Rabu, 20 Januari 2016

Pencegahan Korupsi di Hilir

Ketika Indonesia dinobatkan sebagai negara terkorup se-Asia oleh The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) pada tahun 2005 (1), masihkah masyarakat dan pemerintah Indonesia membusungkan dada atas “prestasi” ini? Ketika Indonesia didaulat sebagai negara terkorup se-Asia Tenggara oleh Transparency International pada tahun 2009 (2), masihkah pemerintah pantas untuk bersantai-santai menikmati kekuasaannya? Ketika masyarakat Indonesia berada jauh di bawah predikat “sejahtera secara merata” di dalam negeri zamrud khatulistiwa dengan segala sumber kekayaan yang dimilikinya, masihkah pemerintah merasa bangga terhadap hasil amanah yang diembannya? Ketika korupsi telah menjadi budaya dan dianggap biasa di negara ini serta merugikan berbagai lapisan masyarakat, masihkah kita sebagai masyarakat Indonesia yang sedih ketika Indonesia kalah dalam pertandingan sepak bola melawan negara lain itu, tidak peduli dan tetap merasa nyaman dengan masalah besar yang tidak tau kapan dan bagaimana ujungnya ini?

Secuil Makna Korupsi
            Kata korupsi telah menjadi kian akrab di telinga kita akhir-akhir ini karena sumbangan media massa dan elektronik. Kata ini sering didengungkan dalam uraian dan ulasan berita di media tersebut. Korupsi, berdasarkan penjelasan dari M. Busyro Muqoddas selaku ketua Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2011 lalu, dikategorikan sebagai seluruh tindakan yang berakibat merugikan negara secara langsung, berbeda dengan tindakan koruptif (3). Tindakan kecil yang belum berujung pada kerugian negara didefinisikan sebagai tindakan koruptif (3). Tindakan curang dan tidak jujur yang sebenarnya bisa dilakukan oleh semua orang dari usia yang muda hingga tua dan semua kalangan profesi dari pemulung sampah, pedagang bakso keliling, guru, murid sekolah, mahasiswa, dosen, dokter, perawat, teknisi hingga pimpinan perusahaan. Tindakan koruptif bisa dilihat saat ulangan umum oleh para murid yang melakukan pencontekan, atau oleh pedagang bakso keliling ketika menggunakan formalin sebagai pengawet bakso agar dapat bertahan lebih lama. Ketika seseorang telah berkata tidak jujur tentang suatu permasalahan kecil, ia telah melakukan tindakan koruptif meskipun tindakan itu tidak merugikan negara secara langsung. Apapun perbedaan definisi kedua kata ini, saya sendiri mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan tidak baik dan tercela yang dapat merugikan orang lain. Paling tidak kalimat itulah yang keluar jika saya ditanya tentang hakikat korupsi itu sendiri.
            Jika kita menggunakan definisi dari M. Busyro Muqoddas tersebut, apa yang terjadi sekarang ini adalah tindakan koruptif yang telah mengurat-akar dalam moral bangsa Indonesia. Tindakan koruptif adalah penyebab mendasar perkembangan korupsi di Indonesia. Masyarakat telah patuh dan menjadi budak atas tindakan koruptif itu sendiri demi kesejahteraan mereka. Apakah masyarakat umum bisa diletakkan dalam posisi yang salah? Mereka sebenarnya adalah korban sekaligus pelaku. Masyarakat di level bawah adalah korban tindakan korupsi yang dilakukan oleh masyarakat level atas karena hak-hak yang tidak terpenuhi. Masyarakat level bawah berpotensi menjadi pelaku tindakan koruptif yang dapat mengarah dan menjadi dasar perkembangan korupsi di level atas pemerintahan. Mengapa tidak? Hal ini bisa terjadi karena masyarakat level bawah merupakan awal dari kehidupan masyarakat level atas. Hal ini dapat dipahami dengan peran sebuah keluarga dalam masyarakat level bawah sebagai pencetak generasi masyarakat level atas pemerintahan. Masyarakat pemegang kekuasaan di level atas pemerintahan rentan sebagai pelaku korupsi yang merugikan negara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakan korupsi para pejabat pemerintah dan pengusaha besar sudah mencapai angka dengan jumlah digit nol terakhir sebanyak dua belas. Apakah belum cukup dan masih akan ditingkatkan hingga lima belas atau delapan belas digit?

Metode Pencegahan di Instansi Sekolah?
            Ketika metode pencegahan terhadap tindakan koruptif dianggap sebagai tindakan yang tidak efisien untuk memberantas korupsi pada level atas di tingkat pemerintah, maka saat itulah kita telah mempertahankan dan memupuk akar korupsi hingga menjadi pohon yang subur dan tinggi seperti sekarang ini, bahkan menghasilkan bibit-bibit baru. Pendidikan moral yang merupakan salah satu upaya pencegahan terjadinya tindakan koruptif hampir dilupakan untuk diwacanakan dan direalisasikan. Penyusunan undang-undang dan penegasan terhadap hukum yang berlaku menjadi metode yang dikoar-koarkan oleh pejabat pemerintahan dengan sedikit diiringi realisasi nyata undang-undang yang ada dan bentuk ketegasannya. Moral dan akhlak yang baik sebagai landasan utama untuk bersikap dan bertingkah laku, oleh sebagian besar bangsa Indonesia ternyata tidak digunakan secara menyeluruh dalam konsep hidup manusia. Budaya korupsi yang terjadi sekarang ini adalah sebagai akibat dari penyingkiran nilai-nilai moral dan akhlak oleh masyarakat serta didukung oleh ketidaktegasan hukum yang sudah ditetapkan.
            Sedikit mengutip semboyan pemeliharaan kesehatan di Indonesia, bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Metode untuk mencegah adanya tindakan koruptif pada masyarakat di tingkat bawah seyogyanya menjadi alternatif metode yang dapat mengurangi kerugian negara akibat korupsi pada masyarakat di level atas pemerintahan. Pencegahan tindakan koruptif dapat dilakukan dengan penanaman moral dan akhlak yang baik untuk anak-anak dan remaja. Beberapa informasi menyebutkan bahwa pendidikan moral dan akhlak dapat dilakukan oleh para guru dan para pendidik di lingkungan sekolah baik dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) (4,5). Salah satu cara yang dilakukan dalam lingkup pendidikan di instansi sekolah tersebut adalah dengan memasukkan antikorupsi ke dalam kurikulum resmi sekolah meskipun terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan lagi, termasuk tentang wujud nyata tindakan antikoruptif yang dihasilkan (5) seperti jujur, amanah terhadap tanggung jawab, peduli terhadap lingkungan sekitar, memahami hak dan kewajiban masing-masing manusia serta tidak bertindak sewenang-wenang terhadap manusia dan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
            Wujud nyata tindakan antikoruptif masih dipertanyakan mengingat keterikatan sistem nilai yang terdapat dalam sistem pendidikan instansi sekolah di Indonesia. Sistem nilai yang menggunakan angka-angka dengan tolok ukur seperti dalam mata pelajaran lain di sekolah tidak bisa dijadikan alat ukur yang pasti terhadap keberhasilan kurikulum yang ditetapkan dan diterapkan. Penerapan metode antikoruptif di instansi sekolah-sekolah layaknya tak perlu selalu bertendensi terhadap adanya legalisasi nama “mata pelajaran antikoruptif” dalam kurikulum sekolah hingga bersistem sama dengan mata pelajaran-mata pelajaran lain. Sedikit mengutip secuil kalimat dari guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) saya saat masih bersekolah di SMP yang bernama Pak Eko (6), “Mengapa harus repot-repot ada ujian akhir sekolah ataupun ulangan umum kenaikan kelas secara tertulis untuk ujian mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama? Jatuhkan saja dompet di depan kantor, atau buat saja konsep kantin kejujuran yang tidak ditunggui oleh para pedagang atau dengan metode uji yang lain, yang tidak diketahui oleh para murid, kemudian nilai murid-murid yang tetap bersikukuh dengan nilai kejujuran yang dianutnya maupun murid-murid yang goyah dengan ketidakjujuran. Setelah itu beri bimbingan mental dan spiritual yang lebih intensif untuk murid-murid yang masih tidak menghargai makna kejujuran dalam ujian praktek yang dilakukan. Selesai”. Ujian tulis telah menjadi metode yang hasil konkretnya dipertanyakan terhadap pembentukan kepribadian dalam sistem penilaian antikoruptif di instansi sekolah.
            Jika melihat metode pendidikan melalui instansi sekolah tersebut, tampaknya kita melupakan pendidikan awal yang sebenarnya telah kita terima sebelum memasuki pendidikan di instansi sekolah. Hakikat asal kita sendiri sebagai seorang manusia yang sedang duduk untuk membaca tulisan ini sepertinya perlu direnungi lagi. Kita adalah makhluk ciptaan Sang Pencipta seluruh kehidupan alam semesta. Kita adalah manusia yang dilahirkan oleh ibu yang mulia. Saya masih ingat dulu ketika ada pertanyaan dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial saat masih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) tentang bentuk aturan kehidupan terkecil dalam suatu masyarakat di suatu negara. Jawaban pertanyaan itu adalah sebuah keluarga. Keluarga merupakan pondasi utama pembangunan moral dan akhlak manusia. Keluarga adalah bentuk interaksi dan wadah komunikasi, organisasi dan tatanan paling kecil dalam suatu negara yang menentukan masa depan organisasi besar seperti sebuah negara. Definisi ini bukanlah dari definisi seorang sosiolog atau negarawan. Keluarga yang didalamnya terdapat ayah, ibu dan anak-anak mereka. Keluarga adalah tempat untuk mendidik dan mengajarkan, serta belajar tentang nilai-nilai apapun, entah nilai yang baik maupun buruk atau benar maupun salah.
Keluarga Bahagia
            Keluarga harmonis dan bahagia secara jasmani dan rohani akan menghasilkan generasi-generasi yang berkualitas. Generasi-generasi yang berakhlak mulia, berbudi luhur dan bermoral indah. Generasi-generasi yang dilahirkan dari proses belajar yang paling utama dalam rentang waktu satu siklus kehidupan seorang manusia di dunia. Generasi-generasi yang dididik dan diajar oleh orang tua yang berakhlak mulia akan menjadi manusia yang utuh, dan seutuh-utuhnya manusia meskipun tak bisa menjadi sempurna di mata manusia maupun dalam pandangan Sang Pencipta. Akhlak mulia yang akan menjadi bekal utama untuk kehidupan manusia kelak ketika dia sudah dewasa. Generasi-generasi berkarakter kuat yang tidak mudah goyah dengan goncangan buruk apapun di dunia dan memiliki landasan bersikap yang kokoh. Generasi-generasi yang memiliki kejelasan tujuan hidup dan paham tentang hakikat hidup di dunia ini. Generasi-generasi yang dapat menjadi pemimpin, terutama untuk dirinya sendiri dan orang lain. Generasi yang selalu menebarkan kebaikan di tempat ia tinggal dan bermukim. Mungkinkah Indonesia memiliki generasi-generasi seperti itu?
            Secara ideal, ayah dan ibu yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak-anaknya akan membuat anak-anak dalam keluarga tersebut merasa aman dan nyaman pula. Ayah dan ibu yang selalu menanamkan berbagai disiplin akhlak yang mulia melalui cara yang lemah lembut dan tanpa kekerasan akan memanen anak-anak yang berakhlak mulia, serta memiliki akhlak yang lemah lembut pula. Ayah dan ibu yang selalu menyediakan kesempatan  untuk bercengkerama dan berdiskusi akan membuat anak-anaknya merasa menjadi orang yang bahagia saat berada di tengah-tengah keluarga. Ayah dan ibu yang selalu memperhatikan dan memahami perkembangan anak-anaknya akan membuat anak-anak berkembang sesuai dengan potensi yang ada dalam diri mereka sendiri. Ayah dan ibu yang selalu membimbing dan mengarahkan anak-anaknya ke dalam jalan hidup yang lurus akan membuat anak-anaknya menjadi orang yang berada di jalan yang lurus, yang diridhoi Tuhan Yang Maha Kuasa. Ayah dan ibu yang bisa berperan ganda dalam keluarga, sebagai teman, sahabat, guru sekaligus pengayom kehidupan anak-anaknya.
            Bukan ayah dan ibu yang selalu menuruti keinginan anak-anaknya ketika si buah hati menginginkan sesuatu. Bukan ayah dan ibu yang selalu memberikan uang jajan lebih kepada anaknya. Bukan ayah dan ibu yang selalu tidak pernah ada di rumah ketika anak-anak membutuhkan bantuan untuk hanya menemani ataupun memandu pekerjaan rumah sekolah. Bukan ayah dan ibu yang terkadang mengeluarkan suara yang lantang ketika anak melakukan kesalahan. Bukan ayah dan ibu yang tidak pernah menemani makan di meja makan saat waktu makan tiba. Bukan ayah dan ibu yang selalu tidak pernah mengantar anak-anaknya sekedar berangkat ke sekolah. Bukan ayah dan ibu yang tidak pernah tau dengan siapa saja anaknya bergaul dan berinteraksi. Bukan ayah dan ibu yang tidak pernah tau apa yang dilakukan oleh anak-anaknya sehari-hari dengan teman bermain mereka.
            Sekolah dan keluarga ibarat dua wajah yang berbeda namun sebenarnya memiliki goresan niat yang sama. Sekolah adalah tempat untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan dasar dari lingkungan sekitar dan manusia sekitar secara formal, tertulis dan terikat oleh aturan-aturan yang dibuat oleh instansi yang bersangkutan. Sekolah, di negara ini merupakan pendidikan formal yang secara tidak langsung dan mau tidak mau menghasilkan pemikiran bahwa pendidikan formal semacam sekolah ditujukan untuk mencari penghidupan, atau dengan bahasa lugasnya saya katakan mencari uang. Hakikat dari pendidikan formal itu sendiri sudah bergeser dari mencari ilmu menjadi mencari uang. Hal tersebut memang merupakan sebuah pemikiran yang realistis mengingat penghargaan terhadap ilmu pengetahuan di negeri ini yang tidak sama dengan negara maju. Keluarga sendiri adalah tempat untuk mempelajari berbagai macam disiplin ilmu dengan peran utama ibu dan ayah sebagai pendidik utama. Hanya saja memiliki sistem tolak ukur nilai dan mekanisme penegakan peraturan yang berbeda dengan pendidikan formal seperti sekolah. Peraturan di dalam pendidikan yang bernama keluarga tidak selalu berdasarkan pada coretan dan persetujuan hitam di atas putih, yang hal tersebut ditemukan di dalam pendidikan formal seperti sekolah.
            Keluarga adalah tempat pembentukan karakter dan kepribadian anak yang penting di samping sekolah, bahkan bisa jadi lebih penting. Aturan-aturan tidak tertulis dalam keluarga hendaknya mendorong anggota dalam keluarga untuk melakukan berbagai hal yang lurus dan tidak terikat dengan adanya penghargaan dan sanksi (reward and punishment). Penghargaan dan sanksi tidak tertulis tersebut hendaknya mendorong anak untuk melakukan hal-hal yang baik dengan tanpa tujuan untuk mendapatkan penghargaan dari orang tua, namun memang karena kesadaran dari dalam diri terhadap kewajiban berbuat baik untuk sesama manusia. Kesadaran tersebut akan memicu perbuatan-perbuatan baik lainnya sehingga keluarga sebagai wadah pendidikan yang penting memiliki realisasi fungsi. Perbuatan-perbuatan baik yang dimaksud adalah tentang hubungan dengan sesama manusia, alam sekitar dan Sang Pencipta. Bukan tidak mungkin ketika ketiga hubungan ini baik, maka bukan hanya korupsi yang tidak dilakukan, namun juga tindakan-tindakan buruk lainnya.
            Apabila tiap-tiap anggota keluarga menyadari peran dan hakikat dalam posisi mereka, generasi yang tangguh dan berkarakter akan mewarnai kemudian mengubah negeri yang kata   orang sedang carut-marut akibat ketidakjujuran para pejabatnya ini. Usaha tersebut memang membutuhkan waktu yang tidak cepat untuk memiliki generasi pembangun bangsa dan beridentitas seperti itu, namun jika semuanya untuk Indonesia yang lebih baik dan kemaslahatan bersama, mengapa tidak? Jika kita adalah manusia yang berumur antara 15 hingga 22 tahun dan belum membentuk sebuah tatanan negara kecil yang disebut keluarga, cukup sekiranya kita memiliki bekal dan menanamkan dengan tegas terhadap diri kita sendiri untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama kita masing-masing. Saya percaya, semua agama mengajarkan hal yang baik untuk pemeluknya dan umat manusia secara keseluruhan. Seandainya kita adalah orang yang sudah memiliki ikatan hidup berbentuk keluarga, marilah kita bersama-sama disamping membekali diri sendiri dan terus belajar tentang hakikat kehidupan di dunia ini, kita juga berkewajiban mengajarkan hal-hal yang telah kita peroleh tersebut kepada anak-anak kita dengan cara yang lemah lembut dan santun, tapi tetap masuk ke dalam otak dan hati generasi-generasi penerus itu.

Indonesia Bisa!!!
            Mari mengubah Indonesia. Mari membuat Indonesia menjadi lebih baik. Mari bersama-sama membuat Indonesia menjadi lebih terang. Kewajiban untuk me”nerang”kan Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah di garis atas kebijakan saja, namun juga tugas para penduduk negeri ini, terutama para pemuda. Hal ini menjadi tugas kita bersama-sama karena Indonesia masih belum bisa seperti Hongkong yang dengan lembaga Independent Commision Against Corruption (ICAC) telah bekerja keras memberantas korupsi dan sindikatnya hingga menjadi negara yang bersih dari kotoran yang disebut korupsi (2). Pemuda adalah pemimpin masa depan bangsa. Pemuda yang bermartabat, berkarakter dan bermoral akan menjadi pemimpin yang baik terutama untuk dirinya sendiri. Pemimpin yang baik untuk diri sendiri adalah pemimpin yang ideal bagi keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia. Bukan tidak mungkin jika bangsa ini mampu bersinar terang dengan niat, tekad, kemauan dan usaha serta semangat yang berkobar untuk memerangi moral yang buruk dan akhlak yang bobrok itu. Mari bersama-sama melakukannya. Kalau meniru semboyan South East ASEAN (SEA) Games tahun 2011 lalu, Indonesia bisa. Pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar