Rabu, 20 Januari 2016

Sudikah Kau Dicarikan Pendamping berupa Uwi dan Ubi, Beras?

Ketika teman-teman lapar, apa yang teman-teman pikirkan? Kentucky Fried Chicken (KFC) di depan Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang kah? Atau KFC yang baru-baru ini membuat poskonya (lagi) di daerah Srondol Semarang? Mc Donald? A&W? Hmmm. Saya tak tau pasti apa lagi brand tempat-tempat penyedia dan penjual makanan cepat saji impor yang tengah marak beredar di masyarakat itu. Ketika teman-teman berpikir tentang makanan cepat saji yang menggunakan bahan impor dari luar negeri itu, bisa jadi pikiran kita langsung mengarah kepada para penikmatnya yang didominasi oleh masyarakat level menengah ke atas mengingat harga yang harus dibayar untuk makanan tersebut. Dari hal ini, timbul suatu pertanyaan dari dalam benak, “Apakah sudah pasti penikmat makanan mahal itu hanya dari kalangan menengah ke atas? Mengapa harus makanan-makanan impor itu yang dipilih? Apakah tidak ada makanan lokal khas yang berkualitas dari alam Indonesia sendiri?” Antara pangan, gengsi, ubi dan uwi. Sedikit akan saya ceritakan dan berbagi tentang mengapa harus ada kata “gengsi”, “ubi” dan “uwi” sebagai judul tulisan ini.

Langsung saja saya perkenalkan dengan sumber daya tanaman lokal, asli dan khas negeri ini. Beberapa sumber informasi tertulis dan lisan yang saya peroleh menyebutkan bahwa ubi dan uwi merupakan tanaman yang mampu dan mudah tumbuh di bumi Indonesia, memiliki jumlah yang melimpah, memiliki potensi yang besar sebagai pengganti makanan pokok/utama (baca : beras) namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Indonesia ini adalah negeri yang kaya dengan sumber-sumber hayati maupun non hayati. Namun penduduknya secara merata tidak kaya juga. Saya sebutkan sedikit tentang data-data kekayaan alam hayati yang dimiliki Indonesia. Buletin ilmiah Media Konservasi pada tahun 1989 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki ±13% sumber daya alam hayati dunia, meliputi bakteri dan ganggang biru ± 300 jenis, jamur ± 12.000 jenis, hewan ± 410.000 jenis, dan tumbuh-tumbuhan ± 29.550 jenis. Data ini adalah data yang ditemukan pada tahun 1989 dan sepertinya penulis masih harus memperbaharui lagi informasi ini yang bisa terus bertambah karena adanya penemuan baru. Data ini membuat Indonesia diberi predikat sebagai negara dengan sumber keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) yang tinggi baik di darat maupun di wilayah perairan.    

Informasi dari Kementerian Pertanian dalam buku putih tentang Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 menyebutkan bahwa salah satu permasalahan mendasar pembangunan nasional di bidang pertanian adalah diversifikasi pangan yang belum berjalan dengan baik. Diversifikasi merupakan penganekaragaman penggunaan jenis bahan pangan yang dimiliki oleh Indonesia untuk masyarakat. Masyarakat cenderung lebih menganggap makan jika sudah makan nasi yang telah diolah dari beras (beras adalah hasil penggilingan tanaman padi), bahkan untuk masyarakat di daerah yang sebelumnya tidak memanfaatkan beras sebagai makanan utama telah mengalami pengalihan makanan pokok/utama. Hal ini mengakibatkan terjadinya kenaikan kebutuhan beras dalam negeri padahal terdapat beberapa masalah yang menghambat pemenuhan ketersediaan beras dari dalam negeri. Beberapa contoh masalah yang ada adalah distribusi yang tidak lancar akibat kondisi cuaca, gagal panen akibat hama dan penyakit tanaman, maupun keinginan yang menurun dari petani karena terjadinya kenaikan harga kebutuhan pertanian sehingga menyebabkan produksi beras dalam negeri berkurang dan tidak cukup memenuhi permintaan domestik. Kondisi ini mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia yaitu rata-rata sebesar 2,5 juta ton per tahun. Miris. Padahal Indonesia telah didaulat sebagai negara agraris yang mendasarkan kegiatan perekonomian pada kegiatan pertanian. Dimana yang salah? Apakah harus impor dan semua yang memiliki embel-embel impor yang menjadi solusi atas permasalahan ini?

Mengutip sedikit pengaruh ketika pasokan bahan pangan dalam negeri berkurang, bahwa kondisi ini, yang diikuti dengan kenaikan harga akan menyebabkan pengaruh berantai dalam masyarakat, terlebih lagi jika bahan pangan utama yang dimaksud digunakan untuk berbagai keperluan industri pangan/multifungsi. Bukti-bukti berdasarkan kondisi di lapangan menunjukkan bahwa ketahanan pangan yang lemah dalam suatu negara dapat memicu goncangan ekonomi dan meningkatkan kriminalitas. Impor merupakan salah satu solusi yang dilakukan pemerintah jika pasokan bahan pangan dalam negeri berkurang, namun ada tuntutan untuk tetap memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.

Mungkin diperlukan survey khusus untuk mendapatkan data-data yang akurat terhadap para penyuka dan penikmat makanan impor berjenis fast food seperti yang dijual di brand-brand terkemuka di Indonesia tersebut. Cukup pertanyaan ini saya lontarkan kepada teman-teman yang membaca tulisan ini, “Teman-teman lebih sering makan ubi, tempe dan tahu atau makan burger dan sandwich?” Namanya kedengaran keren dan wah ya. Dalam pandangan saya, makanan impor yang kita makan tersebut secara tidak langsung telah mempengaruhi pola konsumsi dan pola pikir masyarakat. Terlalu sering makan makanan kiriman dari luar negeri akan mampu perlahan-lahan mematikan produk lokal dan tingkat kebergantungan terhadap produk impor menjadi perlahan-lahan semakin tinggi. Kalau keadaanya sudah seperti itu kapan bangsa ini bisa mandiri? Masyarakat memiliki peluang yang besar mengalami perubahan pola pikir menjadi serba instan. Serba cepat dengan sedikit, bahkan tanpa melalui proses yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Hingga timbullah berbagai macam aksi kejahatan dan kecurangan dalam kehidupan manusia untuk suatu tujuan.

Kemandirian suatu bangsa terhadap bahan pangan dapat memperkokoh ketahanan pangan dalam negeri sehingga diharapkan laju pembangunan nasional akan semakin tinggi pula. Kemandirian ini juga mampu mendukung stabilitas ekonomi, sosial maupun politik. Jika hal ini dapat terjadi, maka pembangunan nasional akan berpotensi menjadi lebih baik sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Memang sebenarnya tidak sesederhana konsep ini yang dapat terjadi, namun apa kita salah jika kita bergerak dari dalam diri pribadi dan saat ini untuk Indonesia yang lebih baik? Bukan maksud saya untuk menyalahkan teman-teman yang suka makan di brand-brand terkemuka tersebut, hanya ingin berbagi tentang sedikit analisis saya yang sok tahu ini. Saya tidak ingin membahas bagaimana pemerintah dan para pejabat politik negeri ini mengelola dan mengatur negeri ini karena memang saya tidak tau pasti bagaimana mereka bekerja meskipun hasilnya dapat saya rasakan dan lihat. Toh mereka juga sebenarnya punya Tuhan dan yang pasti Tuhan Yang Maha Kuasa telah menyiapkan pahala terbaik untuk mereka yang telah mau bersusah-susah dan berpayah-payah memikirkan negeri ini. Mari berbenah diri. Kritik tak akan berguna jika tanpa dibarengi dengan sumbangan pemikiran konstruktif.

Mungkin ada sedikit lelucon ketika teman-teman mau makan ubi dan uwi, maupun jenis-jenis makanan tradisonal yang lain. Jangan-jangan ada yang berkomentar,”Ngga level tau kalo makan makanan seperti itu?”. Jujur saya akan tertawa jika mendengar komentar seperti ini. Sambil berfikir, “Memangnya level itu apa? Apa karena anda orang kaya jadi tidak mau kenal dengan makanan yang sering dianalogikan dengan “makanan orang miskin” tersebut?” Hahaha. Level, dalam pandangan Tuhan Yang Maha Kuasa hanya ada pada tingkat ketaqwaan seseorang. Seenaknya saja orang membuat definisi level sendiri. Padahal bisa jadi makanan impor yang anda konsumsi itulah yang memperkeruh suasana ketahanan pangan dalam negeri menjadi lebih buruk.

Ubi dan uwi tidak kalah dengan padi. Ubi jalar sendiri yang merupakan salah satu jenis ubi memiliki kandungan air, lemak, protein, abu dan karbohidrat masing-masing berkisar antara 60-70%, 0.5-0.7%, 1.0-1.8%, 0.5-0.7% dan 28-30%. Tanaman ini merupakan tanaman umbi utama yang ada di Indonesia dan memiliki produktivitas rata-rata sebesar 30 ton/hektar. Sedangkan uwi sendiri adalah tumbuhan asli Indonesia. Ada sumber yang menyebutkan bahwa harga jual umbi uwi ini masih rendah karena perhatian masyarakat yang masih sedikit. Umbi uwi memiliki kandungan karbohidrat sekitar 19,8 gram per 100 gram bahan. Sedangkan buah tanaman sukun yang memiliki kandungan karbohidrat sekitar 21,5%-31,7% terkadang dimanfaatkan masyarakat dengan digoreng, dibuat keripik dan sebagai makanan selingan saja.

Saya berandai-andai, jika dilakukan secara rutin konsumsi bahan pangan alternatif dalam suatu keluarga setiap satu hari dalam satu minggu, maka konsumsi beras akan dapat mengalami penurunan sebesar kurang lebih 1,34 kg per kepala per bulan (kebutuhan rata-rata bahan pangan beras per kepala sebesar ± 10 kg per bulan). Hal ini jika dilakukan oleh seluruh penduduk provinsi Jawa Tengah (Badan Pusat Statistik tahun 2010 menyebutkan jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah ± 32 juta jiwa), maka konsumsi beras penduduk Jawa Tengah akan mengalami penurunan sebesar 42.880 ton per bulan dan 514.560 ton per tahun. Penurunan permintaan beras ini akan ditunjukkan dengan angka yang lebih besar lagi jika seluruh masyarakat Indonesia menerapkan penggunaan bahan pangan alternatif dengan kebiasaan waktu yang sama, yaitu sebesar kurang lebih 317.580 ton per bulan atau 3.810.960 ton per tahun. Sebuah angka penurunan konsumsi beras meskipun hanya dimulai dari satu hari pembiasaan penggunaan bahan pangan alternatif yang dilakukan secara rutin dan berkelanjutan.

Tanaman lain yang berpotensi sebagai pengganti beras sebenarnya tidak hanya yang telah saya sebutkan di atas. Ada ubi jalar, ganyong, kimpul dan sepertinya saya harus mencari referensi dan bahan bacaan lain untuk menyebutkan bahan pangan potensial yang lain dan di daerah lain. Untuk Indonesia yang lebih baik, mengapa harus malu, gengsi dan pesimis? Mari memanfaatkan potensi lokal dalam negeri dengan bijaksana. Toh ubi kayu sebenarnya hanyalah penyempitan makna dari produk lokal. Saya berharap dan sekaligus bermimpi ada berita berjudul, “Presiden RI dan keluarga melakukan konsumsi makanan lokal berupa olahan ubi kayu dan ubi jalar setiap akhir pekan” oleh media massa dan media elektronik sebagai wujud penghargaan potensi lokal negeri ini. Semoga.

NB : Jika ada bagian dari coretan hitam ini yang tak sesuai dengan pendapat dan pikiran anda, buang jauh-jauh.. Maaf jika ada yang tersinggung dengan kesubyektifan saya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar