri.
Pemimpin yang baik untuk diri sendiri adalah pemimpin yang ideal bagi
keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia. Bukan tidak mungkin jika
bangsa ini mampu bersinar terang dengan niat, tekad, kemauan dan usaha
serta semangat yang berkobar untuk memerangi moral yang buruk dan akhlak
yang bobrok itu. Mari bersama-sama melakukannya. Kalau meniru semboyan
South East ASEAN (SEA) Games tahun 2011 lalu, Indonesia bisa. Pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar