Rabu, 20 Januari 2016

Perempuan : Dulu dan Kini

Sejak manusia pertama diturunkan di dunia ini oleh Tuhan, pembahasan tentang wanita selalu menjadi perdebatan yang menarik untuk diikuti. Hal ini karena wanita merupakan salah satu makhluk Tuhan yang unik. Keunikan tersebut telah dibuktikan dengan adanya berbagai pandangan tentang wanita sejak zaman batu hingga di zaman yang serba gadget ini. Pandangan dari berbagai lintas zaman dan daerah tersebut menunjukkan bahwa terdapat dinamisasi budaya yang tumbuh dalam masyarakat tentang eksistensi dan peran seorang wanita dalam suatu keluarga di lingkup yang sempit, dan dalam suatu negara di lingkup yang lebih luas. Hal tersebut berpengaruh terhadap perlakuan-perlakuan terhadap wanita pada masing-masing zaman sehingga ada zaman dimana wanita merasa beruntung karena diperlakukan berdasarkan hak dan kewajibannya, namun tidak sedikit pula yang merasa tidak beruntung karena adanya penindasan yang terjadi terhadapnya.

Pandangan-pandangan tersebut beranekaragam. Sebagian besar pandangan, baik dari Yunani kuno, Persia, Arab Jahiliyah, Mesopotamia dan Yahudi telah menempatkan wanita sebagai makhluk yang rendah. Wanita dalam pandangan budaya masyarakat di atas dianggap sebagai “barang”, yang kedudukannya sendiri berbeda dengan pria. Hal ini bisa jadi dikarenakan wanita memiliki kelemahan yang tidak dimiliki oleh pria sehingga superioritas pria lebih layak dibandingkan wanita. Hal lain yang dapat menjadi pertimbangan atas kondisi tersebut adalah bahwa wanita tidak memiliki kemampuan yang sama dengan pria sehingga dilecehkan. Keadaan ini adalah yang terjadi pada sebagian besar wanita di zaman tersebut.

Tingkat “lebih rendah” wanita di zaman tersebut mendorong pemikiran yang menempatkan nilai wanita “lebih tinggi” dibandingkan dengan pemikiran yang dianggap kuno tersebut. Pemikiran-pemikiran di atas, dalam perkembangan zaman kemudian dianggap sebagai suatu ketidakadilan bagi para wanita sehingga gencar terjadi gerakan untuk “menyamakan” hak dan kewajiban wanita untuk kesamarataan peran wanita dan pria. Perjuangan ini, dalam pandangan Barat disebut sebagai kesetaraan gender. Kesetaraan gender tersebut kemudian menjadi bahan perbincangan dan tuntutan untuk kaum wanita demi perjuangan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama di bidang apapun.
Kesetaraan gender tersebut kemudian berusaha menempatkan wanita sejajar dengan pria. Wanita dalam perkembangan budaya, kemudian juga ikut melakukan apa saja yang bisa dilakukan oleh para pria. Contoh hal tersebut adalah keikutsertaan wanita dalam berbagai hal yang digeluti oleh pria, seperti melakukan pekerjaan dalam bidang apapun yang terkadang memiliki batasan yang masih bias. Wanita kemudian dituntut untuk sama dengan pria, dan terkadang bahkan ada yang melebihi kedudukan pria. Wanita dan para pejuang kesetaraan gender menuntut agar wanita bisa menjalani kehidupan sesuai dengan gaya hidup pria, melepas hijab, menanggalkan rasa malu, keluar rumah dan melakukan apa saja sesuai keinginan, menikah dan bercerai sesuka hati serta meniti karier dengan berbagai cara yang memungkinkan.

Perjuangan kesetaraan gender telah dapat dilihat di Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Hal tersebut salah satunya diindikasikan dengan munculnya Presiden wanita pertama di Indonesia, yaitu Ibu Megawati Soekarno Putri. Wanita juga berperan dalam berbagai hal yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dalam lingkup publik maupun sebagai pihak yang berhubungan dengan sektor publik tertentu, seperti bekerja sebagai karyawan perusahaan tertentu.

Kesetaraan gender tetap menjadi perdebatan berbagai kalangan yang pro maupun yang kontra dengan konsep tersebut. Para pendukung kesetaraan gender merasa perlu dilakukan penyamarataan hak dan kewajiban antara pria dan wanita, sedangkan para anti kesetaraan gender menyatakan bahwa pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan fitrah dan kodratnya. Pihak anti kesetaraan gender memiliki keyakinan bahwa pria dan wanita diciptakan sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing. Pemenuhan hak dan kewajiban yang sesuai dengan fitrah dan kodrat wanita sebagai manusia merupakan cara bagaimana pria bisa menghargai posisi seorang wanita.

Pro dan kontra tersebut merupakan hal yang biasa mengingat setiap orang memiliki dan membawa pemikiran masing-masing karena latar belakang, keyakinan dan pemahaman yang berbeda-beda. Penyikapan yang bijaksana atas pro dan kontra tersebut merupakan hal yang harus dilakukan mengingat segala sesuatu tidak akan bisa diselesaikan dengan menggunakan ego masing-masing pihak, yang dapat mengakibatkan jurang pemisah kepahaman tersebut akan tetap selalu ada. Individu hendaknya dapat menyikapi hal tersebut tanpa adanya kekerasan dan pemaksaan kehendak.

Sebagai seorang wanita, penyadaran atas kodrat dan fitrah merupakan suatu hal yang penting untuk dipahami. Bagaimanapun, kodrat dan fitrah tersebut tidak akan dapat dilaksanakan secara penuh jika pria tidak mendukung wanita untuk melaksanakan kodrat dan fitrahnya. Wanita dan pria sebenarnya merupakan dua pihak yang sama-sama saling membutuhkan. Dunia memang diciptakan oleh Tuhan dengan berpasang-pasangan. Pasangan tersebut seharusnya tidak hanya dipahami secara fisik, namun juga secara batiniah. Jika terdapat kesenjangan hak dan kewajiban antara keduanya, maka yang terjadi adalah seperti saat ini. Pro dan kontra tentang kedudukan wanita yang masih belum menemui titik temu.

Wanita sebenarnya diperbolehkan berperan serta dalam urusan publik jika wanita tersebut telah melaksanakan kewajiban yang utama dalam urusan domestik (kerumahtanggaan). Urusan domestik sebenarnya dapat dipahami sebagai hak dan kewajiban pada wanita yang berperan serta dalam mencetak generasi masa depan sesuai dengan visi dan misi pria dan wanita dalam berumah tangga. Urusan ini dinilai penting untuk dipegang oleh kaum wanita mengingat sifat dan watak yang melekat pada diri wanita. Pria seharusnya juga tidak diperbolehkan untuk melakukan berbagai macam tindak penganiayaan dan kekerasan mengingat wanita yang sejak dahulu memiliki kesan “lemah”. Hal ini menjadi pertimbangan perlunya penyelarasan dan keadilan antar masing-masing hak dan kewajiban keduanya.

Wanita adalah pencetak generasi-generasi masa depan dalam kodratnya sebagai ibu. Jika para wanita dan pria telah menganggap hak dan kewajiban mereka dalam urusan domestik terpenuhi, maka bolehlah wanita masuk ke ranah-ranah publik. Wanita-wanita dalam urusan publik memiliki hak dan tanggung jawab yang sesuai dengan bidang yang digelutinya. Hak dan tanggung jawab tersebut harus dihormati oleh para pria. Eksistensi hak dan tanggung jawab tersebut hendaknya tidak kemudian lantas merendahkan posisi pria, baik dalam kapasitas sebagai seorang pendamping hidup bagi wanita di urusan domestik, maupun sebagai partner bagi wanita dalam urusan publik. Kedua belah pihak ini harus saling menghormati dan menghargai karena semua manusia memiliki kedudukan yang sama dalam pandangan Tuhan, dan hal yang menjadi pembeda adalah tingkat ketakwaan manusia.

Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan. Jika yang dimaksudkan kesetaraan disini adalah hak dan kewajiban yang sama, maka kesetaraan gender hingga hari kiamat sepertinya tidak pernah akan terwujud. Hal ini dikarenakan wanita memiliki kemampuan dan sifat, serta watak bawaan yang berbeda dibandingkan dengan pria. Sesendiri-sendirinya seorang wanita dalam menjalankan kehidupannya, dia tetap membutuhkan seorang pria, untuk hanya sekedar membantu memperbaiki pipa air atau listrik yang mati, apalagi untuk urusan lain yang lebih besar.

Selanjutnya, jika yang dimaksudkan kesetaraan gender itu adalah pemenuhan hak dan kewajiban pria dan wanita yang masing-masing selaras untuk mencapai tujuan tertentu, maka kata “kesetaraan” hendaknya diganti dengan “keadilan”. Hal ini dengan pertimbangan bahwa antar masing-masing wanita dan pria memiliki hak dan kewajiban yang berbeda, namun sejatinya memiliki visi dan misi ke depan yang sama dalam waktu mendatang. Misi untuk mencapai kesejahteraan bersama dalam seluruh lapisan dan golongan masyarakat.

Jika hak dan kewajiban tersebut dipahami secara mendasar serta dihubungkan dengan kodrat dan fitrah manusia, maka kesemrawutan dan ketidakjelasan posisi pria dan wanita dapat dihindari. Ketidakjelasan tersebut sesungguhnya telah dapat dilihat disekitar kita. Wanita telah banyak melakukan segala sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh kaum pria. Kaum pria juga telah banyak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh kaum wanita. Tatanan masyarakat yang carut-marut akan berpotensi terjadi jika wanita dan para pejuang kesetaraan gender terus-menerus memaksa suatu kaum sama dengan kaum yang lain. Semoga bukan tanda-tanda menjelang hari kiamat. 

Apakah yang ada di otak kita sama?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar